Hari ini Selasa, 11 Oktober 2016, pukul 05.35 WIT saya bangun pagi. Cuaca di kampung Tablanusu cerah. Saya langsung menulis laporan kegiatan koordinasi dan sosialisasi ketangguhan masyarakat telah dilakukan kemarin. Selanjutnya, saya mandi dan makan mi rebus yang dimasak oleh kawan Teriben Kogoya dan Farid.
Pukul 08.30 WIT, kami ke aula pertemuan yang terletak bersebelahan dengan rumah Bapa Simson Soumilena, tempat kami menginap. Di sana, kami menata ruang pertemuan untuk dipergunakan oleh peserta. Di aula masih tampak sepi. Belum ada peserta yang hadir. Kami menunggu kehadiran peserta. Tidak lama kemudian peserta datang. Mereka langsung mengisi daftar hadir. Teri menyampaikan kepada peserta untuk langsung snack karena sudah jam sembilan lewat. “Bapa, Mama, setelah isi daftar hadir, sambil tunggu peserta lain, kita langsung snack supaya sebentar kita langsung mulai kegiatan sampai selesai.”
Pukul 09.30 WIT saya menyampaikan pengantar tentang proses yang akan dilakukan hari ini yaitu melakukan Kajian Risiko Bencana (KRB) di Kampung Tablanusu. Fokus kajian adalah Ancaman, Kerentanan, Kapasitas, dan Peta risiko. Setelah memberikan pengantar, saya minta salah satu bapa memimpin doa pagi. Bapa Isak Sorontouw berdiri dan memimpin doa. Sesudah doa, Teri melanjutkan proses ini dengan materi KRB.
Teri membagi peserta ke dalam lima kelompok. Masing-masing peserta berhitung satu sampai lima. Sesudah itu, peserta masuk ke dalam kelompok. Kelompok satu membahas tentang kajian ancaman. Kelompok dua kajian kerentanan. Kelompok tiga kajian peta risiko bencana. Kelompok empat kajian risiko dan kelima kajian kapasitas. Setelah menyepakati tugas yang akan dikerjakan, peserta langsung mengerjakannya didampingi oleh fasilitator.
Pukul 11.00 WIT, peserta selesai mengerjakan tugas kelompok. Hasil diskusi ditempel di dinding tembok. Kegiatan selanjutnya masing-masing peserta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Presentasi dimulai dari kelompok satu ancaman. Kemudian, dilanjutkan dengan kelompok empat yang mempresentasikan risiko yang bisa terjadi. Terakhir, peserta membahas peta yang digambar oleh kelompok tiga.
Pukul 12.00 WIT, saya melanjutkan dengan satu bagian kecil diskusi kajian risiko bencana (KRB) yaitu rencana aksi Pengurangan Risiko Bencana. Pada bagian ini, saya menekankan pentingnya kegiatan-kegiatan konkret yang membantu warga untuk memahami kondisi wilayahnya dan senantiasa berupaya menjaga agar tidak terjadi bencana. Kalaupun terjadi bencana, warga sudah siap menghadapinya.
Pada diskusi ini, peserta mengusulkan beberapa kegiatan konkret yang perlu dilakukan yaitu pembentukan kelompok relawan bencana, sosialisasi bahaya bencana kepada seluruh warga masyarakat kampung, perlunya peta risiko bencana di kampung, tata ruang kampung (penataan bangunan) dan penguatan kapasitas pemuda Gereja dalam menghadapi bencana. Kegiatan-kegiatan ini perlu diusulkan pada saat musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) kampung sehingga bisa menjadi perhatian pembangunan di kampung Tablanusu.
Sebelum makan, salah satu peserta, yang merupakan perwakilan pemuda berbicara. Ia minta kepada peserta untuk menyepakati waktu kegiatan. Apakah pukul 09.00 WIT atau ada perubahan. Sebab, tadi pagi peserta terlambat datang. Ketua kelompok juga ikut berbicara. Ia minta supaya peserta hadir tepat waktu, sehingga kegiatan bisa dilaksanakan sesuai jadwal yang telah disepakati bersama.
Pukul 12.30 WIT, kegiatan kajian risiko bencana (KRB) selesai. Bapak Piter Suwae memimpin doa makan. Kami makan bersama nasi kotak. Uniknya, di dalam kotak nasi, ternyata ada piring. Peserta boleh mengeluarkan piring, kemudian kotaknya dikumpulkan kembali untuk digunakan lagi pada keesokan harinya. Menunya sederhana, nasi, sayur daun singkong, telur dan ikan goreng.
Pukul 12.50 peserta kembali ke rumah masing-masing. Besok kami akan berjumpa kembali di ruang pertemuan, aula GKI Tablanusu.
Kami pun kembali ke rumah penginapan yang bersebelahan dengan aula, tempat kegiatan. Farid langsung pulang ke Sentani. Besok dia akan kembali ke Tablanusu bersama Ibu Leni dan Marina. Saya beristirahat. Teri cuci pakaiannya, lalu beristirahat. Pukul 15.30 WIT, kami bangun lalu pergi ke pantai. Di sana kami mandi.
Tablanusu memiliki pantai yang indah. Di tepi pantai sampai perkampungan ditutupi batu-batu bulat kecil. Air laut jernih. Udara bersih. Angin sore bertiup. Duduk di tepi pantai Tablanusu membuat diri merasa kecil di hadapan Sang Pencipta yang menempatkan alam indah ini. Jauh di lubuk hati, ada harapan agar keindahan ini tetap terpelihara dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang. (Tablanusu, 12 Oktober 2016; pukul 06.38 WIT)
Catatan Refleksi
Bencana alam merupakan momok yang menakutkan. Setiap pribadi berjuang menghindarinya. Komunitas masyarakat melakukan berbagai kegiatan untuk mengeliminir terjadinya bencana. Misalnya, penanaman pohon dan pembersihan selokan/parit. Berbagai kegiatan yang dilakukan itu bertujuan agar manusia dan alam harmonis, selaras sehingga tidak terjadi bencana alam, yang menghancurkan manusia dan alam semesta.
Untuk mengenal potensi bencana di suatu wilayah dibutuhkan kajian yang mendalam. Itulah yang mendasari kami melakukan kajian risiko bencana di kampung Tablanusu. Masyarakat kampung, yang tergabung dalam kelompok kerja (Pokja) berdiskusi tentang berbagai ancaman bencana di kampung Tablanusu. Ada ancaman bencana banjir, longsor dan tsunami.
Pada saat proses kajian risiko bencana, peserta sebenarnya mau fokus pada kajian risiko bencana banjir. Alasannya, gunung sudah mulai gundul, apabila hujan air mengalir dengan deras dan menyebabkan banjir. Hal ini diperparah dengan telaga yang semakin mendangkal karena material dari gunung. Sayangnya, sejak awal telah ditetapkan bahwa fokus kajian kali ini dibatasi pada risiko tsunami.
Sebuah pembelajaran penting yang harus menjadi perhatian bersama adalah bahwa apabila hendak melakukan kegiatan perlu berbicara dengan masyarakat setempat. Apa yang paling mereka butuhkan? Apakah kajian risiko banjir, longsor atau tsunami? Jangan sampai pihak luar merasa lebih mengetahui daripada orang Tablanusu. Apabila hal semacam ini kurang diperhatikan, maka tidak akan kena konteks. Berbagai kajian dan fasilitasi akan tinggal menjadi dokumen ‘mati’.
Selama proses diskusi masyarakat terlibat aktif. Mereka berbicara tentang kondisi kampung mereka sejak dahulu kala sampai saat ini. Budaya lisan sangat kuat. Mereka berbagi cerita mengenai berbagai kisah yang diwariskan turun temurun. Misalnya, gempa bumi tahun tujuh puluan, tsunami Jepang dan banjir.
Selain itu, masyarakat juga mengetahui apa yang mesti dilakukan supaya kampung tetap aman dan terhindar dari bencana. Misalnya, menanam pohon, sosialisasi kebencanaan, perlunya peta risiko bencana di kampung, tata ruang kampung (penataan bangunan) dan penguatan kapasitas pemuda Gereja dalam menghadapi bencana. Artinya, masyarakat mengetahui cara paling cocok untuk mencegah dan atau menghadapi bencana alam sehingga kalau terjadi bencana alam masyarakat sudah siap.
Saya belajar bahwa bencana itu seperti pencuri. Ia datang tanpa kabar berita. Orang tidak tahu kapan datangnya dan berapa kekuatannya merusak manusia dan alam semesta. Karena itu, manusia perlu berjaga-jaga.
Cara berjaga-jaga yang paling sederhana dan efektif adalah memperlakukan alam sebagai saudara. Hentikan kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat. Sampah mesti diletakkan pada tempatnya. Sekali lagi sampah mesti diletakkan pada tempatnya, bukan dibuang! Selain itu, hentikan kebiasaan menebang pohon, menghancurkan bukit dan gunung. Hentikan kebiasaan menggunakan pukat harimau dan bom dalam mencari ikan di laut dan sungai. Sebaliknya, tanam dan rawatlah pohon. Bukit-bukit gundul mesti ditanami pohon.
Manusia perlu membangun relasi harmonis dengan alam semesta ini. Alam bukan objek eksploitasi. Alam adalah saudara, yang berasal dari Sang Pencipta yang satu dan sama. Karena itu, sudah selayaknya manusia tidak merendahkan alam semesta ini. Manusia perlu menempatkan alam sebagai rekan seperjalanan menuju keabadian bersama Sang Pencipta.
Kajian risiko bencana kampung Tablanusu mengingatkan kita semua untuk menghormati alam semesta ini. Kita tidak bisa hidup tanpa alam. Apa lagi orang Tablanusu, mereka memiliki ikatan emosional dengan alam: hutan, sagu, ikan dan lain sebagainya. Semuanya menjadi satu di dalam Sang Pencipta. Karena itu, semua pihak perlu menerima dan menghormati alam semesta ini, tanpa syarat apa pun.
Kita berharap ke depan, kampung Tablanusu, sebagai kampung wisata memiliki peran penting dalam upaya pengurangan risiko bencana melalui kegiatan-kegiatan bernuansa pendidikan kreatif, seperti sekolah alam dan lain-lain. Semua pihak, ondoafi, tokoh gereja, aparat kampung, tokoh pendidikan mesti bersatu hati membangun kampung Tablanusu menjadi kampung tangguh yang mengedepankan upaya pengurangan risiko bencana. Dengan demikian, ketika orang hendak belajar tentang kampung tangguh, mereka bisa belajar di Tablanusu. (Catatan refleksi ini ditulis di Abepura pada Jumat, 21 Oktober 22016; pukul 07.19 WIT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H