Fenomena perjuangan Papua merdeka tidak pernah surut. Hampir setiap hari, ada gerakkan menuntut Papua merdeka di tanah Papua. Di dunia internasioNAl, lobi-lobi Papua merdeka ke negara pasifik gencar dilakukan. Demikian halnya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) melancarkan aksi perlawanan tanpa henti.
Mengapa nasionalisme Indonesia tidak berakar kuat dalam hati orang Papua? Mengapa orang Papua tidak merasa nyaman tinggal dalam rumah NKRI sehingga berjuang meraih kemerdekaannya? Bukankah pemerintah Indonesia gencar melakukan pembangunan di tanah Papua?
Kita menyaksikan dan atau mengalami bahwa nasionalisme Indonesia tidak tertanam dan berakar kuat dalam hati orang Papua. Tidak banyak orang Papua merasa bangga menjadi warga negara Indonesia. Sebagian besar orang Papua lebih mencintai Papua sebagai bangsanya. Kita dapat melihatnya dalam berbagai gerakkan dan perjuangan pembebasan Papua.
Ketika kita membuka lembar sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, kita menemukan pendekatan militer mendominasi. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Trikora. Sejak saat itu, Indonesia menerapkan pendekatan militer dalam menghadapi orang Papua. Bahkan pada masa pemberlakuan UU No.21/2001 tentang otonomi khusus Papua, operasi militer tetap berlangsung di tanah Papua.
Pendekatan militer yang diterapkan pemerintah Indonesia menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan orang Papua. Ketidakpercayaan orang Papua terhadap Indonesia wajar. Sebab, bagaimana mungkin Indonesia menyatakan cintanya kepada orang Papua dengan mengirim pasukan militer ke tanah Papua?
Kehadiran pasukan militer berlebihan di tanah Papua membuat orang Papua tidak merasa nyaman. Di tanah Papua, kita lebih mudah menjumpai tentara dan polisi ketimbang dokter, mantri, perawat, guru, petugas pertanian, peternakan dan perikanan. Rumah NKRI di Papua diwarnai oleh tentara dan polisi. Sedangkan, sumber daya manusia (SDM) orang Papua yang masih tertinggal, yang membutuhkan guru dan tenaga kesehatan terabaikan.
Pemerintah Indonesia mendirikan rumah NKRI di Papua tidak berasaskan kesetaraan. Orang Papua masih dilihat sebatas pemberontak yang perlu ditumpas. Setiap gerakkan menuntut keadilan selalu dibungkam dengan kekuatan militer.
Selama ini, pemerintah Indonesia telah gencar melakukan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bandara dan pelabuhan. Tetapi, pembangunan infrastruktur itu untuk siapa? Sebab, SDM orang Papua tetap tertinggal. Selain itu, orang Papua lebih banyak mati, baik karena penyakit seperti HIV-AIDS, TBC, malaria dan berbagai penyakit lainnya maupun ditembak oleh militer Indonesia.
Di Papua, baik provinsi Papua maupun Papua Barat, infrastruktur dasar seperti gedung sekolah dasar, rumah guru, gedung Puskesmas Pembantu (Pustu) di kampung-kampung terabaikan. Pembangunan lebih fokus di perkotaan dan dinikmati oleh orang pendatang. Sedangkan, orang Papua yang tinggal di kampung-kampung terpencil tetap menderita lantaran tidak bisa mengakses pendidikan dasar dan layanan kesehatan.
Ketidakadilan bagi orang Papua tampak jelas dan terang benderang. Pemerintah Indonesia berupaya mempertahankan orang Papua agar tetap tinggal di dalam rumah NKRI, tetapi sekaligus tetap melakukan pendekatan represif terhadap orang Papua. Selama ini, pemerintah Indonesia tidak mau membuka ruang perundingan/dialog dengan orang Papua untuk menyelesaikan permasalahan Papua.
Pemerintah Indonesia selalu mengklaim bahwa Papua telah final di dalam NKRI. Bahwa integrasi Indonesia ke dalam NKRI melalui Pepera 1969 tidak dapat diganggugugat oleh siapa pun. Tetapi, apakah Pepera telah dilaksanakan secara jujur dan berdasarkan Perjanjian New York 15 Agustus1962, yang mengamanatkan satu orang satu suara? Fakta sejarah mencatat bahwa pada saat pelaksanaan Pepera 1969, jumlah penduduk orang Papua adalah 809.337, tetapi Pepera diikuti oleh 1.025 orang saja. Peserta Pepera tidak semuanya orang asli Papua. Selain itu, Â pelaksanaan Pepera berada dalam kontrol dan tekanan militer Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada tahun 2009 menerbitkan buku "Papua Road Map" yang mengidentifikasi empat permasalahan pokok di tanah Papua. Keempat permasalahan itu meliputi: 1) masalah sejarah integrasi Papua; 2) masalah pelanggaran HAM, 3) masalah pembangunan dan 4) masalah marginalisasi terhadap orang Papua. Â Â
Seiring gencarnya gerakkan Papua merdeka, pemerintah Indonesia perlu membuka diri terhadap tuntutan orang Papua. Pemerintah Indonesia tidak bisa mengelak dan mengatakan, "Papua sudah final di dalam NKRI." Pemerintah Indonesia harus membuka ruang perundingan dengan orang Papua. Apabila, pemerintah Indonesia tetap mengedepankan pendekatan militer, maka permasalahan Papua tidak akan pernah selesai. Dan, tidak mustahil, Papua akan berpisah dengan Indonesia. Â
Masa depan Papua bersama dengan NKRI sangat tergantung pada kebijakan pemerintah Indonesia. Apabila pemerintah Indonesia masih mau orang Papua menjadi bagian dari Indonesia, maka segera hentikan berbagai pendekatan militer, termasuk operasi militer dan operasi intelejen. Pemerintah Indonesia segera membuka perundingan dengan orang Papua. Di dalam perundingan itu, berbagai permasalahan Papua dapat dibicarakan dan diselesaikan secara bersama oleh kedua belapihak.
Pemerintah Indonesia masih memiliki waktu dan kesempatan untuk berunding dengan orang Papua. Apabila tidak dimanfaatkan dengan baik, maka jangan heran dan kaget apabila pada waktunya nanti, Papua benar-benar berpisah dari NKRI. Sebab, saat ini dunia internasional sedang mengarahkan pandangan ke tanah Papua. Setiap bentuk kekerasan militer Indonesia terhadap orang Papua dalam hitungan menit dapat diakses dunia internasional. Karena itu, pemerintah Indonesia segera hentikan segala bentuk pendekatan militer terhadap orang Papua dan buka ruang perundingan. [28-11-2020; 09.20 WIT].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H