Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uskup Agats Tekankan Pentingnya Masuk dalam Hidup Orang Asmat

8 Oktober 2018   15:36 Diperbarui: 8 Oktober 2018   15:54 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semarak Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018 menyelimuti kota Agats. Ribuan orang Asmat dari kampung-kampung berdatangan ke Agats. Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Mereka membawa berbagai hasil ukiran dan anyaman. Jalan-jalan protokol di Agats menjadi sangat rame. Orang-orang hilir mudik dari dan ke lapangan Yos Sudarso, tempat pelaksanaan Pesta Budaya.

Pesta Budaya Asmat ke-33 sudah dimulai sejak 4 Oktober 2018 diawali dengan registrasi dan penataan ukiran yang masuk dalam seleksi pelelangan. Selanjutnya, pada 5 Oktober 2018, pukul 16.00 WIT, dibuka secara resmi oleh Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Wakil Bupati Asmat, Thomas Eppe Safanpo.

Hari ini, ratusan orang memadati gereja Paroki Salib Suci Agats. Mereka datang untuk bersyukur atas penyelenggaraan Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018. Umat yang hadir tidak hanya dari Agats, tetapi juga mereka yang datang dari kampung-kampung di Asmat, yang sedang mengikuti Pesta Budaya. Hadir pula wisatawan manca negara yang berasal dari Belgia, Swis, Jerman dan Italia. Itulah suasana hari Minggu, [7/10] di gereja Katedral Salib Suci Agats. 

Pukul 08.00 WIT, Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM didampingi oleh para imam berarak menuju altar gereja untuk memulai perayaan Misa syukur Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018. Tabuhan tifa dan tarian Asmat mengiringi perarakan para imam Allah ini. Beberapa Mama Asmat pun ikut bergoyang di tempatnya masing-masing.  Suasana hening dan hikmat mewarnai seluruh ruang gereja.

Dalam kata pembuka mengawali rangkaian perayaan syukur Mgr. Aloysius Murwito OFM mengajak segenap umat yang hadir untuk mensyukuri penyelenggaraan Pesta Budaya Asmat. "Gereja mengajarkan bahwa keselamatan berlangsung di dalam setiap budaya. Kita bersyukur melalui inspirasi Injil yang dituangkan dalam ajaran Gereja yang sangat menghormati budaya setempat. 

Gereja mempunyai misi menaburkan benih Injil, tetapi bukan dengan meniadakan atau menghapus budaya setempat. Gereja meyakini bahwa di luar Gereja pun ada keselataman. Kita diajak untuk menghargai budaya setempat. Tetapi, bukan hanya menghargai kita harus masuk, ikut ambil bagian dan menyelami budaya setempat sambil mewartakan terang Injil yang kita yakini sebagak Kabar Sukacita yang membawa keselamatan bagi kita semua," ungkap Uskup Alo.

Dalam suasana hening, segenap umat mengikuti perayaan Misa syukur ini. Setiap mata terarah kepada imam Allah, Uskup yang sangat sederhana ini. Ia selalu mengajak para imamnya dan segenap umat yang datang dari luar Asmat untuk menerima dan menghormati orang Asmat dan budayanya. Kepedulian Uskup Alo terhadap orang Asmat terungkap dengan amat jelas dalam khotbahnya dalam perayaan suci ini.

"Saudara sekalian, sudah 53 tahun lebih, Gereja mengambil kebijaksanaan yang penting sekali dalam perjalanan Gereja selanjutnya. Pertemuan para Uskup sedunia yang berlangsung agak panjang, tahun 1962-1965, menghasilkan sejumlah pokok-pokok permenungan teologis yang amat penting yang dijadikan pegangan oleh Gereja semesta. Sebelumnya, Gereja-bisa dikaktakan-identik dengan keseragaman. 

Mulai dari Gereja di Roma, belahan Barat dan Timur, Utara dan Selatan, semua melakukan, khususnya hal-hal ritual yang sama menggunakan bahasa Latin dan semua gerak-gerik liturgi diatur oleh Roma. Bisa dikatakan bahwa pada waktu itu Gereja cukup tertutup, tidak terbuka sedikitpun dengan dunia di luar Gereja. Hal ini terkait erat dengan ajaran Gereja waktu itu bahwa 'di luar Gereja tidak ada keselamatan, hanya di dalam Gereja ada keselamatan'. Gereja identik dengan peraturan dan rubrik yang dirumuskan oleh Roma," kisah Uskup Alo mengenang Gereja zaman pra Konsili Vatikan II.

"Pada saat konsili Vatikan II, di bawah pimpinan Paus Yohanes XXIII, Gereja bagaikan 'rumah' yang membuka 'jendela', sehingga penghuni yang ada di dalam Gereja, penghuni yang ada di dalam 'rumah' dan pimpinan Gereja (hierarkis) bisa melihat dunia luar dan angin bisa masuk dari luar ke dalam 'rumah'. Gereja mulai membuka mata, hati dan mengomunikasikan dirinya dengan dunia luar. Sejak saat itu, Gereja melakukan perubahan-perubahan, termasuk dalam ritus-ritus menggunakan bahasa setempat."

"Perubahan itu terjadi juga di Asmat. Pada tahun 1965, tidak lama setelah konsili Vatikan II selesai, para Pastor yang bertugas di Asmat mulai memelajari hasil-hasil konsili. Di situlah, Uskup Alfons Suwada dan temannya menaruh perhatian  terhadap budaya Asmat karena mengalir dari inspirasi konsili Vatikan II. Gereja diajak untuk menaruh perhatian di dalam Gereja. 

Ini tidak mengurangi misi Gereja mewartakan Injil. Sekalipun di luar Gereja ada keselamatan. Injil tetap diwartakan kepada setiap orang, tetapi bukan dengan menolak dan menutup mata terhadap kehadiran masyarakat setempat dengan budayanya, sebaliknya membuka mata dan hati dan mau belajar dari budaya setempat," tegas Uskup Alo.

Dok.Pribadi.
Dok.Pribadi.
"Kita melihat bahwa para misionaris awal betapa besar perhatian mereka terhadap budaya setempat. Kita bisa menyebutkan sejumlah orang seperti, Mgr. Alfons Suwada (magister Antropologi), Pastor Stren, Pastor Pit Darus, termasuk misionaris yang ada di Keuskupan Jayapura, Pastor Herman Peters, Pastor Alfons van Nunen dan para misionaris di Merauke yang berhasil menulis kamus bahasa setempat. 

Ada juga Pastor Bob dan Pastor Vince di Asmat yang begitu besar menaruh perhatian terhadap budaya. Semua itu dilakukan supaya Injil yang kita wartakan, nilai-nilai injili itu bisa sungguh sampai kepada masyarakat. Injil diwartakan melalui dan di dalam budaya setempat. Gereja tidak terasing dengan masyarakat. Gereja mewartakan Injil kepada masyarakat yang  memiliki budaya tertentu," tegas Uskup yang ditahbiskan untuk menggembalakan umat Allah di Keuskupan Agats pada tahun 2002 silam ini.  

Uskup Alo menjelaskan bahwa Gereja sejak awal mula dan sekarang didukung oleh pemerintah melestarikan pesta-pesta seperti pesta budaya yang menampilkan seni ukir yang tahun ini memasuki usia ke ke-33 tahun. Ia menambahkan bahwa pesta budaya merupakan ungkapan perhatian dan keinginan Gereja yang menaruh hati untuk tetap menghargai budaya masyarakat setempat.

"Dalam musyawarah pastoral tahun 2007, kami menyadari bahwa pelayanan kami acapkali tidak kontekstual. Pelayanan kegembalaan kami, baik di Agats maupun di kampung-kampung tidak kontekstual. Petugas-petugas pastoral diajak untuk menyelami budaya setempat. Kalau belajar bahasa sampai sekarang tidak berhasil, minimal harus bisa membuka diri, apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kehidupan dan hati umat supaya pesan yang kita sampaikan bisa sampai kepada hati umat dan tidak terjadi kesalapahaman. 

Kita merasa sukses dan berhasil tapi dalam kenyataannya belum tentu karena tidak sampai mendarat pada pikiran dan hati umat," tugas Uskup Alo.

Untuk memperkuat tim pastoral Keuskupan Agats dalam memberikan pelayanan kepada orang Asmat Uskup mengatakan bahwa pihaknya setiap tahun menyelenggarakan hari-hari studi khusus budaya Asmat. "Kami memiliki program tahunan yang dikenal sebagai 'studi bersama' yang berhubungan dengan adat-istiadat. Kami alokasikan waktu satu tahun satu kali. Seluruh petugas pastoral hadir dan memelajari pokok tertentu yang berkaitan dengan pewartaan Injil di tanah Asmat yang melibatkan unsur budaya dan Injil," ungkapnya.

"Saudara-saudara. Momen hari Minggu ini mengingatkan kita semua agar kita menyelami, belajar adat-istiadat setempat. Betapa ini masih jauh dari diri kita. Kalau kita tinggal di sini, walaupun kita datang dari suku yang berbeda: Jawa, Toraja, Key, Tanimbar dan sebagainya.

Kita tidak berhenti sampai di situ. Kita mesti menjadi orang Asmat. Ini sebuah cita-cita, tetapi cita-cita itu harus tersentuh, kena pada diri kita. Kita datang di sini  tidak semata-mata karena mencari pekerjaan-katakanlah begitu-bukan semata-mata menjalankan tugas saja. 

Kalau kita datang di tanah Asmat, kita memang harus berusaha menjadi orang Asmat supaya kita menjadi bagian mereka dan mereka menjadi bagian kita. Ini penting sekali untuk mengatasi berbagai salah paham.

Komunikasi-komunikasi kadang-kadang terhambat karena tidak singkron dalam pandangan kita; agar hubungan kita tidak semata-mata fungsional. Hadir di sini-katakanlah-kita sebagai penjual dan saudara-saudara kita sebagai pembeli.

Tidak hanya terbatas pada itu. Hadir sebagai pegawai kantor. Tetapi, sesungguhnya tinggal di Asmat harus berusaha membangun sebuah relasi yang sungguh-sungguh personal (pribadi). 

Karena itu, kita diajak untuk berani keluar dari diri kita sendiri, dari kenyamanan kita sendiri. Kita mau keluar dan mencoba membangun relasi dengan saudara-saudara kita. Entah ditempatkan di mana.

Kalau kita tinggal di Asmat-seperti kata Santo Paulus-aku seolah-olah menjadi orang Yunani, seolah-olah menjadi orang Yahudi: menyadiri diri orang lain, tetapi berusaha masuk dalam kehidupan saudara-saudara kita yang kita layani. Kalau kita tinggal di Sagare, kita harus belajar bahasa Auwyu, begitu juga di tempat-tempat lain, suku-suku lain yang menempati wilayah Asmat ini," tegas Uskup yang sangat sederhana ini.

"Momen Pesta Budaya ini menjadi momen yang penting sekali supaya kita sungguh-sungguh menyampaikan, mengomunikasikan sesuatu yang baik itu sungguh sampai kepada pikiran dan hati orang.

Betapa sering terjadi kita 'tabrakan' dengan masyarakat lalu kita memberikan penilain-penilaian. Tetapi, bisa saja penilaian kita sangat subjektif yang dipengaruhi oleh dari mana kita berasal, dari mana kita dididik. 

Kita seorang akademikus lalu kita berpikir dari sudut pandang kita, tanpa bertanya mengapa ini terjadi? Mengapa ini terjadi 'tabrakan'? Mengapa ini tidak dilaksanakan? Mengapa keputusan-keputusan bersama tidak dilaksanakan? Barangkali aspek penyelaman pikiran, hati dan budaya saudara-saudara kita belum sampai menyentuh kita.

Maka, tidak heran kalau prosesnya menjadi lambat dan harus ulang lagi karena kita membawa posisi tertentu-katakanlan sebagai Pastor-kita marah-marah di Gereja dan memberikan instruksi macam-macam. Tetapi, kita diingatkan: 'apakah kita sudah menyelami hati dan pikiran saudara-saudara kita'," tegas Uskup Alo.

Momen Pesta Budaya kita bersama dengan saudara-saudara di lapangan, kita bergoyang bersama, mengagumi ukiran saudara-saudara kita. Ini merupakan suatu peringatan dan ajakan, mari kita masuk lebih dalam; dalam hati orang, coba mendengarkan. 

Jangan menciptakan apriori-apriori di dalam diri kita. Ini merupakan sarana pembelajaran yang baik bagi kita dalam kehadiran kita di tengah-tengah saudara-saudara kita di sini.

"Mari kita mohon berkat Tuhan supaya berbagai macam bentuk pelayanan kita lebih kontekstual. Kita mohon berkat Tuhan supaya relasi-relasi kita dengan saudara-saudara umat di sini, sungguh-sungguh sampai kepada pikiran dan hati mereka. Kalau demikian, kita menjadi semakin bersudara. Kita disatukan oleh iman akan Tuhan Yesus yang sama, tapi iman yang dihayati dalam konteks budaya setempat. Ini mempersatukan kita. Kita mohon berkat Tuhan dalam perayaan Ekaristi ini," tutup Uskup kaum papah ini mengakhiri khotbahnya.

 Rangkaian Misa syukur Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018 diakhiri dengan berkat dari Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM. Usai berkat, Uskup bersama para imam melakukan foto bersama dengan Bupati Asmat, Elisa Kambu, Wakil Bupati, Thomas Eppe Safanpo dan Sekda Kabupaten Asmat, Bartolomeus Bokoropces.  Sesudah itu, Uskup dan para imam kembali ke sakristi diiringi tabuhan tifa dan tarian Asmat. [Agats, 7 Oktober 2018; 15.40 WIT_Pit Supardi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun