Pada kesempatan pertemuan itu, perwakilan kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua" mengatakan komitmen mereka untuk tetap melakukan aksi seribu rupiah untuk Uskup Mandagi sebagai bentuk protes keras atas MoU dan meminta Uskup Mandagi dan PT Tunas Sawa Erma membatalkan MoU tersebut.
"Kami akan memberikan surat pemberitahuan aksi kepada Pastor Paroki dan Dewan Paroki. Entah diberikan ijin atau tidak, kami akan tetap melakukan aksi selama MoU tersebut belum dicabut. Kami akan berhenti melakukan aksi kalau MoU tersebut dicabut dan Keuskupan Agung Merauke menghentikan kerjasama dengan perusahaan sawit itu," tegas salah satu perwakilan yang hadir dalam pertemuan itu.
Pada hari Minggu, (21/03/2021), di Gereja Katolik Waena, Diakon Okto Malisngoran pada saat menyampaikan pengumuman menyentil aksi tolak MoU melalui gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi. Diakon Okto bilang, "Kelompok yang menamakan diri, 'Satu Suara Kaum Awam Katolik' yang sudah dinyatakan oleh Gereja tidak boleh beraktivitas, tapi mereka masih terus mendatangi umat. Mereka sudah buat surat lagi. Pada hari Kamis, (11/03/2021) yang lalu, Bapa Uskup Jayapura sudah menegaskan kelompok ini tidak resmi. Yang kedua, mereka mencari uang untuk keuskupan Merauke, sementara Uskup Merauke mengatakan tidak membutuhkan bantuan dari siapa pun. Sehubungan dengan itu, sekarang kita mempertanyakan uang yang mereka kumpul itu ke mana? Saya  minta kepada adik-adik yang terlibat dalam kelompok ini, lebih baik berhenti daripada kamu berurusan dengan polisi. Bapa Uskup sudah bilang kalau tidak bisa ditertibkan dilaporkan ke polisi saja. Saya minta supaya kita tertib sedikit. Terima kasih atas perhatiannya."
Pernyataan Diakon Okto tersebar luas di media sosial. Sikap pro-kontra bermunculan terhadap aksi gerakkan seribu rupiah untuk Uskup Mandagi. Menyikapi situasi ini, Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Jayapura berupaya  menjumpai koordinator dan anggota kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua," untuk memulai diskusi terkait aksi-aksi penolakan MoU di Jayapura. Perjumpaan itu terjadi pada Rabu, (24/03/2021) sore hari.
Koordinator kelompok "Satu Suara Awam Katolik Papua," Melvin F. Waine bilang, "Komisi Kerasulan Awam mendatangi kami, termasuk saya di asrama Tauboria. Pada pukul 18.00 WIT, kami melakukan pertemuan bersama. Hasilnya, Komisi Kerasulan Awam akan menghubungi Uskup Jayapura terkait pernyataannya sebagaimana yang disampaikan Diakon Okto di gereja Waena. Komisi Kerasulan Awam juga akan menghubungi Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi untuk membicarakan permasalahan MoU tersebut. Selain itu, dalam waktu dekat akan ada diskusi lebih lanjut dengan Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Jayapura," tutur Melvin menjelaskan pertemuannya dengan Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Jayapura.
Domba Bersikukuh Menolak MoU
Aksi penolakan MoU bukan tanpa alasan. Kita mengetahui bahwa pembangunan Seminari Menengah Pastor Bonus di Merauke adalah tanggung jawab umat Katolik Keuskupan Agung Merauke, bukan PT Tunas Sawa Erma. Kita mengetahui rekam jejak PT Tunas Sawa Erma yang menyengsarakan pemilik ulayat di Jair. SKP Keuskupan Agung Merauke mengetahui dengan baik rekam jejak perusahaan perkebunan kelapa sawit Korindo grup. Bahkan pada Kamis, (12/11 2020), BBC menerbitkan laporan mereka terkait perusakan hutan hujan alam yang dilakukan oleh perusahaan Korindo grup di Jair. Mengapa tiba-tiba Direktur SKP KAMe, Pastor Anselmus Amo MSC berdiri mendampingi Uskup Agung Merauke, Mgr. P.C Mandagi MSC dalam penyerahan dana tahap pertama sebagai realisasi terhadap MoU tersebut? Tampak bahwa MoU tersebut semacam mencuci noda dosa Korindo grup terhadap masyarakat adat di Jair.
Kita mengetahui bahwa Seminari Pastor Bonus adalah lembaga pendidikan yang mempersiapkan calon Pastor untuk melayani umat Allah, maka umat Katolik Keuskupan Agung Merauke bertanggung jawab atas pendidikan bagi para calon imamnya, bukan dengan cara instan menerima uang dari perusahaan sawit yang telah menyengsarakan OAP di Jair dan sekitarnya, lalu berpura-pura menjadi penyelamat bagi orang asli Papua.
Kita juga mengetahui bahwa seorang Uskup bertugas melindungi dan memelihara kawanan domba, umat Allah sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Bab II tentang Uskup, bukan sebaliknya atas nama kawanan domba menerima uang untuk pembangunan Seminari, yang adalah tempat mempersiapkan calon-calon imam Papua. Apa lagi uang tersebut berasal dari perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah puluhan tahun menyengsarakan masyarakat adat di wilayah beroperasinya PT Tunas Sawa Erma itu.
Kita melihat bahwa ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit, baik milik pemerintah seperti PTPN di Arso, maupun perusahaan milik swasta telah merusak ratusan ribu hutan hujan alam Papua. Kita lihat perusahaan sawit di Keerom, Lereh, Merauke, Boven Digoel, Nabire, apakah menyejahterakan pemilik ulayat orang asli Papua? Tidak! Berapa banyak anak-anak Papua di wilayah perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadi Dokter, Mantri, Bidan, Guru? Pemilik ulayat, orang asli Papua justru melarat karena kehilangan sumber-sumber air bersih dan makanan karena dusun dan hutan telah hilang. Selain itu, tempat-tempat keramat/sakral pun ikut lenyap!