Pada perayaan “Kamis Putih” ini, kita perlu kembali ke dalam diri kita sendiri dan berefleksi. Apakah kita sudah melayani sesama? Apakah di dalam keluarga, kita sudah berlomba-lomba saling melayani atau kita masih bersikap malas tahu? Apakah kita berani dan bersedia melayani atau menuntut untuk dilayani? Apakah kita peka terhadap penderitaan sesama atau kita bersikap acuh tak acuh? Apakah kita bersedia mengampuni sesama atau masih ada dendam di dalam hati kita?
Melalui perayaan perjamuan terakhir Yesus bersama para rasul-Nya ini, kita diundang untuk senantiasa memperhatikan sesama. Kita perlu terbuka melayani sesama. Untuk bisa menjadi pelayan, kita perlu belajar dari dalam keluarga. Suami melayani istri. Istri melayani suami. Orang tua melayani anak-anak. Anak-anak melayani orang tua. Kita saling melayani. Itulah inti panggilan kita sebagai manusia, yaitu melayani, melayani dan melayani, tanpa pamrih.
Coba kita merenung sejenak. Yesus itu Tuhan dan Guru, tetapi Ia rela mencuci kaki para rasul-Nya. Bagaimana dengan kita manusia rapuh ini? Kita cenderung sombong, angkuh, dan mau santai. Kita lebih memilih dilayani ketimbang melayani. Di dalam hidup sehari-hari, kita melihat ada sampah atau kotoran di halaman rumah, tetapi kita membiarkannya. Kita melihat saluran air tersumbat, tetapi kita malas tahu. Kita melihat anak-anak mengisap lem aibon, tetapi kita tidak peduli. Ketidakpedulian ini terjadi karena kita merasa tidak berkepentingan dengan sesama umat manusia. Kita mau hidup untuk diri kita sendiri, tanpa peduli pada sesama. Kita tidak mau melayani sesama.
Kita perlu bangkit. Kita harus melayani sesama tanpa pamrih. Kita menimba semangat pelayanan Yesus. Bahwa melayani itu sederhana. Melayani itu bertindak konkret bukan hanya sebatas berbicara. Melayani perlu diwujudnyatakan dengan tindakan konkret untuk membantu sesama, bukan hanya bilang, “kasian, kasian, kasian” tanpa berbuat sesuatu untuk menolong sesama. Belas kasih harus diwujudkan di dalam aksi. Itulah pelayanan yang sesungguhnya.
Semoga kisah dan pesan sang Guru ini berguna untuk hidup dan masa depan kita. Apa pun situasinya, kita dipanggil untuk melayani, bukan dilayani. Hendaklah kita berlomba-lomba dan saling mendahului dalam melayani. Jangan pernah tunggu untuk dilayani. Kita harus berinisiatif melayani sesama. Sebab, dengan melayani sesama, kita semakin menyadari bahwa hidup ini adalah anugerah Allah, yang patut dibagikan kepada sesama tanpa kecuali. [Abepura, 24 Maret 2016; pukul 12.45 WIT].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H