Kita belajar bahwa sejarah integrasi Papua ke dalam rumah NKRI bermasalah serius. Tampak jelas bagi kita bahwa orang Papua sudah membangun rumahnya sendiri, rumah negara Papua, tetapi Indonesia datang memaksa orang Papua masuk ke dalam rumah negara NKRI. Dampaknya, meskipun Indonesia mengklaim Papua sudah final di dalam rumah NKRI, gelombang perlawanan orang Papua tetap bergelora. Sebab, orang Papua memegang keyakinan ideologi Papua merdeka.
Di sisi lain, kita melihat bahwa Indonesia berupaya memasukkan orang Papua ke dalam rumah negara NKRI, tetapi bagaimana perlakuan Indonesia terhadap orang Papua? Kita harus mengakui dengan jujur dan terbuka bahwa orang Papua tidak merasa aman, nyaman, damai, makmur dan sejahtera tinggal di dalam rumah NKRI. Indikatornya sederhana, sejak diintegrasikan ke dalam rumah NKRI, orang Papua tidak merasa manjadi bagian dari Indonesia. Orang Papua merasa dan mengalami hidup sebagai anak tiri di dalam rumah NKRI.
Mengapa orang Papua selalu bilang, "Papua bukan Indonesia?" Seorang aktivis bercerita, "Pemerintah Indonesia paksa kami tinggal di dalam rumah NKRI, tetapi mereka tembak kami. Mereka bunuh kami punya orang tua sampai generasi kami saat ini. Mereka kasih masuk perusahaan seenaknya, tanpa bicara dengan kami yang punya tanah ini."
Kita mengakui bahwa selama ini, pemerintah Indonesia menghadapi tuntutan keadilan atas hak-hak dasar orang Papua dengan pendekatan keamanan (militer). Setiap suara orang Papua dibungkam dengan senjata dan pasal makar. Ke depan, pasal-pasar teroris akan menggiring orang Papua masuk penjara karena sejak 29 April 2021, Indonesia telah menetapkan TPNPB dan organisasi afiliasinya adalah teroris.
Sejak tinggal di dalam rumah NKRI, tanah alam Papua dan manusia orang Papua mengalami penderitaan tak berkesudahan. Ratap tangis, air mata dan kematian tak pernah berakhir. Demikian halnya, hutan alam menjadi kebun kelapa sawit dan gunung-gunung menganga lebar menyisakan pasir menutupi sungai dan rawa-rawa. Sumber-sumber makanan di dusun lenyap. Tempat keramat menghilang. Orang Papua tercabut dari akar hidupnya, hutan dusun dan budaya tergerus pembangunan yang tidak kontekstual Papua.Â
Bilamana rumah NKRI tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi orang Papua, maka perjuangan untuk keluar dan mendirikan rumah Papua merdeka tetap menjadi kerinduan yang akan selalu diperjuangkan sampai akhir. Sebab, pada hakikatnya, manusia, siapa pun selalu merindukan hidup makmur, damai sejahtera dan umur panjang. Orang Papua pun merindukannya. Karena itu, pemerintah Indonesia perlu lebih memikirkan pendekatan kemanusiaan dalam menyelesaiakan permasalahan Papua.Â
Selain itu, bangsa Indonesia, yang menempatkan Tuhan pada sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa," seyogianya mau membuka ruang-ruang dialog dan perundingan dengan orang Papua. Sebagai bangsa yang menghormati hak asasi manusia, pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan menerima tawaran dialog yang bermartabat dan terbuka. Sebab, bagaimana Indonesia mengakui Tuhan sang Pencipta, sekaligus melakukan operasi militer yang menelan korban jiwa atas nama negara di tanah Papua?
Pater Neles Tebay bilang, "Mari Kitorang Bicara!" Dialog merupakan jalan untuk menemukan permasalahan Papua dan berusaha menguraikan serta menyelesaikannya secara menyeluruh. Dialog bisa terlaksana kalau pemerintah Indonesia dan orang Papua saling terbuka untuk mengkahiri konflik Papua. Kedua belapihak harus melepaskan ideologi, "NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati!" Kedunya harus terlebih dahulu membangun sikap saling percaya, terbuka tanpa prasangka buruk satu sama lain. Dengan demikian, dialog pemerintah Indonesia dan orang Papua bisa terlaksana dan menghasilkan buah-buah yang baik bagi kedua belapihak. [Nbr, 1 Mei 2021].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H