Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Laudato Si', Anti Virus Penyakit Ekologis

23 Mei 2020   17:15 Diperbarui: 23 Mei 2020   17:20 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mama Bumi merupakan rumah bersama bagi segenap makhluk ciptaan. Meskipun demikian, realitas memperlihatkan, manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan mendominasi bahkan menguasai ciptaan lainnya. 

Alam menjadi rusak karena dieksploitasi secara berlebihan oleh manusia. Manusia bagaikan virus yang menakutkan bahkan mematikan bagi alam. Kerusakan alam sebagai akibat dari keserakahan manusia itu melahirkan berbagai bencana alam dan penyakit yang datang silih berganti menghampiri manusia.

Dewasa ini, kerusakan alam semakin meluas. Hutan telah berganti menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri lainnya. Sebagian hutan telah berubah wujud menjadi lokasi pemukiman. 

Gunung dibongkar untuk eksploitasi tambang emas, nikel, batu bara dan lain-lain. Penangkapan ikan menggunakan pukat harimau. Pertanian dan perkebunan menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Berbagai produk menggunakan kemasan plastik. Kantong plastik beredar secara luas di pasar dan mall.

Kerusakan alam tidak berdiri sendiri. Ekosistem di alam menjadi rusak karena intervensi manusia yang tidak bertanggung jawab. Manusia terlampu mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan sesamanya dan alam. 

Sikap dan perilaku individualistik dan konsumtif masih mendominasi hidup manusia. Sikap ugahahari dan sederhana masih merupakan cita-cita abstrak yang belum terwujud. Manusia berlomba-lomba memperkaya dirinya sendiri dengan mengorbankan sesamanya dan alam semesta.

Mama Bumi, rumah kita bersama sedang menangis. Dalam situasi seperti itulah, Paus Fransiskus mengeluarkan enseklik Laudato Si', pada 24 Mei 2015. Laudato Si' menarasikan kembali jeritan alam sekaligus mengajak manusia untuk berdialog tentang kondisi Mama Bumi. Paus Fransiskus menulis, "Saya meminta dengan sangat agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusiawinya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua." (Laudato Si', No.14).

Laudato Si' telah berusia lima tahun (2015-2020). Apakah manusia pada umumnya dan secara khusus umat Katolik telah mengambil bagian dalam percakapan tentang merawat Mama Bumi? Kita melihat dan mengalami bahwa dokumen Laudato Si' yang berisi ajakan Paus Fransiskus untuk memelihara alam masih sebatas diskusi dan percakapan di kalangan elit Gereja: Pastor, Frater, komunitas religius biarawan-biarawati dan kelompok pemerhati hak asasi manusia dan lingkungan. Laudato Si' belum meng-umat. Ia masih berada di luar kehidupan umat beriman Katolik dan manusia beriman lainnya. Ia belum masuk dan menjadi bagian hidup manusia.

Seyogianya, panggilan merawat Mama Bumi, rumah kita bersama bersifat universal, melampaui perbedaan suku bangsa, budaya dan agama. Mama Bumi dihuni oleh segenap manusia, maka setiap pribadi manusia bertanggung jawab merawatnya. Universalitas dokumen Laudato Si' tampak jelas dalam "doa untuk bumi kita" yang diperuntukkan bagi segenap umat beriman. Meskipun demikian, usaha perawatan Mama Bumi masih berjalan tertatih-tatih, baik di dalam Gereja Katolik maupun pada masyarakat luas.

Kita menyaksikan limbah dan sampah domestik, yang berasal dari keluarga-keluarga masih berserakan di sekitar rumah tempat tinggal. Parit-parit tampak kumuh dan kotor tertutup sampah dan limbah. Sampah plastik mendominasi permukaan air sungai dan laut. Di dalam keluarga-keluarga, kita menyaksikan pemborosan pemakaian produk kimia, sabun mandi, sabun cuci, pembersih lantai dan lain-lain. Pemakaian air dan listrik secara berlebihan, tanpa memikirkan jeritan Mama Bumi dan orang-orang miskin yang tidak dapat mengaksesnya.

Keluar dari rumah, kita menyaksi para petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam mengolah sawah padi, kebun sayur dan buah-buahan. Di jalan raya, kita menyaksikan kendaraan pribadi (motor dan mobil) lalu lalang tanpa henti, yang menyebabkan udara menjadi kotor. Di Mall, toko dan pasar, kita menyaksikan hampir semua produk berbalut bahan dasar plastik.

Ketika kita menyusuri pinggiran kota dan masuk ke wilayah perkampungan dan pedalaman, kita menyaksikan hutan-hutan lebat telah menjadi gundul. Penebangan pohon tidak terkendali. Hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri lainnya serta perumahan-perumahan mewah. Gunung dan bukit dibongkar demi emas, tembaga, nikel dan batu bara. Seketika kita teringat film dokumenter "Sexy Killers" yang sempat menghebohkan Indonesia lantaran mengangkat eksploitasi tambang batu bara yang dilakukan oleh elit penguasa Indonesia.

Apa pun narasinya, saat ini Mama Bumi sedang menangis kesakitan akibat perilaku manusia yang merusak alam. Manusia bagaikan virus mematikan bagi alam. Apabila kita mau jujur, kerusakan alam paling berdampak pada kehidupan manusia. Manusialah yang paling menderita akibat kerusakan alam. Situasi pandemi virus Corona saat ini, yang berawal di kota Wuhan pada Oktober 2019 sampai dengan saat ini mengisahkan dengan jelas bahwa relasi manusia dan alam sedang rusak. 

"Virus ini sebenarnya bersarang dalam tubuh binatang, bukan manusia. Tetapi, saat ini virus ini bermutasi ke tubuh manusia. Bisa jadi karena binatang-binatang yang harusnya virus ini bersarang sudah habis sehingga dia pindah ke manusia," tutur salah satu dokter, yang juga aktivis kemanusiaan di Asmat. Dugaan apa pun tentang asal-usul virus corona, kita patut belajar bahwa apabila manusia tidak bertobat dan memperlakukan alam secara adil, maka kematian demi kematian akibat bencana alam dan berbagai virus akan semakin dekat dengan manusia.

Demi merawat Mama Bumi, kita perlu bertobat. Pertobatan ekologis harus mewarnai hidup kita dengan alam. Kita harus menerima dan menghormati alam sebagai Saudara di dalam Pencipta. Santo Fransiskus Asisi berulang kali menegaskan bahwa kita semua (manusia dan alam) berasal dari Allah, sang Pencipta. Kita semua makhluk berdosa. Kita telah ditebus oleh Tuhan Yesus melalui kelahiran-Nya di Betlehem, penyerahan diri-Nya di altar pada perjamuan malam terakhir bersama murid-murid-Nya dan wafat-Nya di kayu salib. Bukti kecintaannya kepada semua makhluk dan manusia yang paling miskin, bahkan maut, ia menciptakan syair, "Gita Sang Surya" yang menggambarkan relasi holistik manusia, alam semesta dan Allah, sang pemilik hidup.

Pertobatan ekologis harus menjadi cara hidup baru dalam membangun persaudaraan universal dengan semua makhluk ciptaan Allah. Meskipun demikian, masih ada orang-orang yang berdoa, tetapi bersikap acuh terhadap lingkungan alam, bahkan ada pula yang bersikap malas tahu. Kepada orang-orang demikian, Paus Fransiskus menulis, "Pertobatan ekologis, yang berarti membiarkan seluruh buah perjumpaan mereka dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka. Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh, dan bukan sesuatu yang opsional atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani." (Laudato Si, No. 217). Ia menambahkan, "Ketika mengingat teladan Santo Fransiskus dari Assisi, kita menjadi sadar bahwa hubungan yang sehat dengan dunia ciptaan merupakan salah satu dimensi pertobatan manusia yang utuh. Ini berarti pula mengakui kesalahan kita, segala dosa, kejahatan atau kelalaian kita, dan bertobat dengan sepenuh hati, berubah dari dalam lubuk hati," (Laudato Si, No. 218). Tampak jelas bahwa doa dan seluruh perbuatan baik kepada Allah, selalu berdimensi ekologis, maka tidak bisa dilepaspisahkan satu dari yang lainnya.

Pertobatan ekologis menjadi nyata di dalam tindakan keberpihakan terhadap alam semesta. Keberpihakan itu berawal dari dalam diri sendiri. Tubuh kita perlu dilatih menghayati kesederhanaan. Kita menggunakan pakaian secukupnya. Kita makan sesuai kebutuhan tubuh, tidak berlebihan. 

Kita tidak membiarkan tubuh kita menjadi tempat pajangan aksesoris dan tumpukan lemak yang tidak perlu. Kita pun perlu memanfaatkan teknologi secukupnya. Kita tidak perlu melekat dengah hand phone yang mahal harganya. Kita perlu belajar melepaskan kelekatan pada kenikmatan duniawi dan mengarahkan diri kepada Allah yang miskin dan menanggung banyak penderitaan demi menyelamatkan manusia dan alam semesta.

Pertobatan ekologis serentak pula mengundang kita untuk mengarahkan pandangan kepada orang miskin. Seringkali kita tidak sadar bahwa kerakusan kita terhadap alam semesta telah mengorbankan orang miskin, yang melarat karena kesulitan mengakses air bersih, makanan sehat dan tempat tinggal yang layak. Kita telah mencuri dari alam, apa yang menjadi hak-hak orang miskin. Karena itu, kita perlu bertobat dari cara kita memperlakukan alam, yang berdampak langsung kepada kehidupan orang-orang miskin.

Laudato Si' merupakan anti virus penyakit ekologis yang sedang merebak luas. Ia adalah cinta, belas kasih, kerendahan hati dan kesetaraan manusia kaya dan miskin serta alam semesta. Ia menghubungkan dua kutub, manusia dan alam semesta, yang tinggal di dalam satu rumah, yaitu rumah Mama Bumi, yang saat ini sedang menjerit. Laudato Si' hadir dan membuka pintu menuju kesatuan holistik manusia, alam semesta dan Allah, Pencipta. Laudato Si' bukan hanya kumpulan rangkaian kata-kata dan kalimat. Ia adalah kasih yang mempertemukan dan menyatukan manusia dan alam untuk hidup berdampaingan dalam perziarahan menuju sang Pencipta.

Selamat merayakan ulang tahun enseklik Laudato Si' ke-5, Minggu, 24 Mei 2020. Allah Pencipta langit dan bumi, alam semesta dan segenap makhluk memberkati kita dalam usaha merawat Mama Bumi, rumah kita bersama. Amin. [Agats, 23 Mei 2020_09.23 WIT].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun