Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

SD Inpres Buetkwar, Potret Buruknya Pendidikan di Pedalaman Asmat

28 Juli 2019   15:07 Diperbarui: 28 Juli 2019   17:27 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kami sudah siapkan lokasi untuk bangun sekolah baru. Kami juga sudah siapkan dusun untuk sensor kayu dan bangun sekolah. Tetapi, kepala sekolah jarang datang ke kampung ini. Dia tinggal di Agats. Dia sibuk urus politik," tutur Ketua Bamuskam kampung Buetkwar, Jemris Bairip, pada Rabu, (15-05-2019).

Cuaca di pusat ibu kota Distrik Akat, Ayam cerah. Pagi hari, pukul 07.00 WIT, kami berangkat dari pastoran Santo Martinus de Pores Ayam menuju kampung Buetkwar. Kami menyusuri sungai Asuwets. Sesudah itu, masuk ke sungai Sorep. Perjalanan sangat lancar.

Di tepi sungai Asuwets dan Sorep, tampak mangrove dan berbagai jenis tumbuhan tertata rapi. Setelah mengarusi sungai Asuwets dan Sorep, pukul 08.06 WIT, kami melewati kampung Beco. Kami singgah sebentar dan menyampaikan kepada kader kampung bahwa kami akan singgah di Beco, setelah dari Buetkwar. Kemudian, kami meneruskan perjalanan  ke Buetkwar.

Di tepi sungai Sorep tampak bevak-bevak para pencari gaharu. "Itu bevak-bevak pencari gaharu. Mereka banyak dari Mappi," tutur Pastor Vesto Maing, Pr.

Kami menyusuri sungai Sorep tanpa hambatan. Tiba-tiba, driver, Rizal berseru, "Lihat. Itu buaya," sambil menunjuk seekor buaya berukuran besar yang sedang berjemur di tepi sungai Sorep. Kami juga melihat "pohon kelelawar". Di pohon tersebut dipenuhi kelelawar bergelantungan.

Pukul 08.57 WIT, kami melewati kampung Yuni. Kami singgah di dermaga. Pastor Vesto panggil beberapa laki-laki yang berdiri di dermaga dan menyampaikan pesan bahwa sebentar kami akan singgah di kampung Yuni. Sesudah itu, kami meneruskan perjalanan ke kampung Buetkwar.

Pukul 09.44 WIT, kami tiba di kampung Buetkwar. Kami turun di dermaga. Kami disambut dengan hangat oleh kader kampung, Yustinus Baraempit, Elisa Benet dan ketua Bamuskam, Jemris Bairip.

SD Inpres Buetkwar Tutup

Gedung SD Inpres Buetkwar. Dokpri.
Gedung SD Inpres Buetkwar. Dokpri.
Setelah tiba di dermaga Buetkwar, kami langsung pergi ke SD Inpres Buatkwar. Sekolah ini terletak di tengah kampung. Anak-anak kampung Buetkwar dapat dengan mudah datang ke sekolah. Selain itu, lokasi sekolah dekat dengan gedung gereja dan rumah pastori GPI.

Gedung sekolah sudah rusak parah. Sejak pelantikan kepala sekolah pada 14 November 2017, sampai dengan saat ini, SD Inpres Buetkwar tidak berjalan (tutup) karena kepala sekolah, Yosep Labetubun tinggal di Agats. Kalaupun sekolah buka, hanya satu dua minggu, sesudahnya tutup kembali karena para guru tidak menetap di Buetkwar.

"Kepala sekolah sibuk urus politik. Dia tidak peduli dengan sekolah ini. Anak-anak tidak sekolah karena kepala sekolah dan guru tidak ada," tutur ketua Bamuskam, Jemris Bairip.

Jemris sangat kecewa dengan kepala sekolah karena tidak membuka sekolah. Dampaknya, anak-anak tidak bisa sekolah. Kondisi itu terbukti dengan tidak ada satupun anak-anak kelas 6 SD Inpres Buetkwar yang mengikuti ujian akhir SD pada akhir April 2019 di Ayam.

"Tahun 2019, kami punya anak-anak dari kampung Buetkwar tidak ada satupun yang mengikuti ujian akhir nasional. Mereka tidak bisa ikut ujian karena sekolah tutup. Kepala sekolah tinggal di Agats. Dia urus politik," kisah kader kampung, Yustinus Baraempit dengan nada sedih.

Jemris dan Yustinus berharap Dinas Pendidikan kabupaten Asmat segera mengirim kepala sekolah yang baru supaya anak-anak di Buetkwar bisa bersekolah. Keduanya berharap dengan adanya kepala sekolah baru, anak-anak mereka di Buetkwar bisa sekolah seperti anak-anak di kota Agats.

"Kami minta Dinas Pendidikan segera kasih kepala sekolah baru. Kami punya anak-anak tidak bisa sekolah karena kepala sekolah tinggal di Agats. Kami mohon Dinas Pendidikan perhatikan sekolah di Buetkwar ini," harap Jemris.

Yustinus juga mengatakan bahwa anak-anak di Buetkwar memiliki kerinduan untuk bersekolah, tetapi tidak bisa karena tidak ada guru yang buka sekolah. "Di sini, semua anak tidak sekolah karena tidak ada guru. Dulu, Pendeta masih bantu mengajar, tetapi sekarang tidak lagi sehingga anak-anak tidak bisa sekolah," tutur kader kampung yang dilatih oleh LANDASAN Papua sejak Mei 2018 ini.

Sedangkan kepala kampung Buetkwar, Dominggus Amenes berkisah bahwa pihaknya sudah menyiapkan lokasi baru untuk pembangunan SD Inpres Buetkwar, tetapi proses pembangunan tidak berjalan karena kepala sekolah tinggal di Agats.

"Saya sebagai kepala kampung sudah sampaikan bahwa gedung sekolah lama tidak boleh dibongkar. Sebab, gedung itu memiliki nilai sejarah. Ketika kami lihat gedung sekolah yang tua itu, kami ingat orang tua kami yang berjuang untuk pendidikan bagi kami orang Buetkwar. Jadi, kami sudah siapkan lokasi baru. Silakan pemerintah bangun," tandas Dominggus penuh harap ketika ditemui pada Rabu, (10-07-2019) di Agats.

Benturan Kepentingan dalam Penentuan Kepala Sekolah

Pastor Vesto Maing rapat bersama ketua Bamuskam dan kader kampung Buetkwar. Dokpri.
Pastor Vesto Maing rapat bersama ketua Bamuskam dan kader kampung Buetkwar. Dokpri.

Kisah SD Inpres Buetkwar merupakan potret buruknya pengelolaan pendidikan dasar di pedalaman Asmat. Sekolah tutup berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun seperti yang terjadi di Buetkwar. Gedung sekolah rusak berat. Rumput dan pohon-pohon tumbuh menjulang di halaman sekolah.

Perihal sekolah dasar di pedalaman Asmat yang mati sudah menjadi rahasia umum. Setiap pejabat di Asmat mengetahui kondisi sekolah di kampung-kampung yang sedang mati itu. Tetapi, siapa mau peduli? Para pejabat seakan membisu menyaksikan generasi emas Asmat tidak bisa sekolah. Bahkan Gereja-Gereja pun membisu menyaksikan warga jemaatnya tidak bisa bersekolah. Demikian halnya, orang adat diam seribu bahasa ketika melihat sekolah tutup lantaran tidak ada guru.

"Saya punya strategi untuk membawa sekolah-sekolah dasar menjadi hidup kembali. Saya usulkan supaya guru-guru terbaik menjadi kepala sekolah di semua SD di kabupaten Asmat. Hanya dengan cara itu, sekolah-sekolah di kampung terpencil akan hidup," tutur Kepala Seksi Ketenagaan Dinas Pendidikan kabupaten Asmat, Laurensius Lorang.

Laurensius prihatin melihat pendidikan dasar di Asmat. Ia menyaksikan banyak kepala sekolah dan guru tinggal di Agats. Padahal, mereka seharusnya berada di kampung untuk mengajar anak-anak.

"Saya usul untuk ganti semua kepala sekolah yang tidak aktif mengajar di kampung-kampung. Tetapi, semua kembali kepada pimpinan. Saya hanya bawahan saja. Saya mengusulkan, tetapi keputusan ada di pimpinan, bukan saya," tutur pria yang menyelesaikan pendidikannya di STFT Fajar Timur ini.

Benturan kepentingan politik yang merembes masuk ke dalam dunia pendidikan telah mencoreng wajah pendidikan dasar di Asmat. Acapkali penempatan kepala sekolah  sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Guru-guru yang tidak memiliki prestasi dan integritas pun mendapat kesempatan menjadi kepala sekolah dasar lantaran memiliki relasi dengan pejabat yang sedang berkuasa. Mereka tidak membuat sekolah menjadi lebih baik. Mereka justru merusak sekolah dasar di kampung-kampung terpencil, tempat mereka ditugaskan.

Generasi Tanpa Impian

Salah satu ruang kelas yang sudah rusak berat. Dokpri.
Salah satu ruang kelas yang sudah rusak berat. Dokpri.

Beberapa bulan lalu video pendek berdurasi 1 menit, 7 detik beredar luas di media sosial. Di dalam video tersebut menampilkan empat anak Papua menuturkan pengalaman mereka di kampung terpencil dalam sajak: "Mimpi sudah lama mati." 

Siang itu, saya masak sagu dalam kuali

Panas terbakar setengah mati

Saya sagu 

Kelas ini kuali

Saya punya guru ada bakar kami

Dia sorong kayu api di tungku

Api cium kuali

Bakar kami yang jadi sagu

Kau tau atau tidak

Itu bukan api biasa

Itu api penuh semangat

Api itu kasih bangun saya dari tidur tidak ada mimpi

Api itu kasih kaget saya kalau hidup harus ada tujuan

Saya sudah lama tidur tidak ada mimpi

Tempat bangun mimpi sudah lama mati

Meja kosong

Bangku sunyi

Yang ada hanya suara babi

Untung sekarang ada yang peduli

Datang dari jauh untuk bantu kami bermimpi

Terima kasih sudah peduli

Kami janji tidak akan lupa diri dengan tidak berhenti mengejar mimpi

Seruan keempat anak Papua di kampung terpencil dalam sajak, "mimpi sudah lama mati" menjadi tamparan keras bagi segenap pendidik di Papua, secara khusus di Asmat. Sebab, para kepala sekolah dan para guru yang ditempatkan di pedalaman Asmat tidak mau pergi ke kampung-kampung untuk mengajar. Mereka memilih tinggal di kota Agats.

Para guru yang tidak mau pergi mengajar di kampung-kampung terpencil di Asmat secara sadar mengubur mimpi dan impian anak-anak Asmat. Anak-anak di pedalaman Asmat tidak bisa bermimpi lebih tinggi lantaran para guru telah mengubur masa depan mereka. Ketidakhadiran para guru di kampung sebagaimana di Buetkwar telah mematikan cita-cita dan masa depan anak-anak Asmat. Karena itu, demi masa depan anak-anak Asmat, para guru, terutama kepala sekolah harus betah tinggal di kampung dan membuka sekolah supaya anak-anak bisa mengakses pendidikan dasar.

Kutipan sajak, "saya sudah lama tidur tidak ada mimpi/tempat bangun mimpi sudah lama mati/meja kosong/bangku sunyi/yang ada hanya suara babi" merupakan rintahan anak-anak Papua, termasuk anak-anak Asmat. Mereka bukan tidak mau bermimpi, tetapi mereka hidup dalam suatu masa dimana para guru secara sadar mematikan mimpi-mimpi mereka.

Tempat bangun mimpi yakni sekolah dipenuhi pohon dan rumput. Gedung sekolah hancur karena bertahun-tahun tidak ada aktivitas belajar mengajar. Di kampung terpencil, hanya ada suara binatang. Tidak ada suara ceriah anak-anak. Sebab, sekolah sebagai jembatan membangun impian menuju masa depan yang cerah sedang mati.

Di tengah rusaknya wajah sekolah dasar di Asmat, ada sekolah di pedalaman Asmat yang tetap buka dan berjalan sebagaimana sekolah di kota Agats. Misalnya, di SD Inpres Manepsimini, sekolah tetap buka. Kepala sekolah, Pasifika Nakun tinggal di Manep dan bersama para gurunya menedidik anak-anak Asmat.

Pasifika membuktikan bahwa anak-anak di pedalaman rajin sekolah dan cerdas. Orang tua akan membawa anak-anak ke sekolah. Semua tergantung kepada kepala sekolah dan para guru.

"Saya selalu yakin bahwa kalau guru-guru betah tinggal di kampung dan menyatu dengan masyarakat, apa pun yang mereka bicara masyarakat akan dengar. Orang tua tidak akan membawa anak-anak ke dusun karena mereka lihat ada guru di kampung. Jadi, semua kembali kepada masing-masing guru," tutur guru yang sejak tahun 2008 mengajar di SD Inpres Manepsimini ini.

Mengingat sekolah dasar merupakan  fondasi (dasar) atau tiang umpak mendirikan rumah masa depan Asmat, maka pemerintah kabupaten Asmat, harus mengangkat dan menempatkan kepala sekolah dasar yang jujur, memiliki hati melayani dan bersedia tinggal di kampung terpencil untuk mendidik anak-anak Asmat. Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas perumahan guru dan transportasi yang memadai sehingga guru betah tinggal dan mengajar anak-anak di pedalaman Asmat.

Selain itu, pemerintahan kampung, Pastor, Pendeta dan tua-tua adat harus turut terlibat dalam seluruh proses pengelolaan sekolah dasar di kampung. Sebab, anak-anak kampung merupakan aset masa depan kampung, masa depan adat dan masa depan Gereja. Karena itu, semua pihak harus bertanggung jawab terhadap pendidikan dasar bagi anak-anak Asmat di kampung-kampung terpencil. [Agats, 26 Juli 2019; 18.20 WIT].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun