Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Domba Menggugat Gembala, Kisah dari Papua Selatan

26 Maret 2021   05:40 Diperbarui: 26 Maret 2021   06:00 1620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya," (Yohanes 10:11)

Cuaca  di kota Jayapura tampak cerah. Matahari memancarkan cahayanya menembus dedaunan pohon-pohon akasia di gua Maria Fajar Timur, Waena. Kelompok kaum awam Katolik yang menamakan diri "Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua," berkumpul di sekitar gua Maria itu.  Mereka datang dengan sejumlah seruan yang dibacakan di hadapan wartawan yang hadir pada konferensi pers tersebut, Senin (25 Januari 2021).

Salah satu seruan itu berbunyi, "Meminta Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC mencabut MoU dengan Korindo melalui anak perusahaannya, PT Tunas Sawa Erma yang menghilangkan hak-hak dasar umat dan sumber mata pencarian umat Allah di Selatan Papua," tegas Melvin F. Waine, selaku koordinator kelompok, "Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua."

Sebagaimana diketahui bahwa pada tanggal 28 September 2020, telah dilaksanakan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak Keuskupan Agung Merauke dan PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo.

Secara garis besar MoU tersebut berisi kesepakatan para pihak terkait pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT Tunas Sawa Erma sebesar Rp 2,4 miliar kepada Keuskupan Agung Merauke, yang diberikan dalam tiga tahap selama tiga tahun.

Setiap tahap senilai Rp 800 juta. Dana tersebut diperuntukkan bagi pembangunan Seminari Menengah Pastor Bonus di Merauke. Selain itu, PT Tunas Sawa Erma juga memberikan dana operasional Seminari sebesar Rp 20 juta per bulan.

Tindak lanjut atas MoU tersebut, pada hari Senin, 5 Januari 2021, di Merauke dilaksanakan serah terima dana tahap pertama sebesar Rp 800 juta. Dana tersebut diserahkan oleh General Manager PT Tunas Sawa Erma, Jimmy Senduk dan diterima langsung oleh Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. P.C. Mandagi MSC didampingi Vikaris Jendral, Pastor Hendrikus Kariwop MSC, Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke, Pastor Anselmus Amo MSC dan Rektor Seminari Pastor Bonus, Pastor Randy Putra Lau, Pr.

Sebagaimana dimuat pada berita penakatolik.com pada 5 Januari 2021, dengan judul, "Mgr. Mandagi terima sumbangan perusahaan, tapi minta perhatikan kelangsungan lingkungan," lengkap dengan foto, tampak raut wajah bahagia Mgr. Mandagi, para Pastor yang mendampinginya dan pimpinan perusahaan PT Tunas Sawa Erma.

Sebuah kebahagiaan semu lantaran seorang Gembala Agung, yang memimpin Keuskupan Agung, melakukan MoU dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang telah menghancurkan puluhan ribu hektar hutan hujan alam di Jair, kabupaten Boven Digoel.

Sebagaimana dilansir penakatolik.com, Uskup Mandagi memberikan pesan kepada perusahaan itu, "Boleh berkarya, boleh ambil, tetapi harus memperhatikan kelangsungan lingkungan yang ada di sini demi anak cucu kita," tuturnya. Sebuah permintaan abdsurd yang tidak mungkin terwujud. Sebab, PT Tunas Sawa Erma mengonversi hutan hujan alam yang hetergoen dengan pohon kelapa sawit yang homogen.

Sejenak menoleh ke belakang. Kita mengetahui bahwa Mgr. P.C. Mandagi MSC menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke menggantikan almarhum Mgr. John Philip Saklil, yang wafat pada Sabtu, (3/08/2019). Pada hari pemakamannya, Rabu, (07/08/2019), Ketua KWI, Mgr. Ignatius Suharyo mengumumkan bahwa Vatikan menunjuk Mgr. P.C Mandagi sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke. Kemudian, pada Rabu, (11/11/2020) Vatikan mengumumkan pengangkatan Mgr. P. Mandagi sebagai Uskup Keuskupan Agung Merauke.

Kita menyimak bahwa MoU tersebut ditandatangani pada 28 September 2020 pada saat Uskup Mandagi masih berstatus sebagai Uskup Keuskupan Amboina dan Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke. Keputusan yang menanggung banyak risiko.  Sebab, di tengah perjuangan orang Papua melindungi hak-hak dasarnya, termasuk hak ulayat dari gempuran perusahaan perkebunan kelapa sawit, justru seorang Uskup Agung melakukaan MoU dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang selama ini menyengsarakan pemilik ulayat di Jair.

Pada hari Minggu, (04/01/2021), pada Pesta Penampakan Tuhan, Mgr. P.C Mandagi MSC memimpin Misa syukur atas pengangkatannya sebagai Uskup Agung Merauke. Puluhan Pastor menghadiri Misa tersebut. Hadir pula pejabat pemeritah daerah kabupaten Merauke dan pemerintah Provinsi Papua pada acara tersebut. Segenap umat Katolik di Keuskupan Agung Merauke, tetapi juga di seluruh tanah Papua bersyukur atas kehadiran Mgr. Mandagi yang dikenal sebagai pribadi yang kritis dan lantang bersuara membela hak-hak kaum terpinggirkan.

Aroma tak sedap menguap tatkala pada keesokan harinya, Senin, (05/01/2021), Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi dan pimpinan PT Tunas Sawa Erma, Jimmy Senduk melakukan serah terima dana CSR sebagaimana yang disepakati dalam MoU tersebut. Seketika langit Papua seakan runtuh. Seorang Uskup Agung, ditemani Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke, menerima dana miliaran rupiah dari perusahaan perkebunan kelapa sawait yang selama puluhan tahun telah merusak hutan hujan alam dan menyengsarakan pemilik ulayat, yang adalah umat Katolik di Jair, Boven Digoel.

Aksi Penolakan MoU Keuskupan Agung Merauke dan PT Tunas Sawa Erma

img-20210228-wa0042-605d0eb68ede485486650e49.jpg
img-20210228-wa0042-605d0eb68ede485486650e49.jpg
Beberapa media lokal Papua menyoroti kebijakan Uskup Mandagi menandatangani MoU dengan PT Tunas Sawa Erma. Pada 18 Januari 2021, Media Suara Papua.com menerbitkan pernyataan salah satu aktivis di Merauke Agustinus Mahuze. Dia bilang, "Saya sangat kecewa dengan keputusan Keuskupan Agung Merauke mendukung investor itu. Kami selama ini menganggap Keuskupan Agung Merauke turut menetang investasi yang sangat merugikan masyarakat adat, tetapi ternyata harus takluk dari perusahaan kelapa sawit."

Di Jair, kabupaten Boven Digoel, lokasi konsesi perkebunan kelapa sawit milik Korindo Grup, warga melakukan penolakan terhadap MoU tersebut. Pada 31 Januari 2021, Petrus Kinggo, dkk melakukan pertemuan dengan Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke di Asiki. Pada pertemuan tersebut, perwakilan masyarakat pemilik ulayat di Jair, yang adalah kawanan domba Allah, umat Katolik bertanya, "Apa niat dari Korindo memberikan bantuan dan kerjasama?" Terhadap pertanyaan tersebut, Pastor Anselmus Amo MSC tidak memberikan jawaban. Ia mendengarkan pertanyaan tersebut dan akan meneruskan kepada Uskup Mandagi.

Sebagaimana laporan tim dari Jair, Petrus Kinggo yang adalah Ketua Dewan Stasi Santo Timotius Kali Kao menulis pesan WA kepada Pastor Anselmus Amo sebagai berikut, "Direktur SKP KAME, Pastor Anselmus Amo MSC bersama Petrus Canisius Mandagi MSC Keuskupan Agung Merauke lebih senang membuat MoU dengan PT Tunas Sawa Erma Korindo Grup, kami masyarakat menuntut Korindo tidak merampas hak masyarakat dengan cara apa pun, kami minta keadilan. Direktur SKP KAME, Pastor Anselmus Amo MSC bersama Petrus Canisius Mandagi MSC Keuskupan Agung Merauke yang belum lama bertugas sebagai Bapak pengembala yang baik, lebih senang membuat MoU dengan PT Tunas Sawa Erma, Korindo Grup yang merusak lingkungan."

Tidak hanya sampai di situ. Pada pertengahan bulan Februari 2021, masyarakat adat pemilik ulayat di Jair, khususnya umat Katolik stasi Santo Timotius, paroki Saverius Asiki, menulis surat yang ditujukan kepada Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. Surat tersebut berisi lima  tuntutan.   Pertama, meminta Uskup Mandagi membatalkan MoU. Kedua, Keuskupan stop bekerjasama dengan Korindo Grup yang telah merusak tanah ulayat masyarakat adat. Ketiga, PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo Grup tidak lagi merampas tanah ulayat masyarakat adat di Jair. Keempat, Korindo grup sudah 29 tahun beroperasi dan masyarakat adat tidak mengalami kesejahteraan. Kelima, Pastor Anselmus Amo jangan mengastanamakan pemilik ulayat di Jair. Surat tersebut ditandatangani oleh ketua dewan stasi Santo Timotius, Kali Kao, Petrus Kinggo disertai dengan cap stasi Santo Timotius Kali Kao, paroki Saverius Asiki.

Pada tanggal 8 Maret 2021, pemilik tanah adat Wambon Kenemopte dan Auyu, Jair menulis surat kepada Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC. Surat tersebut terdiri atas tiga poin yaitu, pertama, mendesak Korindo Grup tidak merampas tanah adat suku Wambon Kenemopte dan Auyu, Jair. Kedua, kehadiran Korindo grup telah merampas hutan, tanah adat dan merusak lingkungan. Ketiga, meminta Uskup Mandagi membatalkan MoU dengan PT Tunas Sawa Erma. Surat tersebut ditandatangani oleh delapan orang perwakilan masyarakat.

Di Keuskupan Jayapura, aksi penolakan MoU Keuskupan Agung Merauke dan PT Tunas Sawa Erma dikoordinir oleh kelompok, "Satu Suara Awam Katolik Papua." Pada tanggal 25 Maret 2021, bertempat di Gua Maria Fajar Timur, koordinator kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua," secara terbuka menolak MoU. Tindak lanjut atas pernyataan tersebut, dilakukan aksi diskusi di asramat Katolik Tauboria, Sabtu, (20/02/2021) dan di asrama mahasiswa Boven Digoel, Kamis, (25/02/2021).

Selain diskusi, kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua," juga melakukan aksi, "Seribu Rupiah untuk Uskup Mandagi." Aksi ini dilakukan setiap hari Minggu di tiga gereja Katolik di Jayapura, Gembala Baik Abepura, Kristus Juruselamat Kotaraja dan Kristus Terang Dunia Waena. Aksi tersebut dimulai pada Minggu, (31/01/2021) sampai dengan saat ini aksi tersebut masih berlangsung. Aksi penggalangan dana seribu rupiah untuk Uskup Mandagi merupakan bentuk protes keras terhadap MoU Keuskupan Agung Merauke dan PT Tunas Sawa Erma sekaligus menuntut kedua belapihak membatalkan MoU tersebut, sebab merugikan masyarakat pemilik ulayat dan umat Katolik.

Kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua" menilai bahwa MoU antara Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC dan PT Tunas Sawa Erma tidak mencerminkan keberpihakan Gereja Katolik terhadap orang Papua, khususnya masyarakat adat di Jair yang mengalami  penderitaan akibat ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit Korindo grup. Masyarakat adat sedang berjuang mempertahankan tanah adatnya dari gempuran perusahaan perkebunan kelapa sawit Korindo grup. Di dalam situasi tersebut, Gereja Katolik semestinya hadir dan mendukung perjuangan masyarakat adat, bukan sebaliknya berselingkuh dengan perusahaan yang telah menyengsarakan masyarakat di Jair itu. Tampak jelas bahwa Uskup Mandagi telah mengabaikan keberpihakan Gereja Katolik terhadap orang Papua yang sedang tersingkir di atas tanah leluhurnya.

Kita juga melihat bahwa MoU tersebut sekaligus mengabaikan enseklik Laudato Si' yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus. Bumi, rumah kita bersama sedang menjerit akibat eksploitasi hutan yang tak terkendali. Perilaku hedonis dan konsumtif sedang melanda muka bumi bahkan bersarang dalam rumah Gereja Katolik. Di dalam situasi semacam ini, Uskup Mandagi justru hadir mendukung perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui MoU pengelolaan dana CSR dengan PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo grup yang selama ini merusak hutan hujan alam di Jair. Sebuah tindakan yang jauh dari keberpihakan terhadap masyarakat adat dan konservasi terhadap hutan hujan alam di Papua.

Respon Gembala Bagaikan Orang Upahan 

Aksi penolakan MoU melalui gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi di gereja Katolik Gembala Baik Abepura, Minggu, (7/03/2021). Dokpri.
Aksi penolakan MoU melalui gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi di gereja Katolik Gembala Baik Abepura, Minggu, (7/03/2021). Dokpri.
Aksi-aksi penolakan MoU telah dilakukan oleh pemilik ulayat di Jair, Boven Digoel, aktivis di Merauke dan aktivis dan mahasiswa di Jayapura sejak mencuatnya MoU tersebut pada 5 Januari 2021. Tetapi, sampai saat ini, Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC memilih bungkam. Ia tidak mau menanggapi aksi-aksi penolakan MoU tersebut. Pastor-Pastor pun dilarang untuk berbicara menanggapi penolakan MoU tersebut. Uskup Mandagi hanya memercayakan Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke, Pastor Anselmus Amo menjawab aksi-aksi penolakan itu di media massa.

Pada Selasa, (2/02/2021), harian Papua Selatan Pos (PSP) menerbitkan berita tanggapan Direktur SKP Keuskupan Agung Merauke,  Pastor Anselmus Amo MSC. Terhadap aksi penolakan MoU, melalui gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi, Pastor Amo bilang, "Pertanyaannya, mereka itu dari Keuskupan Agung Merauke kah, atau tuan-tuan dusun di wilayah Korindo kah? Kaitan mereka apa dan kepentingannya apa untuk membatalkan MoU?"

Pastor Amo juga bilang, "Yang jelas, tuan-tuan dusun yang ada di seputaran Korindo setelah mendapatkan penjelasan dari kami tidak ada masalah, artinya mereka mengerti apa yang dimaksud oleh Uskup," tutur Pastor Amo seperti ditulis dalam Papua Selatan Pos.

Menyimak lebih jauh bahwa pada tanggal 31 Januari 2021, bertempat di pastoran paroki Asiki, Pastor Anselmu Amo MSC melakukan pertemuan dengan Bapa Petrus Kinggo, dkk. Di dalam pertemuan itu pemilik ulayat di Jair yang hadir menolak MoU tersebut. Pemilik bertanya, "Apa niat dari Korindo memberikan bantuan dan kerjasama?" Pastor Amo tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia akan meneruskan pertanyaan itu kepada Uskup Mandagi. Tetapi, pada media Papua Selatan Pos, Pastor Amo mengatakan bahwa pemilik ulayat di sana tidak mempersoalkan MoU antara Keuskupan Agung Merauke dan PT Tunas Sawa Erma.

Di Jayapura, pada Rabu, (24/02/2021), bertempat di Susteran Maranatha Waena, empat orang perwakilan dari kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua" hendak menemui Uskup Agung Merauke, yang diwakili Vikjen Keuskupan Agung Merauke, Pastor Hendrikus Kariwop MSC dan Uskup Mandataris, Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, tetapi kedatangan mereka tidak diterima. Mereka hendak menyampaikan keberatan terhadap MoU Uskup Agung Merauke dan PT Tunas Sawa Erma sekaligus meminta Uskup Mandagi membatalkan MoU tersebut.

Aksi penolakan MoU melalui penggalangan dana seribu rupiah untuk Uskup Mandagi di tiga Gereja Katolik di Jayapura yaitu, gereja Gembala Baik Abepura, Kristus Juruselamat Kotaraja dan Kristus Terang Dunia Waena juga mendapatkan penolakan dari Pastor dan Dewan Gereja. Misalnya, di Gereja Katolik Kristus Juruselamat Kotaraja, pada Minggu, (28/02/2021), Pastor Paroki melarang seribu rupiah untuk Uskup Mandagi. Pada sore hari, pukul 17.30-20.21 WIT, kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua" melakukan pertemuan dengan Pastor Paroki Kristus Juruselamat Kotaraja, Pastor Albertus Setyo MSC.

Pada pertemuan itu, Pastor Albertus bilang, "Kami sudah ikuti aksi-aksi kalian belakangan ini. Kami sudah bicarakan dalam pertemuan di tingkat Dekenat baru-baru ini. Bapa Uskup, Dekan dan Pastor Paroki semua tidak berkenan untuk memberikan ijin kepada kamu untuk melakukan aksi dalam bentuk apa pun di Gereja."

Pada kesempatan pertemuan itu, perwakilan kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua" mengatakan komitmen mereka untuk tetap melakukan aksi seribu rupiah untuk Uskup Mandagi sebagai bentuk protes keras atas MoU dan meminta Uskup Mandagi dan PT Tunas Sawa Erma membatalkan MoU tersebut.

"Kami akan memberikan surat pemberitahuan aksi kepada Pastor Paroki dan Dewan Paroki. Entah diberikan ijin atau tidak, kami akan tetap melakukan aksi selama MoU tersebut belum dicabut. Kami akan berhenti melakukan aksi kalau MoU tersebut dicabut dan Keuskupan Agung Merauke menghentikan kerjasama dengan perusahaan sawit itu," tegas salah satu perwakilan yang hadir dalam pertemuan itu.

Pada hari Minggu, (21/03/2021), di Gereja Katolik Waena, Diakon Okto Malisngoran pada saat menyampaikan pengumuman menyentil aksi tolak MoU melalui gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi. Diakon Okto bilang, "Kelompok yang menamakan diri, 'Satu Suara Kaum Awam Katolik' yang sudah dinyatakan oleh Gereja tidak boleh beraktivitas, tapi mereka masih terus mendatangi umat. Mereka sudah buat surat lagi. Pada hari Kamis, (11/03/2021) yang lalu, Bapa Uskup Jayapura sudah menegaskan kelompok ini tidak resmi. Yang kedua, mereka mencari uang untuk keuskupan Merauke, sementara Uskup Merauke mengatakan tidak membutuhkan bantuan dari siapa pun. Sehubungan dengan itu, sekarang kita mempertanyakan uang yang mereka kumpul itu ke mana? Saya  minta kepada adik-adik yang terlibat dalam kelompok ini, lebih baik berhenti daripada kamu berurusan dengan polisi. Bapa Uskup sudah bilang kalau tidak bisa ditertibkan dilaporkan ke polisi saja. Saya minta supaya kita tertib sedikit. Terima kasih atas perhatiannya."

Pernyataan Diakon Okto tersebar luas di media sosial. Sikap pro-kontra bermunculan terhadap aksi gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi. Menyikapi situasi ini, Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Jayapura berupaya  menjumpai koordinator dan anggota kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua," untuk memulai diskusi terkait aksi-aksi penolakan MoU di Jayapura. Perjumpaan itu terjadi pada Rabu, (24/03/2021) sore hari.

Koordinator kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua," Melvin F. Waine bilang, "Komisi Kerasulan Awam mendatangi kami, termasuk saya di asrama Tauboria. Pada pukul 18.00 WIT, kami melakukan pertemuan bersama. Hasilnya, Komisi Kerasulan Awam akan menghubungi Uskup Jayapura terkait pernyataannya sebagaimana yang disampaikan Diakon Okto di gereja Waena. Komisi Kerasulan Awam juga akan menghubungi Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi untuk membicarakan permasalahan MoU tersebut. Selain itu, dalam waktu dekat akan ada diskusi lebih lanjut dengan Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Jayapura," tutur Melvin menjelaskan pertemuannya dengan Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Jayapura.

Domba Bersikukuh Menolak MoU

Aksi Minggu, (14/03/2021) di gereja Kristus Terang Dunia Waena. Dokpri.
Aksi Minggu, (14/03/2021) di gereja Kristus Terang Dunia Waena. Dokpri.
Kita menyaksikan bahwa sejak penyerahan dana tahap pertama dari PT Tunas Sawa Erma kepada Uksup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC sebesar Rp 800 juta pada Senin, (05/01/2021) menimbulkan penolakan dari pemilik ulayat, para aktivis dan mahasiswa. Beragam aksi penolakan dilakukan mulai dari menulis di media on line, Facebook, WhatssAp dan gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi yang dilaksanakan setiap hari di Gereja Katolik Abepura, Waena dan Kotaraja, Jayapura. 

Aksi penolakan MoU bukan tanpa alasan. Kita mengetahui bahwa pembangunan Seminari Menengah Pastor Bonus di Merauke adalah tanggung jawab umat Katolik Keuskupan Agung Merauke, bukan PT Tunas Sawa Erma. Kita mengetahui rekam jejak PT Tunas Sawa Erma yang menyengsarakan pemilik ulayat di Jair. SKP Keuskupan Agung Merauke mengetahui dengan baik rekam jejak perusahaan perkebunan kelapa sawit Korindo grup. Bahkan pada Kamis, (12/11 2020), BBC menerbitkan laporan mereka terkait perusakan hutan hujan alam yang dilakukan oleh perusahaan Korindo grup di Jair. Mengapa tiba-tiba Direktur SKP KAMe, Pastor Anselmus Amo MSC berdiri mendampingi Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC dalam penyerahan dana tahap pertama sebagai realisasi terhadap MoU tersebut? Tampak bahwa MoU tersebut semacam mencuci noda dosa Korindo grup terhadap masyarakat adat di Jair.

Kita mengetahui bahwa Seminari Pastor Bonus adalah lembaga pendidikan yang mempersiapkan calon Pastor untuk melayani umat Allah, maka umat Katolik Keuskupan Agung Merauke bertanggung jawab atas pendidikan bagi para calon imamnya, bukan dengan cara instan menerima uang dari perusahaan sawit yang telah menyengsarakan OAP di Jair dan sekitarnya, lalu berpura-pura menjadi penyelamat bagi orang asli Papua.

Kita juga mengetahui bahwa seorang Uskup bertugas melindungi dan memelihara kawanan domba, umat Allah sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Bab II tentang Uskup, bukan sebaliknya atas nama kawanan domba menerima uang untuk pembangunan Seminari, yang adalah tempat mempersiapkan calon-calon imam Papua. Apa lagi uang tersebut berasal dari perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah puluhan tahun menyengsarakan masyarakat adat di wilayah beroperasinya PT Tunas Sawa Erma itu.

Kita melihat bahwa ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit, baik milik pemerintah seperti PTPN di Arso, maupun perusahaan milik swasta telah merusak ratusan ribu hutan hujan alam Papua. Kita lihat perusahaan sawit di Keerom, Lereh, Merauke, Boven Digoel, Nabire, apakah menyejahterakan pemilik ulayat orang asli Papua? Tidak! Berapa banyak anak-anak Papua di wilayah perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi Dokter, Mantri, Bidan, Guru? Pemilik ulayat, orang asli Papua justru melarat karena kehilangan sumber-sumber air bersih dan makanan karena dusun dan hutan telah hilang. Selain itu, tempat-tempat keramat/sakral pun ikut lenyap!

Paling krusial, bahwa orang asli Papua hidup dalam kesatuan mereka dengan alam. Kalau hutan alam, dusun, tempat sakral sudah musnah, maka orang asli Papua, yang tersisa sedikit ini sedang hidup, tetapi sebenarnya mati. Dasar pijak dan akar bertumbuh yaitu hutan dusun dan tempat keramat sudah musnah. Kalau hutan-hutan alam, dusun, tempat keramat di tanah Papua dihancurkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan Gereja Katolik ikut bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan tersebut, maka bagaimana dengan masa depan orang asli Papua yang adalah warga Gereja Kristus?

Apabila Uskup Keuskupan Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC benar-benar peduli pada masyarakat pemilik ulayat yang hutan dusunnya dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Tunas Sawa Erma dan perusahaan perkebunan kelapa sawit lainnya, maka Uskup bisa memanggil perusahaan-perusahaan itu dan berdiskusi dengan pemilik ulayat terkait pengelolaan dana CSR dan dana pemberdayaan untuk pengembangan pendidikan, kesehatan dan ekonomi warga pemilik ulayat yang terdampak kehadiran perusahaan perkebunan sawit itu. Dengan demikian, pemilik ulayat mendapatkan perhatian dan kompenisasi yang setimpal atas hak-hak mereka.

Kita melihat bahwa MoU pengelolaan dana CSR antara Keuskupan Agung Merauke dan PT Tunas Sawa Erma telah menimbulkan polemik dan ketidakpercayaan kawanan domba terhadap Gembalanya. Kita melihat Gembala masih tetap pada pendiriannya. Ada kesan Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC tidak mau peduli dengan suara-suara penolakan MoU itu. Sikap Uskup Mandagi semacam ini menimbulkan ketidakpercayaan kawanan domba terhadap karya penggembalaannya di Keuskupan Agung Merauke dan tanah Papua secara umum.

Untuk mengurai polemik ini, Gembala perlu mendengarkan kawanan domba. Sebab, seorang Gembala hadir untuk domba-dombanya. Kita merenung sejenak, Uskup datang ke Papua untuk siapa? Bukankah Uskup untuk kawanan domba orang Papua? Kita prihatin menyaksikan Gembala dan kawanan domba berjumpa di media massa, media sosial dan di halaman Gereja sejak bulan Januari 2021 sampai saat ini lantaran MoU ini.

Kini waktunya bagi kedua belapihak, Gembala dan domba bertemu di ruang dialog dan saling bercakap-cakap satu sama lain. Secara khusus, Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC sebagai orang tua sekaligus Uskup Agung di tanah Papua perlu memanggil dan memeluk anak-anaknya yang menolak MoU yang dilakukannya bersama PT Tunas Sawa Erma. Di dalam ruang terbuka, sebagai Bapa dan anak, saling bertemu dan mengungkapkan pendapatnya masing-masing dan bersama-sama mencari jalan penyelesaian secara bermartabat. [Nabire, 25/03/2021; pukul 20.30 WIT_Hari Raya Kabar Sukacita].

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun