Papua memiliki sumber daya alam yang melimpah. Pada saat bersamaan, sebagian besar orang Papua asli merana. Apa ukuran mengatakan orang Papua asli merana? Setiap mata melihat Mama-Mama Papua berjualan di pinggir jalan dan emperan toko. Anak-anak Papua asli sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Gizi buruk menimpa ibu hamil dan anak-anak Papua asli. Setiap telinga mendengar jerit tangis orang Papua asli yang tinggal di rumah-rumah kumuh, tanpa fasilitas listrik. Tetapi, siapa yang mau peduli terhadap penderitaan dan jerit tangis orang Papua ini?
Penderitaan yang dialami oleh orang Papua asli saat ini, seyogianya mendatangkan simpati dan solidaritas dari dalam komunitas dan suku-suku orang Papua asli. Kita mengenal ada tujuh wilayah adat di Papua yaitu Mamta, Saereri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, Mee Pago. Masing-masing wilayah adat memiliki tanggung jawab untuk saling memperhatikan dan saling melengkapi. Baik susah maupun senang harus dijalani bersama dalam komunitas-komunitas adat itu. Perlu ada gerakan bersama untuk bangkit dari penderitaan berkepanjangan. Semua harus dimulai dari komunitas adat di masing-masing wilayah.
Saat ini, kita menyaksikan belum ada upaya serius dari masing-masing wilayah adat untuk memproteksi wilayahnya dari gempuran perusahaan yang menghancurkan hutan masyarakat adat. Konversi hutan dengan perkebunan kelapa dan berbagai tanaman industri lainnya hanya menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat. Pemerintah dan perusahaan biasa mengatakan bahwa kehadiran investor untuk menyejahterakan masyarakat adat, tetapi fakta membuktikan bahwa ketika perusahaan masuk, masyarakat makin menderita. Hutan dibabat habis. Kayu dibawa ke luar Papua. Sumber-sumber makanan hilang. Masyarakat adat, yang adalah orang Papua asli menderita.
Papua memiliki banyak permasalahan. Banyak pihak (pemerintah Indonesia dan para cendikiawan Papua asli) mengetahui hal itu. Tetapi, berapa orang yang mau peduli terhadap penderitaan orang Papua asli ini? Orang Papua asli yang sedang menderita sering menuntut pihak luar untuk memperhatikan mereka. Orang Papua asli minta berbagai program dan kebijakan pembangunan untuk berpihak mereka. Bahkan karena tuntutan itu, saat ini para pejabat di Papua hampir semuanya orang Papua asli. Gubernur dan Bupati/Walikota adalah orang Papua asli. Apakah orang Papua asli, pemilik tanah ini mau peduli pada penderitaan yang sedang dialaminya?
Kita semua menyaksikan bahwa saat ini belum ada solidaritas internal orang Papua asli. Masih ada stigma Gunung-Pantai, Utara-Selatan. Stigma negatif saling dilontarkan di dalam orang Papua sendiri, yang secara tidak langsung memecah-belah persatuan dan kesatuan orang Papua. Perlu ada perjumpaan intensif untuk membangun solidaritas internal orang Papua asli. Pada titik inilah Dewan Adat Papua mestinya berperan aktif. Kalau Dewan Adat Papua membisu, orang Papua asli mau dibawa ke mana?
Saya memiliki pengalaman sederhana. Tahun 2011-2012 silam, saya melaksanakan tahun pastoral di keuskupan Agats, Asmat. Saya ditempatkan di paroki Santa Silvia Yamas. Saya tinggal bersama Pastor Anton OFM di pusat paroki di kampung Yamas-Yeni. Paroki ini melayani kampung Yufri-Yaun, As-Atat, Kapi, Tafo-Ao, Awap, Faicok dan Pamen. Untuk pergi ke kampung-kampung itu harus menggunakan speed boat.
Setiap kali kami melakukan turne ke kampung-kampung itu, kami menjumpai bahwa pelayanan pendidikan dan kesehatan tidak berjalan. Tampak bangunan sekolah ditumbuhi rumput dan pepohonan. Saat saya bertanya kepada anak-anak, mengapa tidak sekolah mereka menjawab bahwa guru-guru tinggal Agats. Hampir semua guru adalah orang Asmat asli. Bahkan guru-guru itu diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS) oleh pemerintah kabupaten Asmat untuk mengajar di kampungnya sendiri. Tetapi, guru-guru itu tidak betah tinggal di kampungnya sendiri untuk mengajar anak-anak atau adik-adiknya sendiri.
Hal serupa juga terjadi pada Puskesmas Pembantu yang ada di kampung-kampung itu. Kader kesehatan dan mantri serta suster adalah orang-orang Papua asli, tetapi mereka tidak mau tinggal di kampung. Mereka lebih memilih tinggal di kota Agats. Mereka membiarkan sesamanya, orang Papua asli menderita di kampung-kampung terpencil.
Situasi ini sudah seharusnya menggugah hati orang Papua asli untuk kembali ke jati dirinya sebagai manusia sejati yang siap melayani sesama tanpa pamrih. Kalau orang Papua sudah tidak peduli dengan sesamanya orang Papua, lalu mau mengharapkan siapa? Orang Papua harus membanguna solidaritas dan saling memperhatikan untuk masa depan Papua yang lebih baik. Orang Papua tidak bisa hanya menuntut ini dan itu terhadap pemerintah di Jakarta. Orang Papua harus bertindak konkret untuk menyelamatkan generasi Papua. Hanya orang Papua yang bisa bangun dirinya sendiri dan sesamanya orang Papua, bukan pihak luar.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa saat ini sebagian orang Papua sudah lupa dan tidak peduli pada sesamanya, budaya, adat dan bahasanya sendiri. Banyak anak-anak Papua asli atau peranakan yang sudah lupa budaya, adat dan bahasa daerah. Bahkan seorang kakak pernah bercerita dengan saya, bahwa ada orang Papua asli, yang besar di pulau Jawa, saat datang ke Papua bahkan tidak mau minum air dari tanah ini. Dia mau minum air mineral aqua yang diproduksi di Jawa.
Terlalu banyak kisah yang memperlihatkan bahwa orang Papua baku malas tahu. “Koe siapa?” Sikap malas tahu dalam lingkup orang Papua sendiri merupakan “pembunuh” paling kejam yang selama ini belum disadari. Bagaimana bisa orang Papua asli menuntut keadilan kepada Indonesia, sementara internal orang Papua terpecah-belah? Orang Papua harus bersatu memperjuangkan penderitaannya secara bersama-sama.