Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan," (Yohanes 10:10)
Hari ini, 5 Februari 2022, kita merayakan Hari Pekabaran Injil (HPI) ke-167 tahun. Dari literatur sejarah Gereja Papua, kita mengenal dua sosok Ottow dan Geissler, yang pada 5 Februari 1855 menginjakkan kaki di pulau Mansinam, Manokwari. Keduanya, datang dari Eropa membawa Yesus dan Injil bagi orang Papua. Kehadiran keduanya, sekaligus menandai lahirnya Gereja Papua.
Orang Papua dibaptis, "Dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus," oleh Ottow dan Geissler serta para misionaris yang datang kemudian. Orang Papua menjadi anak-anak Allah dan masuk dalam persekutuan warga Gereja. Yesus dan Injil menjadi "cahaya baru" yang menuntun perziarahan hidup dan masa depan orang Papua.
Kekinian, setelah 167 tahun orang Papua menerima Yesus dan Injil serta memasuki "rumah Gereja Papua" apakah orang Papua menjadi lebih baik? Bagaimana kondisi hidup kawanan domba dan gembala di dalam "rumah Gereja Papua?" Ke mana arah Gereja Papua saat ini dan ke depan?
Orang Papua Menderita dan Mati dalam Nama Yesus
Para misionaris Eropa membaptis orang Papua. Mereka juga berupaya agar orang Papua yang telah dibaptis itu, selain mendapatkan pelajaran iman akan Allah Tritunggal, tetapi juga mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Karena itu, para misionaris membuka sekolah berpola asrama, klinik kesehatan, pertanian dan peternakan.
Zaman misionaris Eropa, jauh berbeda dengan Papua saat ini. Kita melihat di kampung-kampung, orang Papua tidak mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memadai. Para Pastor dan Pendeta, yang telah membaptis orang Papua mengetahui dan mengalami situasi buruk itu, tetapi memilih diam.
"Pit, tugas kami adalah memelihara iman umat!" tutur seorang Pastor, ketika kami berdiskusi di Agats, pada 7 Oktober 2019 silam. Di dalam hati saya bertanya, "Apa artinya memelihara iman umat?" Saya menemukan, pada bulan September 2017, SD YPPK Santo Antonius Padua Yepem tutup. Demikian halnya, Puskesmas Pembantu (Pustu) Yepem tutup! Tetapi, setiap hari Minggu, Pastor merasa aman-aman saja memimpin Misa di Yepem. Sungguh ironis!
Itu hanya salah satu kisah tragis dari ribuan kisah penderitaan orang asli Papua. Kisah-kisah muram itu tidak akan terjadi kalau para Gembala sungguh-sungguh menghayati panggilan dan perutusan mereka untuk melayani orang Papua.
Kita merenung dan bertanya, "Pastor dan Pendeta berkhotbah tentang Kerajaan Allah di tengah-tengah sekolah dasar yang tutup, Pustu yang tutup, tidak ada pelayanan pendidikan dan kesehatan, maka Kerajaan Allah macam apa yang mereka wartakan kepada jemaat yang menderita itu?" Seyogianya, Kerajaan Allah menyapa kebutuhan dasar hidup manusia. Bukankah Injil mengisahkan Yesus yang mengajar, memberi makan, menyembuhkan dan membebaskan?