Mengapa manusia menjadi egois? Mengapa laki-laki dan perempuan kurang saling menerima, mengasihi dan mengampuni? Bukankah manusia itu rapuh dan lemah? Pengakuan diri manusia sebagai makhluk lemah mestinya menggerakkan orang untuk mengampuni sesamanya, sebagaimana dirinya juga mendapatkan pengampunan dan belas kasih dari Allah.
Hidup dalam keluarga sebenarnya sederhana. Di dalam keluarga suami dan istri saling menyapa, saling meneguhkan dan saling memberkati. Pada awal hari baru, keduanya perlu mengucapkan syukur atas hari baru. Doa menjadi dasar suami istri membangun keluarga. Sayangnya, acap kali suami istri sendiri yang membuat kehidupan di dalam keluarga menjadi rumit dan berbelit-belit.
Di dalam perjalanan hidup ini, keluarga sebagai kumpulan manusia-manusia rapuh hendaklah saling menguatkan. Ketika salah satunya jatuh, perlu segera bangkit dan berjalan terus. Sesama anggota keluarga perlu memberikan motivasi, bukan sebaliknya menghakimi.
Keharmonisan sebuah keluarga ditentukan oleh setiap pribadi anggota keluarga yang menjalankannya. Kalau salah satunya "sakit" akan berdampak pada yang lainnya. Karena itu, setiap pribadi di dalam keluarga perlu menempatkan diri sebagai pelayan bagi sesama anggota keluarganya.
Kisah senja di pelabuhan Feri, Agats mengajak kita untuk saling menerima, menghormati dan mengampuni. Sebagai pribadi rapuh dan lemah, kita sering jatuh, tetapi kita perlu bangkit dan berjalan terus. Saya selalu punya prinsip, "Kita boleh jatuh, tetapi kita juga memiliki kemampuan untuk bangkit dan berjalan terus."
Pengampunan adalah kunci utama dalam hidup berkeluarga. Kita perlu saling mengampuni satu sama lain, sebab kita rapuh dan lemah. Kalau kita tidak mampu saling mengampuni dan menerima kerapuhan kita, maka keluarga akan hancur berantakan.
Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Kami mengakhiri kisah kami. Kami berjanji untuk bertemu kembali di lain kesempatan. "Dev, kita bisa putar papeda di rumahmu sambil berbagi cerita lagi," pintaku. Lalu kami bersalaman dan kembali ke rumah masing-masing.
Di sepanjang jalan kota Agats, tampak samar-samar manusia hilir mudik. Motor cas berlari pelan, tanpa suara. Gelap mulai menutupi kota di atas panggung ini. Saya mengayuh sepeda pulang ke rumah. Ada suasana gembira karena berjumpa dengan kawan-kawan lama. Ada kelegaan tersendiri karena bisa berbagi pengalaman hidup dengan pribadi-pribadi yang sedang mengalami kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik.
(Dicatat hingga tuntas di atas KM. Lauser, kamar ABK, Dek II, dalam  perjalanan dari Agats ke Merauke, Sabtu, 8 Juli 2017; 14.21 WIT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H