Kita menyaksikan, misalnya Gereja Katolik Keuskupan Jayapura sedang berlomba-lomba menghancurkan gedung gereja yang dibangun pada zaman misionaris seperti gedung gereja Katedral Jayapura, gedung gereja Santo Petrus dan Paulus Argapura dan gedung gereja Sang Penebus Sentani. Alasannya, gedung gereja lama tidak bisa menampung ribuan jemaat. Sebuah alasan klasik yang dikemukakan untuk menutupi kesombongan diri di tengah penderitaan orang Papua.Â
Bagaimana pimpinan Gereja dan gembala umat di kota-kota di Papua merasa sangat nyaman merayakan Ekaristi di gedung gereja mewah dan tinggal di istana pastoran yang serba lengkap sambil mengabaikan rekan Pastor dan gembala yang tinggal di pedalaman yang hidup sangat sederhana? Kita melihat bahwa seruan solidaritas dan empati tampak di mulut saja! Para gembala di kota-kota di Papua bersama umatnya lebih mementingkan kemewahan gedung gereja ketimbang bersolidaritas dan berempati dengan kemanusiaan jemaat seiman di wilayah pedalaman Papua. Â
Banyak tahun sebelumnya, perayaan Paskah, para gembala dan umat beriman  telah mengabaikan aspek penting makam Yesus yang kosong. Perayaan Paskah identik dengan kemeriahan gedung gereja dan kelompok paduan suara lantaran pesta besar, Tuhan bangkit.Â
Paskah tahun 2020 telah mengembalikan esensi Paskah yaitu hidup dan bangkit bersama Yesus. Umat Allah menjadi manusia baru. Kebangkitan itu bermula di dalam keluarga-keluarga. Yesus sendiri telah hidup dan bangkit. Ia telah berjumpa dengan keluarga-Nya, perempuan-perempuan yang mengikuti-Nya dan para rasul-Nya. Mereka yang selama karya-Nya menyertai-Nya.
Kita menyaksikan perayaan Paskah tahun 2020 ini, Gereja kosong di seluruh dunia, mulai dari Vatikan sampai di kota-kota di Papua, menjadi simbol bahwa persekutuan manusia menjadi lebih utama ketimbang gedung gereja! Manusia sebagai gambar dan rupa Allah harus menjadi prioritas pelayanan para gembala umat, bukan gedung gereja seperti yang dipraktekkan di Papua saat ini.Â
Pimpinan denominasi Gereja berlomba-lomba membangun gedung-gedung mewah di kota-kota di Papua dan mengabaikan orang Papua yang tidak bisa berobat, tidak bisa berobat dan gizi buruk serta mati karena malaria, TBC, kusta, HIV-AIDS, ditembak aparat keamanan dan lain-lain. Terhadap kondisi ini, baik para gembala maupun jemaat harus bertobat!
Perayaan Paskah tahun 2020 tanpa umat di gedung gereja menjadi gerakkan pemulihan martabat pribadi manusia. Santo Fransiskus Asisi berkata, "Sebab, seperti apa nilai seseorang, di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih," (Petuah 19, ayat 2b).Â
Selama ini, pimpinan Gereja dan para gembala, terutama di kota-kota di Papua mengabaikan pelayanan yang menyentuh aspek martabat pribadi manusia (jati diri manusia) dan mengejar aspek fisik gereja: gedung gereja, pastoran dan berbagai aksesoris fisik lainnya.
Saat ini dan ke depan, para gembala harus bertobat dari sikap dan perilaku membangun gedung-gedung itu. Para gembala harus fokus pada pelayanan yang menyentuh kebutuhan manusia, orang-orang Papua yaitu di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, termasuk pengelolaan tanah dan hutan. Manusia orang Papua yang telah dibaptis oleh Pastor dan Pendeta dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus harus menjadi subjek pelayanan demi peningkatan iman dan kehidupan sosial ekonomi yang lebih memadai bukan sebaliknya menjadi objek.
Makam Yesus sudah kosong! Gedung gereja sedang kosong karena pandemi virus corona! Apa lagi yang bisa dibanggakan dari Gereja? Gereja memiliki umat Allah yang hidup dan bangkit. Umat Allah itulah kebanggaan terbesar. Walaupun sebagai persekutuan, kita memiliki gedung gereja sederhana, tetapi kita memiliki umat yang sungguh-sungguh hidup dan bangkit. Sebuah komunitas umat beriman yang hidup sesuai amanat Injil: belas kasih, jujur, setia, rendah hati; tidak ada lagi korupsi, perusakan hutan, pencurian, mabuk-mabukan dan lain-lain. Itulah Paskah Tuhan. Itulah kebangkitan kita! Itulah kebanggaan kita!
Selamat Paskah.Â