Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Papua untuk Papua

21 Maret 2016   10:37 Diperbarui: 21 Maret 2016   10:43 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua memiliki sumber daya alam yang melimpah. Pada saat bersamaan, sebagian besar orang Papua asli merana. Apa ukuran mengatakan orang Papua asli merana? Setiap mata melihat Mama-Mama Papua berjualan di pinggir jalan dan emperan toko. Anak-anak Papua asli sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Gizi buruk menimpa ibu hamil dan anak-anak Papua asli. Setiap telinga mendengar jerit tangis orang Papua asli yang tinggal di rumah-rumah kumuh, tanpa fasilitas listrik. Tetapi, siapa yang mau peduli terhadap penderitaan dan jerit tangis orang Papua ini? 

Penderitaan yang dialami oleh orang Papua asli saat ini, seyogianya mendatangkan simpati dan solidaritas dari dalam komunitas dan suku-suku orang Papua asli. Kita mengenal ada tujuh wilayah adat di Papua yaitu Mamta, Saereri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Mee Pago. Masing-masing wilayah adat memiliki tanggung jawab untuk saling memperhatikan dan saling melengkapi. Baik susah maupun senang harus dijalani bersama dalam komunitas-komunitas adat itu. Perlu ada gerakan bersama untuk bangkit dari penderitaan berkepanjangan. Semua harus dimulai dari komunitas adat di masing-masing wilayah. 

Saat ini, kita menyaksikan belum ada upaya serius dari masing-masing wilayah adat untuk memproteksi wilayahnya dari gempuran perusahaan yang menghancurkan hutan masyarakat adat. Konversi hutan dengan perkebunan kelapa dan berbagai tanaman industri lainnya hanya menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat. Pemerintah dan perusahaan biasa mengatakan bahwa kehadiran investor untuk menyejahterakan masyarakat adat, tetapi fakta membuktikan bahwa ketika perusahaan masuk, masyarakat makin menderita. Hutan dibabat habis. Kayu dibawa ke luar Papua. Sumber-sumber makanan hilang. Masyarakat adat, yang adalah orang Papua asli menderita.

Papua memiliki banyak permasalahan. Banyak pihak (pemerintah Indonesia dan para cendikiawan Papua asli) mengetahui hal itu. Tetapi, berapa orang yang mau peduli terhadap penderitaan orang Papua asli ini? Orang Papua asli yang sedang menderita sering menuntut pihak luar untuk memperhatikan mereka. Orang Papua asli minta berbagai program dan kebijakan pembangunan untuk berpihak mereka. Bahkan karena tuntutan itu, saat ini para pejabat di Papua hampir semuanya orang Papua asli. Gubernur dan Bupati/Walikota adalah orang Papua asli. Apakah orang Papua asli, pemilik tanah ini mau peduli pada penderitaan yang sedang dialaminya?

Kita semua menyaksikan bahwa saat ini belum ada solidaritas internal orang Papua asli. Masih ada stigma Gunung-Pantai, Utara-Selatan. Stigma negatif saling dilontarkan di dalam orang Papua sendiri, yang secara tidak langsung memecah-belah persatuan dan kesatuan orang Papua. Perlu ada perjumpaan intensif untuk membangun solidaritas internal orang Papua asli. Pada titik inilah Dewan Adat Papua mestinya berperan aktif. Kalau Dewan Adat Papua membisu, orang Papua asli mau dibawa ke mana?

Saya memiliki pengalaman sederhana. Tahun 2011-2012 silam, saya melaksanakan tahun pastoral di keuskupan Agats, Asmat. Saya ditempatkan di paroki Santa Silvia Yamas. Saya tinggal bersama Pastor Anton OFM di pusat paroki di kampung Yamas-Yeni. Paroki ini melayani kampung Yufri-Yaun, As-Atat, Kapi, Tafo-Ao, Awap, Faicok dan Pamen. Untuk pergi ke kampung-kampung itu harus menggunakan speed boat. 

Setiap kali kami melakukan turne ke kampung-kampung itu, kami menjumpai bahwa pelayanan pendidikan dan kesehatan tidak berjalan. Tampak bangunan sekolah ditumbuhi rumput dan pepohonan. Saat saya bertanya kepada anak-anak, mengapa tidak sekolah mereka menjawab bahwa guru-guru tinggal Agats. Hampir semua guru adalah orang Asmat asli. Bahkan guru-guru itu diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS) oleh pemerintah kabupaten Asmat untuk mengajar di kampungnya sendiri. Tetapi, guru-guru itu tidak betah tinggal di kampungnya sendiri untuk mengajar anak-anak atau adik-adiknya sendiri.

Hal serupa juga terjadi pada Puskesmas Pembantu yang ada di kampung-kampung itu. Kader kesehatan dan mantri serta suster adalah orang-orang Papua asli, tetapi mereka tidak mau tinggal di kampung. Mereka lebih memilih tinggal di kota Agats. Mereka membiarkan sesamanya, orang Papua asli menderita di kampung-kampung terpencil.

Situasi ini sudah seharusnya menggugah hati orang Papua asli untuk kembali ke jati dirinya sebagai manusia sejati yang siap melayani sesama tanpa pamrih. Kalau orang Papua sudah tidak peduli dengan sesamanya orang Papua, lalu mau mengharapkan siapa? Orang Papua harus membanguna solidaritas dan saling memperhatikan untuk masa depan Papua yang lebih baik. Orang Papua tidak bisa hanya menuntut ini dan itu terhadap pemerintah di Jakarta. Orang Papua harus bertindak konkret untuk menyelamatkan generasi Papua. Hanya orang Papua yang bisa bangun dirinya sendiri dan sesamanya orang Papua, bukan pihak luar. 

Kita tidak bisa menyangkal bahwa saat ini sebagian orang Papua sudah lupa dan tidak peduli pada sesamanya, budaya, adat dan bahasanya sendiri. Banyak anak-anak Papua asli atau peranakan yang sudah lupa budaya, adat dan bahasa daerah. Bahkan seorang kakak pernah bercerita dengan saya, bahwa ada orang Papua asli, yang besar di pulau Jawa, saat datang ke Papua bahkan tidak mau minum air dari tanah ini. Dia mau minum air mineral aqua yang diproduksi di Jawa. 

Terlalu banyak kisah yang memperlihatkan bahwa orang Papua baku malas tahu. “Koe siapa?” Sikap malas tahu dalam lingkup orang Papua sendiri merupakan “pembunuh” paling kejam yang selama ini belum disadari. Bagaimana bisa orang Papua asli menuntut keadilan kepada Indonesia, sementara internal orang Papua terpecah-belah? Orang Papua harus bersatu memperjuangkan penderitaannya secara bersama-sama. 

Saya mengalami bahwa situasi di Papua saat ini sebenarnya dalam status darurat. Ada darurat miras, HIV/AIDS, malaria, anak aibon, narkoba, korupsi dan lain sejenisnya. Setiap hari ada peristiwa pilu melanda tanah Papua, kematian demi kematian, kekerasan demi kekerasan datang silih berganti. Ironisnya, orang Papua asli masih tercerai-berai. Orang Papua asli masih memikirkan dirinya sendiri dan sukunya, tanpa berpikir untuk merangkul sesamanya untuk membangun Papua menjadi lebih baik. 

Situasi Papua kian kelam. Orang Papua asli makin termarginal. Proses pendidikan, pelayanan kesehatan dan perekonomian orang Papua tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini sudah seharusnya memicu orang Papua untuk bersatu membangun Papua. Orang Papua harus memulainya. Jangan tunggu pihak luar. Jangan menuntut orang luar untuk datang mengajar anak-anak Papua. Jangan menunggu orang luar untuk datang melayani orang Papua di kampung-kampung. Orang Papua asli harus menunjukkan bahwa orang Papua bisa melayani sesamanya orang Papua. 

Dalam perjumpaan-perjumpaan dengan kawan-kawan orang Papua asli, saya selalu mengatakan bahwa, “Anak-anak Papua yang menjadi guru, mantri, bidan, penyuluh pertanian harus betah tinggal di kampung-kampung terpencil dan mendidik serta melatih orang Papua di kampung-kampung untuk bisa baca, tulis dan hitung. Mantri dan bidan harus betah tinggal di kampung untuk melayani dan mengajari orang Papua tentang pola hidup sehat. Penyuluh pertanian harus betah tinggal di kampung dan melatih orang Papua tentang cara bertani yang baik dan benar.” Sekali lagi, orang Papua harus menjadi guru dan tuan di atas tanahnya sendiri. Jangan menunggu orang luar untuk datang ajar orang Papua. Sudah saatnya orang Papua sendiri harus mengurus dirinya dan sesamanya orang Papua.

Untuk masa depan Papua yang lebih baik, kaum intelektual Papua harus mengarahkan pandangannya ke kampung-kampung terpencil. Anak-anak Papua yang sudah mendapat gelar sarjana, harus ke kampung-kampung untuk mengajar dan melatih sesamanya, supaya mereka bisa menulis, membaca dan berhitung. Anak-anak Papua yang sudah meraih gelar sarjana, jangan hanya tinggal di kota, berharap menjadi PNS atau hanya membuat proposal untuk minta bantuan ke Pemda. Semua harus ke kampung-kampung untuk mendidik anak-anak Papua yang selama ini terlantar. 

Apa pun keadaan yang dialami oleh orang Papua saat ini, semuanya berpulang kembali kepada orang Papua sebagai pemilik tanah ini. Pihak luar hanya numpang tinggal dan mencari rezeki. Orang Papua asli yang menentukan masa depan Papua akan menjadi seperti apa. Semuanya sangat tergantung kepada orang Papua. Karena itu, mulai saat ini dan ke depan, orang Papua harus berani keluar dari sikap egoisnya dan bersama-sama membangun Papua supaya menjadi lebih baik. [Abepura, 19 Maret 2016; pukul 08.15 wit].

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun