Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ironi Sang Pengukir di Lumpur Asmat

11 Mei 2017   05:08 Diperbarui: 23 Oktober 2018   13:24 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Anak, saya tinggal di sini sudah tujuh tahun. Kami hanya punya gubuk ini. Kami sudah terbiasa hidup seperti ini. Bapa punya anak-anak juga tidak sekolah. Mereka biasa bantu dorang punya Mama cari udang. Kadang mereka cari kaleng bekas untuk dijual. Biasa uang yang mereka dapat kami pakai untuk beli beras, sayur dan ikan,” kisahnya.

Aku tak banyak bicara. Aku mendengarkan keluh kesahnya. Hatiku getir tatkala ia berujar, “Sekarang di Papua ini, termasuk di Asmat, orang asli Papua yang jadi Bupati, Wakil Bupati dan pejabat di dinas-dinas, tetapi kami punya hidup tetap susah. Tidak ada perlindungan untuk kami orang Asmat. Kami melarat,” tuturnya sembari mengukir sebuah salib berukuran kecil.

Matahari beranjak naik. Aku menengok jam di tanganku. Sudah pukul 12.30 WIT. “Bapa, saya pulang ke rumah. Saya akan datang ke sini lagi,” pamitku pada pengukir itu. Kami bersalaman. Lalu, aku keluar dari gubuk itu. Pengukir itu mengantarku sampai di depan gubuknya. “Anak, jangan lupa datang main-main ke Bapa punya gubuk ini,” pesannya.

Aku pulang dengan membawa sejuta kisah pilu. Kisah tentang ketidakadilan sosial. Kisah manusia saling melupakan dan mengabaikan. Aku melihat gubuk tua. Aku melihat anak-anak tidak bersekolah. Aku melihat betapa susahnya orang miskin memperoleh sesuap nasi.

Aku terdiam. Asmat subur dan kaya sumber daya alam. Ukirannya terkenal ke seluruh dunia. Di Agats berdiri museum kebudayaan yang sangat megah. Sayangnya, para pengukir hidup miskin dan menderita. Apa yang mereka peroleh dari kebudayaan mengukir yang terkenal ke seluruh dunia itu? Apa yang mereka dapatkan dari sumber daya alam yang melimpah itu?

Di saat bersamaan, aku teringat. Setiap pagi, aku melangkahkan kaki ke gereja Katedral Salib Suci, Agats untuk mengikuti Misa. Di dalam gereja yang dibalut aneka ukiran Asmat itu, aku berlutut, berdoa, mendengarkan Sabda Tuhan, menerima Tubuh dan Darah-Nya. Aku hanya sebatas mengikuti Misa.

Di luar Katedral itu, aku mengagumi ukiran Asmat yang terpajang di setiap sudut kota Agats. Aku menikmati keindahan alam Asmat. Aku hanya sebatas mengagumi dan menikmati keindahan Asmat. Aku belum berbuat banyak untuk menolong sesamaku yang menderita di gubuk-gubuk kusam di tanah Asmat ini.

Saat malam tiba, sebelum membaringkan diri dan beristirahat, pikiranku menerawang ke gubuk pengukir itu. Seketika terlintas kata-kata Yesus ini, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Bdk. Matius 22:37-39). (Agats, 7 April 2017; pukul 23.32).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun