Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perayaan 114 Tahun Gereja Katolik Papua Selatan, Uskup Mandagi Serukan Pentingnya Membangun Persaudaraan

18 Agustus 2019   13:35 Diperbarui: 18 Agustus 2019   13:38 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah ada persaudaraan di sini. Juga ada persaudaraan antar para imam. Saya lihat imam-imam yang di depan ini, semua muka senyum, bukan muka papan, bersaudara, tidak berkelahi, ini tanda Tuhan hadir. Juga persaudaraan antara Gereja dan pemerintah. Hadir di sini, para pejabat pemerintah. Luar biasa. Persaudaraan itu tanda kehadiran Tuhan (koinonia). Walaupun barangkali kita miskin; kita tidak terpandang; kita tidak punya gelar-gelar. Kita barangkali sering dilupakan, tetapi hadirnya Tuhan lewat persaudaraan. Kita akan dinilai oleh Tuhan, benarkah 114 tahun Tuhan telah hadir di sini, itu dilihat dari persaudaraan."

Uskup Mandagi juga mengatakan bahwa, "Tanda kehadiran Tuhan juga yakni perayaan liturgi yang dirayakan dimana-mana, doa dimana-mana. Tadi saya lihat ziarah luar biasa orang Papua Selatan. Salam dari umat Muluku untuk di sini. Perayaan, doa, ziarah, luar biasa, tanda Tuhan hadir di sini. Syukur semakin banyak imam yang bisa merayakan ekaristi dimana-mana, bisa memimpin doa di mana-mana, karena kehadiran imam terlebih untuk merayakan Ekaristi, bukan untuk mengumpulkan uang, bukan untuk proyek-proyek, banyak imam yang sudah jatuh begitu; sudah muka duit semua. Tapi, imam merayakan Ekaristi, tanda kehadiran Tuhan. Bersyukurlah ada perayaan-perayaan dimana-mana."

Ia meneruskan bahwa , "Juga tanda kehadiran Tuhan yang sudah ada di Keuskupan Agung Merauke ini ialah banyak orang Katolik yang baik, yang memberi kesaksian hidup yang baik, menjadi pewarta lewat kata-kata dan perbuatan. Kita boleh bangga, keluarga-keluarga, mereka setia dalam hidup perkawinan. Walaupun banyak masalah dan tantangan, tidak berselingkuh, tidak mata keranjang, tapi setia memberi kesaksian sebagai awam di dalam keluarga; banyak juga pejabat-pejabat politik yang bagus, yang baik, yang tidak mencari duit demi jabatan, tetapi Katolik, sederhana. Ini mewartakan adalah tanda kehadiran Tuhan, sebagai imam, biarawan/i, awam di dalam lingkungan kerja dan keluarga. Luar biasa. Sudah ada di sini."

"Tanda kehadiran Tuhan juga ialah orang suka berkorban, tidak cinta diri. Santo Maximilian Kolbe yang kita rayakan hari ini menyatakan apa arti pengorbanan demi sesama. Saya lihat, Anda juga berkorban mungkin sekarang sudah lapar, sudah keroncongan, tapi datang, berkorban, demi cinta kepada Tuhan, menjadi martir-martir dewasa ini, menjadi saksi-saksi [yang] berkorban dewasa ini, kita butuh di zaman sekarang, saksi-saksi Katolik yang berkorban, entah awam, imam dan biarawan/i."

"Tanda kehadiran Tuhan melalui agama Katolik yakni suka berbagi, suka memberi, pasti di sini, umat di sini, suka memberi, pasti kolekte-kolekte lebih banyak daripada di Maluku. Tidak tahu sebentar, jangan sampai piring-piring hanya lewat/loncat, tidak ada yang memberi. Tapi sudah kentara, orang suka berbagi, suka menolong, ini tanda Tuhan hadir. Kita boleh bersyukur sudah 114 tahun, Gereja Katolik hadir di sini. Dengan hadirnya Gereja Katolik, Tuhan itu ada; Tuhan hadir dalam tanda-tanda konkret seperti yang saya sebutkan tadi."

"Saudara-saudara sekalian, mungkin ini juga kesempatan, merayakan 114 tahun ini, kita bertanya lagi, sudah sejauh mana Tuhan hadir di wilayah ini? Sudah sejauh mana agama Katolik itu relevan dan signifikan? Pernah dalam sebuah pertemuan KWI dan umat, ada seorang Pendeta bagus, dia menantang umat Katolik dan para Uskup, sungguhkah Gereja itu masih signifikan dan relevan atau tidak lagi? Kita juga bertanya, sudah 114 tahun masihkah Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke relevan dan signifikan utnuk masyarakat Papua?"

"Memang sudah ada persaudaraan, tapi seringkali, persaudaraan masih diwarnai dengan budaya kekerasan, fitnah, terjadi pembelahan, muncul grup-grup dimana-mana, pro Uskup, anti Uskup; pro Pastor, anti Pastor, lama-lama Uskup Mandagi datang juga ada pro dan kontra. Tapi, yang mengerikan selalu-maaf-, saya bilang saja, persaudaraan hancur, tidak jarang karena para imam yang tidak betul: tidak masuk Misa, tidak sembahyang, penampilan seperti preman dan sebagainya. Akhirnya, umat terbelah. Padahal umat itu baik sekali. Percaya sama saya. Saya lihat umat baik sekali. Umat di Maluku baik sekali. Umat di sini, pasti baik sekali. Tapi, tidak jarang mengerikan, karena para imam yang tidak betul. Semoga di sini tidak! Kita tepuk tangan untuk imam-imam yang baik. Tapi, kita tepuk tangan juga untuk imam-imam yang tidak baik!"

"Persaudaraan. Tidak saling curiga. Mau diracuni kah, orang bilang, Uskup hati-hati makan ya, nanti mau diracuni. Saya bilang, saya makan babi dan anjing. Anjing-anjing nanti saya racuni di mulut. Persaudaraan."

"Kita bertanya, bagaimana dengan perayaan-perayaan liturgis di sini? Hanya sekedar perayaan kah? Bagus, menari, menari, menari, tapi efek dalam kehidupan bagaimana? Sekedar simbol saja. Bagaimana Ekaristi menjadi puncak kehidupan kristiani? Dari Ekaristi kita diajak utuk mencintai [dan] berkorban. Kita berdoa, berdoa, bagus; umat suka berdoa bagus, tapi sesudah berdoa, berkelahi. Sesudah alleluia, puji Tuhan; alluya kafir, berkelahi."

"Juga kita melihat tanda kehadiran Tuhan, sudahkah kita suka berkorban? Atau kita egoistis, tidak berani menjadi martir. Suami dan istri jadilah martir untuk anak-anakmu, berkorban. Betapa anak-anak senang melihat orang tua berkorban, tapi betapa anak-anak benci melihat Bapa dan Mama dari hari Senin sampai hari Minggu berkelahi terus; singa laki-laki dan singa perempuan. Dan muncul juga singa-singa kecil: mabuk, Bapa mabuk. Mama juga mabuk. Mata merah semua. Bagaimana pengorbanan di dalam rumah tangga? Ini sederhana sebagai orang Katolik.

"Apakah kita sudah berbagi? Memberi pada orang lain, atau kita biarkan orang lain menderita? Biarlah dia mati sampai mampus. Padahal, kita orang Katolik, tidak ada rasa belas kasih. Paus Fransiskus sering menggarisbawahi [bahwa] belas kasih adalah inti kekristenan, inti kekatolikan dan salah satu tanda dari belas kasih yang sering dia sebut adalah pengampunan. Tidak ada balas dendam. Seringkali balas dendam menjadi warna kehidupan masyarakat sekarang. Saya kalah tahun ini. Saya tidak dapat kursi. Tunggu saya balas. Saya kalah sebagai bupati, tunggu saya balas. Dan mungkin Pastor-Pastor juga, saya kalah sekarang, nanti kau; kau akan rasa dan sebagainya. Jadi, yang terjadi balas dendam."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun