Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Senja di Pelabuhan Feri, Agats

11 Juli 2017   19:05 Diperbarui: 29 Agustus 2017   17:05 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana senja di pelabuhan feri Agats, 21 Agustus 2017. Dok. Piter.

Sore ini, cuaca di kota Agats cerah. Langit memerah seiring sang mentari kian condong di ufuk barat. Sungai Asuwets memantulkan cahaya kemilau. Rimbun pohon di tepi sungai memperindah khazanah. Batin terasa damai. Itulah kondisi hari ini, Selasa, 4 Juli 2017. 

Pelabuhan Feri. Begitulah orang di Agats, Asmat mengenalnya. Di tempat ini kapal perintis dan kapal barang berlabuh untuk menurunkan barang dan mengangkut penumpang keluar-masuk Agats. Para penumpang speed yang datang dan pergi juga melewati pelabuhan Feri ini.

Pelabuhan Feri. Sebuah tempat bersejarah melampaui namanya. Di tempat ini, martir Pendidikan Asmat, Pastor Yan Smith, OSC menyerahkan dirinya untuk pendidikan orang Asmat. Peluru menerjang tubuhnya. Ia mati di tangan  Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Asmat. Peristiwa memilukan itu terjadi pada 28 Januari 1967. Kini, patung Yas Smith berdiri di tempat ini. Pastor Yan Smith menjadi tokoh pendidik orang Asmat, sekaligus pembuka jalan menuju peradaban baru orang Asmat.

Duduk di pelabuhan Feri, Agats, sambil menikmati senja dilakukan oleh puluhan orang setiap sore. Sebagian orang memancing dan yang lainnya sekedar berbagi cerita. Anak-anak bermain ke sana ke mari. Ada pula yang mandi. Mereka berdiri di atas jembatan pelabuhan dan terjun ke dalam sungai. Mereka tidak peduli pada air sungai yang keruh.

Sore ini, saya berada di antara puluhan orang itu. Saya duduk di salah sudut jembatan yang terbuat dari kayu besi itu. Pandangan terarah pada matahari terbit. Cahaya senja memesona. Menyentuh kalbu. Sekejap kepenatan lenyap. Gembira. Lega.

Di sudut berlawanan duduk dua perempuan muda. Mula-mula, saya tak melihat keduanya. Belakangan saat hendak pulang terdengar suara memanggil. "Kaka Pit." Saya menoleh. Mencari suara itu. Di kejauhan sana, tampak keduanya. Siapakah mereka?

Saya beranjak menuju keduanya. Di sanalah saya mengenal mereka. Anas dan Dev. Dua perempuan yang saya kenal semasa mengenyam pendidikan awal di Seminari Menengah St. Fransiskus Asisi, Waena. Waktu itu, saya di Kelas Persiapan Atas (KPA). Keduanya bersekolah di SMA YPPK Teruna Bakti, Waena. Perjumpaan kami hanya setahun. Sesudahnya, saya ke Wamena. Lalu, hampir tak pernah berjumpa lagi.

Saya tak jadi pulang. Kami bertiga duduk di pelabuhan Feri. Tidak jauh dari tugu Pastor Yan Smith. Matahari kian ke barat. Senja indah melengkapi perjumpaan kami. Nostalgia pada kehidupan asrama. Paling tidak selama setahun selalu berjumpa pada saat misa pagi dan kompletorium. Di lain kesempatan berjumpa saat mengambil makanan di dapur. Begitulah kenangan puluhan tahun silam itu.

Kini, kami berjumpa di Agats. Di pelabuhan Feri, kami duduk berbagi kisah hidup. Kisah perjalanan, jatuh bangun dan berjalan lagi.

Kami berkisah tentang kehidupan berkeluarga. Keluarga merupakan sel terkecil bermasyarakat. Apabila keluarga-keluarga harmonis, maka kehidupan masyarakat pun akan aman dan damai. Kini, keluarga-keluarga sedang mengalami masalah serius. Cinta, kasih sayang dan pengampunan di dalam keluarga semakin memudar. Suami istri saling selingkuh. Anak-anak terlibat dalam seks bebas, narkoba dan minuman keras. Keluarga sebagai pusat hidup manusia berada di ambang kehancuran.

Kedua teman saya, Anas dan Dev mengalami "masa gelap" dalam membangun rumah tangga. Kini, keduanya hidup sendiri bersama anak-anak mereka. Keduanya menyandang status "single parent". Status demikian, sering kali menjadi buah bibir di lingkungan tempat mereka tinggal.

Mengapa manusia menjadi egois? Mengapa laki-laki dan perempuan kurang saling menerima, mengasihi dan mengampuni? Bukankah manusia itu rapuh dan lemah? Pengakuan diri manusia sebagai makhluk lemah mestinya menggerakkan orang untuk mengampuni sesamanya, sebagaimana dirinya juga mendapatkan pengampunan dan belas kasih dari Allah.

Hidup dalam keluarga sebenarnya sederhana. Di dalam keluarga suami dan istri saling menyapa, saling meneguhkan dan saling memberkati. Pada awal hari baru, keduanya perlu mengucapkan syukur atas hari baru. Doa menjadi dasar suami istri membangun keluarga. Sayangnya, acap kali suami istri sendiri yang membuat kehidupan di dalam keluarga menjadi rumit dan berbelit-belit.

Di dalam perjalanan hidup ini, keluarga sebagai kumpulan manusia-manusia rapuh hendaklah saling menguatkan. Ketika salah satunya jatuh, perlu segera bangkit dan berjalan terus. Sesama anggota keluarga perlu memberikan motivasi, bukan sebaliknya menghakimi.

Keharmonisan sebuah keluarga ditentukan oleh setiap pribadi anggota keluarga yang menjalankannya. Kalau salah satunya "sakit" akan berdampak pada yang lainnya. Karena itu, setiap pribadi di dalam keluarga perlu menempatkan diri sebagai pelayan bagi sesama anggota keluarganya.

Kisah senja di pelabuhan Feri, Agats mengajak kita untuk saling menerima, menghormati dan mengampuni. Sebagai pribadi rapuh dan lemah, kita sering jatuh, tetapi kita perlu bangkit dan berjalan terus. Saya selalu punya prinsip, "Kita boleh jatuh, tetapi kita juga memiliki kemampuan untuk bangkit dan berjalan terus."

Pengampunan adalah kunci utama dalam hidup berkeluarga. Kita perlu saling mengampuni satu sama lain, sebab kita rapuh dan lemah. Kalau kita tidak mampu saling mengampuni dan menerima kerapuhan kita, maka keluarga akan hancur berantakan.

Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Kami mengakhiri kisah kami. Kami berjanji untuk bertemu kembali di lain kesempatan. "Dev, kita bisa putar papeda di rumahmu sambil berbagi cerita lagi," pintaku. Lalu kami bersalaman dan kembali ke rumah masing-masing.

Di sepanjang jalan kota Agats, tampak samar-samar manusia hilir mudik. Motor cas berlari pelan, tanpa suara. Gelap mulai menutupi kota di atas panggung ini. Saya mengayuh sepeda pulang ke rumah. Ada suasana gembira karena berjumpa dengan kawan-kawan lama. Ada kelegaan tersendiri karena bisa berbagi pengalaman hidup dengan pribadi-pribadi yang sedang mengalami kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik.

(Dicatat hingga tuntas di atas KM. Lauser, kamar ABK, Dek II, dalam  perjalanan dari Agats ke Merauke, Sabtu, 8 Juli 2017; 14.21 WIT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun