Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dusun, Sungai, Perahu, dan Transformasi Pendidikan Dasar Asmat

22 Desember 2019   01:07 Diperbarui: 27 Desember 2019   04:17 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Primus Oambi, pengukir (wow ipits) dari kampung Per yang tinggal di Agats mengatakan bahwa bilamana Yesus datang kembali pada akhir zaman, Ia akan menggunakan perahu membawa orang Asmat ke Surga (Safar).

"Di rumahmu harus ada Salib Yesus dengan bentuk perahu dan dayung, supaya pada saat Yesus datang, Dia tahu kamu orang Asmat sehingga Dia suruh naik perahu dan sama-sama ke Safar," tuturnya.

Dusun, sungai dan perahu merupakan tiga serangkai dalam hidup dan masa depan orang Asmat. Tampaknya ketiganya terpisah satu sama lain, tetapi dalam kenyataannya ketiganya tidak bisa berdiri sendiri. Ketiganya saling terkait, saling terhubung satu sama lain. Tanpa dusun, sungai dan perahu, orang Asmat menjadi orang asing di atas tanah mereka sendiri.

Transfomasi Pendidikan Sekolah Dasar Konteks Asmat
Saat ini, pendidikan sekolah dasar di Asmat masih mengacu pada kurikulum nasional. Pada sekolah dasar di kota Agats, kita melihat pada saat guru memasuki ruang kelas, mereka membawa buku pegangan guru. 

Di kelas, para siswa diperhadapkan dengan buku paket sesuai kelas masing-masing. Buku-buku tersebut berisi bahan cerita (kisah) dari luar Asmat. 

Sedangkan di wilayah pedalaman, sebagian guru tidak memegang buku. Para siswa juga tidak menghadapi buku paket di depan meja. Itulah realitas pendidikan sekolah dasar di Asmat selama ini.

Apa hakikat pendidikan sekolah dasar bagi anak-anak Asmat? Selama ini, para guru di Asmat memperlakukan anak-anak Asmat sama sebagaimana anak-anak di wilayah lainnya. Anak-anak Asmat dibawa keluar dari tanah mereka, tanah Asmat pergi ke suatu wilayah yang mereka tidak mengenalnya. 

Akibatnya, anak-anak merasa terasing terhadap berbagai materi pendidikan yang diberikan oleh para guru. Akibat lebih lanjut, anak-anak tidak tertarik pada sekolah dasar formal yang  diterapkan selama ini di Asmat.  

Pastor Charles Loyak OSC menegaskan, "Kita harus membuat Taman Baca menjadi tempat yang lebih menarik sehingga anak-anak tidak pegang katapel dan bermain sepanjang hari di kali. Kita harus membuat tempat baca ini menjadi tempat yang menarik untuk anak-anak Asmat," tuturnya pada saat pemberkatan Taman Baca Kabar Sukacita paroki Salib Suci Agats, 8 Maret 2018 silam.

Sekolah dalam konteks Asmat harus bersifat menyeluruh (holistik). Para guru tidak hanya melakukan transfer pengetahuan (baca, tulis, hitung), tetapi melampau ketiganya yaitu membentuk karakter anak-anak Asmat menjadi diri sendiri. 

Anak-anak Asmat mendapatkan ruang untuk mengekpresikan kekayaan diri, adat dan budayanya. Anak-anak Asmat merasa bangga terhadap milik kepunyaan mereka. Karena itu, pendidikan dalam konteks Asmat menjadi lebih luas daripada sekedar beberapa jam tatap muka di dalam ruang kelas lengkap dengan seragam merah putih untuk transfer pengatahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun