Demikian halnya, SD YPPK kampung Yepem terbengkalai dan anak-anak terlantar. Proses belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kepala sekolah dasar dijabat oleh putra asli Asmat, tetapi sekolahnya berantakan.
SD Inpres Peer lebih parah lagi. Ruang kelas 1 dihuni oleh lebih dari 70-an siswa. "Sering kali anak-anak berkelahi karena berebut kursi dan meja," tutur kepala sekolah saat pelatihan SPM dan MBS bulan Mei 2017, silam.
SD Uwus pun mengalami hal serupa. Kepala sekolah dan para guru kurang aktif mengajar. Anak-anak terlantar. "Kepala sekolah belum ke Uwus. Saya yang pergi buka sekolah di awal tahun ajaran," tutur salah satu guru saat bertemu staf Landasan Papua di kota Agats, pada awal Agustus 2017 silam.
SD Inpres Beriten terletak di ujung Distrik Agats. Beberapa ruang kelas sudah reot karena dibangun sejak tahun 1982 silam. "Kami sering kali takut duduk di kantor, karena bangunannya sudah tua. Kami takut kalau angin besar kantor bisa rubuh," tutur Pak Anto, salah satu guru di SD Inpres Beriten pada Selasa, (15/8).
Kita patut bertanya, "Apa yang keliru dengan kepemimpinan di sekolah yang dijalankan selama ini? Apa yang keliru dengan metode pembelajaran selama ini? Sampai kapan situasi memprihatinkan ini akan berlanjut dan anak-anak Asmat terlantar?"
Enam sekolah dasar di Distrik Agats, yang kondisinya memprihatinkan terletak di kampung yang dihuni oleh orang asli Asmat (SD Inpres Mbait, SD YPPK St. Don Bosco, Ewer, SD YPPK Yepem, SD Inpres Peer, SD Inpres Uwus dan SD Inpres Beriten). Di enam sekolah dasar ini, sarana belajar serba terbatas. Sebagian guru tidak aktif mengajar. Demikian halnya, orang tua kurang berperan aktif menyekolahkan anak-anaknya.
Saat ini, dengan sangat mudah dijumpai anak-anak SMP di kota Agats belum lancar membaca. Misalnya, hampir semua anak-anak kelas 1 SMP yang tinggal di asrama St. Martinus de Pores, Agats belum lancar membaca. Beberapa penghuni yang belum lancar membaca itu berasal dari SD YPPK Don Bosco, Ewer. Kondisi demikian terjadi bukan karena anak-anak Asmat bodoh, melainkan mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar yang memadai. Andai para guru rajin mengajar dan didukung fasilitas belajar yang memadai seperti Perpustakaan, WC, kantin, unit kesehatan sekolah, dan lain sejenisnya, tentu anak-anak Asmat sangat cerdas dan berprestasi gemilang.
Terpuruknya enam SD di Distrik Agats ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah kabupaten Asmat dan denominasi Gereja di tanah Asmat. Sebab, apabila tidak ada perhatian serius di bidang pendidikan sekolah dasar, maka masa depan anak-anak Asmat akan suram. Anak-anak Asmat akan tumbuh sebagai pribadi yang minim keterampilan sehingga sulit bersaing dari pendatang yang meluber ke tanah Asmat.
Pembenahan enam SD di Distrik Agats ini menjadi momentum perbaikan tata kelola sekolah dasar di Kabupaten Asmat. Apabila sekolah dasar di Distrik Agats, yang merupakan ibu kota Kabupaten Asmat ini berbenah, maka akan menjadi sekolah dasar Penggerak bagi sekolah dasar lain di Kabupaten Asmat. Sekolah dasar lainnya bisa datang belajar tata kelola dan menerapkan di sekolah masing-masing. Dengan demikian, setiap anak Asmat dapat memperoleh pendidikan dasar yang berkualitas sehingga bisa bersaing dengan anak-anak di luar Asmat. Â (Agats, 17 Agustus 2017; pukul 20.30 WIT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H