Ada banyak masalah di Papua. Salah satu masalah yang sedang hangat dibicarakan adalah makin berkurangnya orang Papua asli. Kita sering mendengar istilah depopulisasi orang Papua asli. Artinya, sedang terjadi pengurangan atau penyusutan jumlah penduduk orang Papua asli. Orang Papua asli makin berkurang di atas tanahnya sendiri. Apa sebabnya? Siapa bertanggung jawab? Apa yang perlu dilakukan supaya orang Papua asli berkembang dan memenuhi negerinya, tanah Papua?
Kita sering mengagung-agungkan masa lalu. Nostalgia tentang masa lalu tanah Papua yang lebih baik sering terdengar. “Papua dulu boleh. Misionaris dan pemerintah Belanda perhatikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi orang Papua. Ada sekolah dan asrama bermutu. Saat ini, orang Papua makin sedikit, pelayanan juga tidak berjalan.” Ungkapan semacam ini terlontar dari segenap orang Papua asli yang pernah mengalami hidup saat misionaris dan pemerintah Belanda berkuasa di tanah Papua. Kisah-kisah indah tempo dulu diceritakan turun-temurun, sehingga generasi Papua saat ini masih berkiblat pada sejarah masa lalu Papua semasa misionaris Eropa dan pemerintah Belanda berkuasa.
Saat ini, orang Papua asli makin berkurang. Bukan hanya berkurang dari segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas hidup yang sangat memprihatinkan. Jim Elmslie dalam bukunya “West Papuan Demographic Transition and The 2010 Indonesia Census” menyebutkan bahwa saat ini orang Papua asli di Papua dan Papua Barat berjumlah 3.612.854 jiwa. Dia membandingkan tahun 1971 orang Papua asli berjumlah 887.000 jiwa. Pada tahun 2000, orang Papua asli berjumlah 1.505.405 jiwa. Berdasarkan data ini, dia menyimpulkan bahwa pertumbuhan orang Papua asli hanya 1,84% per tahun.
Data di atas dianalisis dan diterbitkan tahun 2010 silam. Sekarang sudah tahun 2016. Berapa jumlah orang Papua asli? Belum ada data pasti. Kita semua belum memiliki data valid tentang jumlah orang Papua asli. Bahkan data yang dikemukakan oleh Jim patut diuji kembali. Jangan sampai justru orang Papua lebih sedikit dari yang dipaparkan dalam data tersebut. Kita perlu mengumpulkan, mencermati, dan menganalisis berbagai peristiwa terkait depopulasi orang Papua asli. Hal ini sangat penting, jangan sampai kelak, orang Papua punah di atas tanahnya.
Apa sebabnya orang Papua asli tidak berkembang dari sisi jumlah? Sejauh pengalaman saya, faktor pertama yang menyebabkan orang Papua tidak berkembang adalah masalah kesehatan. Sejak kecil, saya tinggal bersama orang Papua asli. Saya menyaksikan mereka menderita karena hidup di gubuk-gubuk kecil, tanpa fasilitas kesehatan. Kesehatan ibu dan anak masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan gizi buruk selalu menghantui anak-anak Papua. Selain itu, saat ini HIV/AIDS, malaria, dan minuman keras membunuh orang Papua.
Ada juga faktor budaya. Misalnya, waktu mereka sakit, selalu dihubungkan dengan roh-roh leluhur atau suanggi. Kalau sudah sakit parah baru ada usaha untuk dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit. Seringkali nyawa tidak tertolong karena sudah sekarat. Perlu ada pencerahan dan pemahaman bahwa orang Papua asli perlu hidup secara holistik, hidup sehat jasmani dan rohani, membangun relasi yang baik dengan sesama, alam, leluhur, dan sang Pencipta.
Faktor lain yang turut memperlambat pertumbuhan dan perkembangan orang Papua asli adalah kekerasan militer. Atas nama keamanan Negara Indonesia, banyak orang Papua yang mati terbunuh. Kita tidak bisa menyangkal bahwa aparat keamanan Indonesia membunuh orang Papua. Contoh paling sederhana adalah peristiwa pembunuhan empat pelajar di Paniai, 8 Desember 2014 silam. Masih terlalu banyak kasus serupa. Kekerasan dan pembunuhan terhadap orang Papua asli atas nama negara Indonesia menjadi salah satu sebab orang Papua asli tidak berkembang.
Negara Indonesia juga mempromosikan Keluarga Berencana (KB) di tanah Papua. Orang Papua asli sudah sedikit, tetapi negara bilang, “Cukup Dua Anak”. Padahal, kalau Indonesia mau membangun Papua, mestinya meningkatkan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi bagi orang Papua sehingga mereka bertumbuh di atas tanahnya. Bukan sebaliknya, secara sadar mempromosikan KB bagi orang Papua yang sudah berada di ambang kepunahan.
Di tengah berbagai permasalahan tersebut, tanah Papua juga dibanjiri oleh orang pendatang. Sejak tahun 1960-an pemerintah Indonesia sudah mengklaim Papua sebagai miliknya sehingga mengirim penduduk luar ke tanah Papua. Pada rezim Orde Baru, saat Soeharto berkuasa, program transmigrasi dilakukan secara masif. Pada era Reformasi ini, seiring kemajuan transportasi dan komunikasi, orang luar berbondong-bondong ke Papua. Setiap hari pelabuhan laut dan bandara udara penuh sesak oleh masuk-keluarnya orang pendatang.
Akibat minim kontrol dari pemerintah daerah provinsi Papua dan Papua Barat, ditambah lagi dalih, “Papua itu NKRI” sehingga tidak ada regulasi pembatasan orang luar ke Papua. Siapa saja boleh datang dan tinggal di Papua. Bahkan tidak jarang, para pejabat pendatang membawa sanak keluarga untuk bekerja di kantor pemerintahan di Papua sehingga Papua dibanjiri oleh orang pendatang.
Menyimak realitas orang Papua asli yang makin sedikit ini, kita bertanya, “Siapa bertanggung jawab atas situasi ini?” Apakah pemerintah Provinsi Papua yang harus bertanggung jawab? Apakah Dewan Adat Papua yang harus bertanggung jawab? Atau siapa yang harus bertanggung jawab? Masalah depopulasi orang Papua asli harus menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah Provinsi Papua, pemerintah kabupaten/kota, tokoh-tokoh adat, agama, pemuda dan segenap orang Papua asli dan semua warga masyarakat yang tinggal di tanah Papua. Semua komponen perlu duduk bersama dan membicarakan secara serius terkait pertumbuhan dan perkembangan orang Papua asli.
Kalau semua komponen sudah berjumpa dan berbicara, apa yang perlu dilakukan sebagai gerakan bersama untuk menyelamatkan orang Papua asli dari kepunahan? Tentang apa yang harus dilakukan, saya memiliki refleksi sebagai berikut:
- Orang Papua memiliki budaya, adat, dan bahasa. Orang Papua asli perlu kembali ke dalam rumah adatnya. Di sana orang Papua asli saling berbicara, saling meneguhkan, baku kasih ingat tentang hidup bersih dan sehat, supaya tidak ada lagi generasi Papua yang mati karena penyakit atau minuman keras.
- Orang Papua asli harus sekolah. Orang Papua asli harus cerdas dan memiliki sikap dan jiwa rendah hati, sabar dan melayani. Orang Papua asli perlu baku perhatikan satu sama lain. Pejabat orang Papua asli harus memperhatikan semua orang Papua, bukan korupsi dan urus keluarga atau kampungnya saja.
- Orang Papua harus mulai melakukan perubahan perilaku. Misalnya, kebiasaan minum mabuk harus dihentikan. Kebiasaan tidak pakai helm saat mengendarai motor harus dihentikan. Kebiasaan main perempuan harus dihentikan. Anak-anak yang punya kebiasaan isap lem aibon harus diselamatkan!
- Pemerintah Provinsi Papua, Papua Barat dan seluruh kabupaten/kota, distrik dan kampung-kampung di seluruh tanah Papua harus memperhatikan orang Papua punya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Anak-anak Papua harus sekolah, mendapatkan gizi yang cukup dan tinggal di rumah layak huni. Di sana harus ada listrik, air bersih, dan jamban.
- Orang Papua asli dari tujuh wilayah adat harus bersatu dan saling mendukung dalam proses menyelamatkan orang Papua asli, budaya, bahasa, adat dan hutan, tempat tinggal roh leluhur dan sumber daya alam.
- Pemerintah Indonesia, khususnya aparat keamanan STOP bunuh orang Papua asli.
- Perlu ada kebijakan khusus untuk mengendalikan kehadiran kaum pendatang di tanah Papua.
Kita berharap melalui proses internalisasi dan rekonsiliasi internal orang Papua asli, dapat dimulai suatu gerakan bersama untuk menyelamatkan orang Papua asli dari kepunahan. Saya selalu punya keyakinan, bahwa apa pun masa depan Papua tetap ada di tangan orang Papua asli. Tidak ada satu pun manusia dari luar yang bisa mengatur orang Papua asli, selain orang Papua asli harus mengatur dirinya sendiri. Untuk bisa mengatur diri, orang Papua harus kembali ke dalam dirinya sendiri, rumah adat, adat dan budaya, bahasa, tanah, air, udara, hutan dan leluhur. Semua harus bersatu untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua asli sekaligus menyelamatkannya dari kepunahan. [Abepura, 18 Maret 2016; pukul 10.31 wit].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H