Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Virus Corona, Pintu Menuju Cara Hidup Baru

23 Mei 2020   09:22 Diperbarui: 23 Mei 2020   09:17 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi virus corona pertama kali dilaporkan ditemukan di kota Wuhan, China, pada Oktober 2019. Virus corona melintasi benua dari kota Wuhan ke seluruh dunia, tanpa kecuali. Dalam waktu singkat, jutaan orang telah terinfeksi. Ratusan ribu nyawa telah meninggal dunia, baik pasien positif virus corona maupun tenaga kesehatan yang berada di garis depan.

Kita menyaksikan negara maju sekalipun seperti Amerika Serika, Italia, Rusia cukup kewalahan mengatasi virus corona ini. Berbagai kebijakan diterbitkan oleh setiap negara untuk mengatasi virus yang sampai saat ini belum ada vaksinnya itu. Di Indonesia, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, pada 31 Maret 2020. 

Di setiap daerah, Gubernur dan Bupati mengeluarkan surat keputusan penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) virus corona. Berbagai kebijakan tersebut menjadi instrumen dasar untuk menyelamatkan warga masyarakat dari kematian akibat virus corona.

Seketika, hiruk pikuk dan keramaian dunia berubah total. Umat manusia kembali ke rumah masing-masing. Tempat-tempat ibadah tutup. Perkantoran pemerintah dan swasta tutup. Pusat-pusat perbelanjaan, toko dan mall pun tutup atau hanya beroperasi beberapa jam saja. Penerbangan domestik dan internasional sangat terbatas hanya untuk keperluan bantuan kemanusiaan. Kapal penumpang tidak berlayar. Hotel dan tempat wisata pun tidak beroperasi.  Dunia menjadi sepi.

Virus corona telah "mengurung" umat manusia di dalam rumah selama berbulan-bulan. Kebijakan lockdown dan PSBB memaksa manusia untuk tinggal di rumah masing-masing. Pada masa pandemi virus corona, lahirlah istilah kerja dari rumah, berdoa dari rumah, belajar dari rumah. Semua aktivitas berlangsung di rumah.

Pandemi virus corona serentak pula mengundang solidaritas kemanusiaan. Bangsa-bangsa saling membantu. Misalnya, China mengirimkan tenaga medisnya ke Italia. Negara mengalokasikan anggaran besar untuk bantuan bagi keluarga-keluarga yang mengalami dampak virus corona. Solidaritas juga lahir dari organisasi sosial kemasyarakatan dan individu-individu yang peduli pada penderitaan sesamanya.

Secara spiritual, Paus Fransiskus mengeluarkan seruan doa dan puasa lintas iman, pada 14 Mei 2020 untuk memohon belas kasih Tuhan bagi dunia, terutama umat manusia dan alam semesta   yang sedang menderita akibat virus corona. Setiap negara melaksanakan doa dan puasa tersebut seturut keyakinan warga masyarakatnya.

Di tengah pandemi virus corona, ketika manusia berdiam diri di dalam rumah, kita menyaksikan langit cerah, awan biru tampak di angkasa raya. Misalnya, di Jakarta, bertahun-tahun, orang tidak bisa menyaksikan langit biru, tetapi pada bulan Maret silam, dua minggu setelah virus corona mengurung warga Jakart di rumahnya masing-masing, orang bisa menikmati kembali langit cerah yang telah hilang puluhan tahun itu.

Pandemi virus corona, di satu sisi membuat manusia tidak bisa beraktivitas dan perekonomian dunia terseok-seok, tetapi di sisi lain memulihkan luka-luka alam yang disebabkan oleh keserahakan manusia. Selama puluhan tahun, alam menjerit karena perilaku individualistik dan konsumtif yang dipraktekkan umat manusia. Hutan, tanah, air udara menanggung penderitaan luar biasa karena ketamakan dan kerakusan manusia. 

Paus Fransiskus menarasikan penderitaan Ibu Pertiwi (Mama Bumi) dalam enseklik Laudato Si, "Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. 

Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hatikita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang palingkita abaikan dan lecehkan." (Laudato Si. Nomor 2).

Sebagaimana pasca Perang Dunia II telah melahirkan budaya persaingan persenjataan, teknologi komunikasi, transportasi, perekonomian, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di antara negara-negara di dunia, maka kita berharap pasca pandemi virus corona manusia di seluruh dunia akan memulai cara hidup baru dengan lebih bersahabat dengan alam, terutama tanah, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan dan seluruh makhluk ciptaan lainnya. 

Manusia sebagai makhluk ciptaan yang berakal budi dan berhati nurani mulai membuka dirinya dan mau berekonsiliasi dan berdamai dengan alam semesta, yang selama puluhan tahun menderita karena ketamakan manusia.

Apa hidup baru yang relevan bagi manusia dan alam pasca pandemi virus corona? Setiap pribadi manusia harus merefleksikan kembali makna hidupnya. "Apa sesungguhnya makna hidup saya bagi diri saya, sesama dan alam semesta?" Pertanyaan ini membawa kita kepada pilihan sikap, apakah pasca pandemi virus corona ini kita masih akan mempraktekkan gaya hidup individualistik dan konsumtif atau kita akan menjadi pribadi yang sederhana, berjiwa sosial dan ekologis?

Pilihan sikap dan tindakan kita pasca pandemi virus corona sangat menentukan wajah dunia di masa kini dan masa depan. Apabila kita tetap berkutat pada perilaku rakus, tamak dan angkuh, maka bisa terjadi kita akan menuai lebih banyak lagi virus yang mematikan. Sebaliknya, apabila kita memulai cara hidup baru yang lebih ramah dan hormat terhadap alam semesta, maka kita akan selamat dan mewariskan suatu masa depan dunia yang membahagiakan bagi diri kita dan anak cucu kita.

Pandemi virus corona telah membawa kita masuk ke "perziarahan di hutan belantara" batin kita dan di dalam keluarga-keluarga kita. Selama berbulan-bulan, kita telah berdoa, berefleksi, berbagi kisah dan saling menguatkan satu sama lain. Kita saling memberikan harapan bahwa akan datang masa depan yang lebih baik. Manusia akan berdamai dengan alam. Keduanya akan merajut kembali ikatan-ikatan persaudaraan yang tercabik. 

Siapa yang akan mewujudkan harapan itu? Kitalah yang akan mewujudkan harapan akan masa depan yang lebih baik itu. Kitalah yang bekerwajiban merajut kembali rahmat persaudaraan yang rusak akibat ketamakan kita terhadap alam semesta. Sebagai manusia, yang dianugerahi akal budi dan hati nurani, kitalah yang harus memulai proses pemulihan dan penyembuhan dengan alam yang terluka itu.

Kita percaya, alam semesta: matahari, bulan, bintang, segala yang ada di langit dan di bumi, hutan, tanah, air, udara, pohon, hewan dan segenap makhluk akan menyambut sukacita keterbukaan kita untuk hidup berdampingan dengan mereka. Apabila, sebelumnya ada sekat, "kita manusia penguasa" dan "mereka alam yang patut dikuasai" maka ke depan, baik manusia maupun alam, hanya ada satu sapaan yaitu, "kita adalah Saudara di dalam Sang Pencipta." 

Kita berasal dari rahim belas kasih dan cinta Tuhan. Kita adalah Saudara. Kita saling melindungi dan bertumbuh bersama serta menghasilkan buah berlimpah: buah-buah kehidupan yang membawa kita bersama kembali kepada Sang Pemberi Hidup, tempat dari mana kita datang. Amin. [Petrus Pit Supardi_Agats, Jumat, 22 Mei 2020_14.31 WIT]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun