Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menerjang Laut Arafura Demi Masa Depan Asmat

12 Juli 2017   04:01 Diperbarui: 12 Juli 2017   09:45 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: shipsofcalmac.co.uk

Cuaca di kota Agats mendung. Matahari belum terbit di ufuk timur. Pukul 05.30 WIT, saya melangkahkan kaki menuju pelabuhan Feri, Agats. Di depan pintu rumah, seorang sahabat yang berprofesi sebagai pengojek menawarkan jasanya. Ia mengantar saya ke pelabuhan Feri. Di sana, sudah ada Pastor Linus Dumatubun. Kami menunggu kaka Bonifasius Jakfu (Kabid Sosbud BP4D), Hendra Teturan (Kordis), Rafael Dopa, Karolina Yower (Kader kampung) dan (Staf kantor Pemberdayaan Perempuan). Kami berlima siap berangkat ke Timika menggunakan speed boat 85 PK milik Kantor BP4D Kabupaten Asmat. Itulah pemandangan di pelabuhan Feri, Agats, Sabtu, 10 Juni 2017.

Pukul 06.10 WIT, kami bertolak. Beberapa meter setelah lepas dari pelabuhan Agats, Pastor Linus Dumatubun, Pr memimpin doa, memohon perlindungan Tuhan. Sesudah itu, kami berangkat ke Timika. Cuaca mendung. Matahari tidak tampak. Air sedang surut (meti) sehingga kami mengikuti jalur laut.

Memasuki muara sungai Pomats dan Unir, gelombang laut menghantam speed. "Air sedang naik sehingga ada gelombang begini," tutur Sardin, driver. Menghadapi laut yang mengamuk, Sardin mengeluarkan rokok, membakarnya, disertai beberapa kata yang terucap dalam hati, ia membuang rokok itu ke pusaran gelombang. Ritual ini dilakukannya beberapa kali, saat berhadapan dengan laut yang bergelora.

Di Pulau Tiga, kami harus bolak-balik mengitari rep yang luas. Air dangkal sehingga speed harus kembali ke laut. Di sana, tampak busa putih. Gelombang laut tinggi. Ombak menari-nari, tidak peduli pada perasaan cemas yang terlintas dalam hati kami.

Sardin mengemudikan speed dengan penuh hati-hati. Ia berusaha menembus gelombang yang datang silih berganti. Gulungan gelombang berjarak sangat dekat silih berganti. Melewati Pulau Tiga membuat hati kami semakin gelisah. Di tempat ini sering kali terjadi kecelakaan laut.

Selepas Pulau Tiga, Kaka Boni Jakfu minta Sardin supaya berhenti sejenak di kampung Otakwa. Kampung ini masuk dalam wilayah kabupaten Mimika. Di kampung Otakwa, Kaka Boni membeli beberapa makanan dan minuman ringan. Kami berlima turun dari speed dan beristirahat sejenak.

Pukul 10.30 WIT, kami meneruskan perjalanan ke pelabuhan Pomako. Pada saat keluar dari kampung Otakwa, tampak laut kembali berbusa putih. Gelombang dan ombak saling menghantam. Melihat situasi itu, Sardin minta supaya asisten driver membersihkan mesin. "Kau bersihkan mesinnya. Jangan sampai ada air. Di sana gelombang besar. Jangan sampai mesin mati di sana," tuturnya. Kami berhenti sejenak. Asisten driver membersihkan mesin speed. Sesudah itu kami meneruskan perjalanan.

Kami melintasi laut bergelombang. Speed menerjang laut berbusa putih itu. Gelombang dan ombak saling sambung menyambung tiada hentinya. Setelah melewati laut bergelombang, kami masuk ke dalam sungai menuju Timika. "Kita lewat sungai saja," ungkap kaka Boni.

Kami memasuki sungai. Di tepi sungai tampak pohon bakau tidak subur. Sungai ini tercemar oleh limbah tailing PT Freeport. Airnya berwarna keabu-abuan. "Adik lihat, itu hutan bakau sudah tidak subur. Ada pohon yang sudah mati karena pencemaran" tutur kaka Boni. Di antara sungai itu, dibuat kanal untuk menghubungkan sungai satu dan lainnya sehingga perjalanan menjadi lebih singkat. "Ini sungai buatan. Sangat dalam," kata Sardin saat kami melintasi kanal itu. Ibu Karolina Yower menambahkan, "Minggu lalu kami lewat di sini, kalau pas air surut, bau limbah sangat tajam," ungkapnya.

Kami berjalan di antara air dan pohon yang sudah terkontaminasi tailing PT Freeport. Berbagai racun mengendap di sungai ini. Makhluk hidup yang berada di sekitar sungai ini menyesuaikan diri sekedar bertahan hidup. Keadaan ini sudah berlangsung lima puluh tahun sejak penandatanganan kontrak PT Freeport, 7 April 1967. Alam menderita. Manusia pun menderita.

Dalam perjalanan ini, kami melewati area Porsait. Di sinilah hasil tambang PT Freeport ditampung untuk dibawa keluar Timika. Bangunan, mesin dan kapal-kapal besar ada di area Porsait ini. "Adik, kapal-kapal besar itu yang mengangkut hasil tambang untuk dibawa keluar," tutuk kaka Boni sambil menunjuk beberapa kapal besar yang berlabuh di tengah laut.

Setelah tujuh jam mengarungi laut Arafura dan sungai, kami tiba di Pomako pada pukul 13.00 WIT. Kami segera turun dari speed dan mengangkat barang-barang menuju kantor pelabuhan yang terletak di area pelabuhan ini. Di sini, kami menunggu mobil pangkalan yang akan menjemput kami dan membawa kami ke hotel Noken di kota Timika. Kami tiba di hotel Noken pukul 14.30 WIT. Selanjutnya kami beristirahat.

Keesokan harinya, Minggu, 11 Juni 2017, saya dan kk Boni berangkat ke Jayapura. Kami melapor pada pukul 06.45 WIT. Pukul 07.15 WIT kami terbang dengan pesawat Garuda menuju Jayapura. Sedangkan tim yang berangkat ke Sorong, melapor pada pukul 08.00. Sesuai jadwal di tiket mereka akan berangkat pukul 10.00 menggunakan Nam Air. Sayangnya, pesawat delay hingga pukul 14.00 WIT.

Saya dan kaka Boni tiba di Sentani pukul 08.20 WIT. Setelah keluar dari ruang kedatangan, kami menggunakan taxi bandara Cyclop menuju hotel Aston, Jayapura. Saya sendiri turun di Abepura. Kaka Boni meneruskan perjalanan ke hotel Aston. Sore hari, pukul 15.00 WIT, saya pergi ke hotel Aston menggunakan taksi. Saya check in di Aston. Selanjutnya, pukul 16.00 WIT, saya bergabung bersama tim Landasan Papua. Kami melakukan evaluasi kegiatan sampai pukul 21.30 WIT.

Memberikan diri

Perjalanan dari Agats ke pelabuhan Pomako, Timika cukup menegangkan. Gelombang dan ombak menghantam speed. Perjalanan itu menghabiskan waktu tujuh jam. Sebuah perjalanan yang mengandaikan kesediaan memberikan diri pada sesama.

Tim akan ke Jayapura (saya dan kk Boni) dan Sorong (Pastor Linur, Pr, Hendra Teturan, Karolina Yower dan Rafael Dopa). Kami menyediakan waktu dan diri kami untuk mengikuti pelatihan dan pendampingan pemberdayaan diri dan masyarakat.

Belajar pada realitas saat ini, khususnya di Papua, termasuk Asmat, proses pembangunan masih berorientasi pada pelaksanaan program kegiatan untuk menghabiskan anggaran (uang),ketimbang pemberdayaan komunitas masyarakat. Kita akui bahwa selama era otonomi khusus (otsus) banyak uang mengalir ke Papua, termasuk Asmat, tetapi masyarakat belum sejahtera. Apa sebenarnya yang sedang keliru dengan proses pembangunan selama ini di Papua?

Kita perlu merefleksikan kembali visi, misi, arah kebijakan pembangunan Papua. Titik toloknya adalah semangat pemberian diri atau semangat pelayanan. Kini, pemberian diri pada sesama sedang memudar. Bahkan orang asli Papua sendiri yang menjadi pejabat kurang berani memberikan diri seutuhnya kepada sesamanya orang Papua. Kita menjumpai begitu banyak guru orang Papua yang ditempatkan di kampung halamannya sendiri, tetapi mereka tidak mau mengajar dan mendidik anak-anak Papua, yang adalah anak dan adik-adik mereka sendiri. Demikian halnya, para perawat, bidan, dan lain sebagainya. Kita sedang mengalami krisis pemberian diri.

Situasi semacam ini bisa terjadi karena visi, misi, arah pembangunan di Papua masih berorientasi pada uang. Orang akan bekerja kalau ada uang. Tanpa uang pembangunan tidak berjalan. Bahkan untuk membersihkan jalan yang dilewati sehari-hari harus dibayar pakai uang (dana kampung). Semangat kerja bersama diabaikan. Unsur pemberian diri ditinggalkan.

Pendekatan pembangunan berdasarkan uang telah mematikan daya kreativitas dan inovatif orang Papua. Apabila tidak dihentikan, apa yang akan terjadi pada generasi orang Papua pada masa depan? Unsur-unsur hidup orang Papua, adat, budaya, bahasa, tarian dan lain sejenisnya akan musnah ditelan waktu.

Mengingat gentingnya situasi hidup orang Papua saat ini, maka kita dipanggil untuk memberikan diri seutuhnya, melayani tanpa pamrih. Uang sebagai sarana dibutuhkan dalam proses pembangunan, tetapi ia bukan tujuan pembangunan orang Papua. Paradigma berpikir mesti diubah dari uang ada dulu, menjadi tanpa uang pun orang Papua bisa membangun diri dan masa depannya. Paradigma semacam ini mengandaikan adanya semangat pemberian diri dan pelayanan tulus ikhlas, tanpa pamrih.

Di atas semua catatan singkat ini, orang Papua sendirilah yang perlu melakukan perubahan itu demi masa depannya. Orang Papua perlu kembali ke semangat dasar kekeluargaan, saling memberi dan menerima, saling melayani tanpa pamrih. Pihak luar, baik pemerintah maupun Gereja bersifat mendukung, bukanlah pelaku utama perubahan orang Papua. Karena itu, demi masa depan generasi Papua yang lebih baik, segenap orang Papua perlu memberikan diri seutuhnya kepada sesamanya orang Papua.

(Agats, 4 Juli 2017, pukul 08.52 WIT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun