miskin dan alam semesta yang menjerit!" [Petrus Pit Supardi].Â
"Kemiskinan yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak memiliki tempat, ruang dan waktu di dalam hidup kita untuk orang
Siapakah kita? Dan, siapakah orang miskin? Sesungguhnya, kita adalah orang-orang miskin di dunia fana ini. Kalau pun kita memiliki harta, kekayaan, jabatan dan kekuasaan, semua itu anugerah, titipan sang Ilahi. Pada waktunya, kita akan mempertanggungjawabkan kepada-Nya. Sederhananya, kita adalah orang-orang miskin yang mengemis pada sang Ilahi, tidak lebih. Karena itu, ketika kita diberkati oleh-Nya dengan berlimpah harta dan kekayaan, hendaklah kita berbagi, tidak pelit!
Kita hanyalah pengemis di dunia fana ini, mengapa kita berlaku sombong dan congkak? Bukankah, semestinya kita mau berbagi berkat dengan sesama kita, yang tidak beruntung seperti kita? Sering kali, kita mengutuki orang miskin. Kita memberi cap orang miskin sebagai manusia malas dan lain sejenisnya. Padahal, kita tidak tahu mengapa mereka miskin dan melarat? Kita mestinya memiliki hati yang peka dan peduli, bukan hati yang suka mengutuki.
Orang miskin, anak-anak terlantar, orang jompo, semestinya menggerakkan hati kita supaya mau berbagi rezeki. Kita tidak boleh menyimpan, menimbun harta kekayaan di tengah kemiskinan sesama kita. Tetapi, persoalannya, apakah hati kita mau tergerak untuk menolong sesama kita yang melarat itu?
Kita memiliki rumah, kendaraan, uang di bank, tetapi kita tidak peduli pada sesama kita yang berkekurangan. Ada begitu banyak anak gizi buruk, anak-anak terlantar di panti asuhan, ibu hamil kekurangan gizi, anak-anak tidak bisa bersekolah lantaran tidak ada biaya sekolah dan lain-lain. Mengapa hati kita tidak tergerak menolong orang susah?
Kita miskin kasih. Kita memiliki banyak harta kekayaan dunia, tetapi kita tidak memiliki kasih. Kita tidak peduli dan tidak peka pada penderitaan sesama kita. Bahkan alam pun menjerit, tetapi kita terlalu rakus dan konsumtif. Kita hanya pikir dan ingat diri sendiri.
Orang miskin semestinya menggerakkan hati kita untuk mewujudkan kasih kepada sang Ilahi, sesama manusia dan alam semesta. Orang miskin bukan untuk dikutuki, melainkan rahmat bagi kita untuk mengasah kepekaan hati dan kepedulian. Bersyukurlah ketika kita berjumpa dengan orang miskin, karena kita memiliki waktu dan kesempatan menyatakan kasih. Tanpa orang miskin, hidup kita tidak bermakna. Untuk apa kita hidup kalau bukan untuk memberikan hidup kita bagi orang miskin dan terbuang, serta alam yang menderita?
Hendaklah kita menjadi kaya, bukan saja kaya harta duniawi, tetapi kaya akan kasih yang melampaui sekat apa pun. Di dalam kekayaan kasih itulah, kita mau tergerak untuk berbagi dengan sesama kita, terutama mereka yang kurang beruntung, orang miskin, lapar, sakit, tertindas, pengungsi dan terbuang. [Abepura, 24 Juni 2023; 11.05 WIT].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H