Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keragaman Butuh Ruang Dialog

16 Maret 2016   18:26 Diperbarui: 16 Maret 2016   18:32 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia memiliki akal budi dan hati nurani. Kebudayaan merupakan salah satu hasil kreativitas manusia untuk mempertahankan hidup dalam komunitasnya. Sementara agama dan keyakinan, yang mengandung ajaran ilahi, diyakini sebagai wahyu yang diterima dari sang Pencipta. Setiap budaya dan agama memiliki ciri khas dalam menuntun  penganutnya. Budaya dan agama menjadi sumber yang membimbing umat kepada sang Ilahi. Keduanya, mengajarkan nilai-nilai universal tentang manusia: cinta kasih, pengampunan dan saling menolong satu sama lain. 

Dalam interaksi sosial, terjadi perjumpaan di antara manusia yang berbeda budaya dan agama. Keragaman menjadi ciri yang mewarnai kebersamaan manusia. Manusia yang berbeda budaya dan agama saling berjumpa dan berbagi pengalaman. Ada perbedaan pandangan tentang budaya yang dianut. Ada pula perbedaan teologi yang dianut oleh masing-masing agama dan keyakinan. Keragaman ini tidak bisa dihindari, apa lagi dilenyapkan. 

Apakah keragaman budaya dan agama menjadi penghalang untuk membangun persaudaraan universal? Sebagai makhluk individu dan sosial, manusia memiliki ruang perjumpaan melampaui sekat yang tercipta oleh budaya dan agama. Manusia, apa pun budaya dan agamanya, memiliki martabat yang sama. Martabat manusia inilah yang harus diterima dan dihormati sebagaimana adanya. 

Keragaman budaya dan agama membutuhkan ruang dialog. Dalam perjumpaan lintas budaya dan agama, setiap pribadi saling mengkomunikasikan keunikannya secara jujur dan terbuka. Sesama manusia yang berbeda budaya dan agama diharapkan bisa menerimanya dengan lapang dada. Di sinilah pentingnya toleransi. Sikap saling menerima perbedaan budaya dan agama, tanpa mempersoalkannya.

Indonesia, negara yang memiliki keragaman budaya dan agama, sejak awal berdirinya berupaya mempersatukan segenap warganya melalui semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda, tetapi tetap satu). Semboyan ini diindoktrinasi sejak dini, baik dalam keluarga maupun di bangku pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Harapannya, melalui Bhineka Tunggal Ika, tercipta suasana hidup rukun dan damai dalam keragaman. 

Lambat-laun semboyan Bhineka Tunggal Ika memudar dan kurang dihayati secara benar. Akibatnya, belakangan seringkali terjadi peristiwa intoleransi. Misalnya, pelarangan terhadap umat beragama tertentu untuk mendirikan rumah ibadah dan beribadah. Demikian halnya, ada budaya tertentu yang harus tersingkir, bahkan di atas tempat lahirnya karena pengaruh budaya mayoritas yang mendominasi. 

Peristiwa yang sedang tenar saat ini adalah kasus kekerasan di Karubaga, Tolikara, pada 17 Juli 2015. Peristiwa ini terjadi saat pemuda Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) sedang melaksanakan konferensi pemuda GIDI. Pada saat bersamaan, kaum muslim melaksanakan shalad Idul Fitri 1436 Hijriyah. Salah paham yang berujung pada penembakan terhadap warga lokal dan terbakarnya rumah kios dan musala menyisakan duka mendalam. Manusia menderita karena sikap fanatisme berlebihan. Di balik peristiwa ini, kita belajar tentang upaya menghormati dan merangkul kaum minoritas. Tirani mayoritas hanya mendatangkan penderitaan. Sikap saling menerima dan menghormati keragaman budaya dan agama merupakan kunci memelihara perdamaian dan kesejahteraan bersama. 

Budaya dan agama mengajarkan tata nilai dan moral, yang bermuara pada penghormatan terhadap martabat manusia, tanpa syarat. Budaya dan agama tidak mengajarkan kekerasan, apa lagi menghalangi sesama untuk melaksanakan kewajiban budaya dan agama yang dianut. Budaya dan agama selalu memberikan ruang bagi sesama untuk mengungkapkan nilai budaya dan imannya kepada sang Pencipta. 

Saat ini, di Indonesia, termasuk di Papua masih ada jurang yang dalam di antara penganut budaya dan agama. Saling curiga dan sikap tertutup dari para penganut budaya dan agama yang mendiami tanah terbekati ini perlu dibongkar. Sikap alergi dan apatis terhadap keragaman budaya dan agama perlu disadari dan ditata kembali. Tampak di permukaan Papua aman, tetapi di bawah alam sadar, terpelihara sikap saling curiga yang mendalam. Kalau tidak diantisipasi dengan dialog terbuka lintas budaya dan agama, akan berakibat fatal pada kerukunan hidup bersama di Papua. 

Keragaman bisa menjadi modal untuk memulai dialog tentang penderitaan manusia. Papua yang didominasi ketidakadilan, eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran hak asasi manusia hendaknya mengembangkan dialog lintas budaya dan agama untuk memulihkan martabat manusia yang sedang terpecah-belah. Keragaman menjadi berkat yang memberikan pencerahan bagi upaya menciptakan perdamaian. Semua ini bisa terwujud kalau setiap penganut budaya dan agama saling menerima dan menghormati keragaman budaya dan agama yang dianut sesamanya, tanpa syarat.[Abepura, 10 Agustus 2015; pukul 16.04 wit].

Tulisan ini pernah dipublikasikan di media SEJUK (Selaras Juang Untuk Kedamaian), edisi 3, Agustus 2015, halaman 10, dengan judul, "Menghormati Keragaman". Dimuat kembali di sini dengan judul, "Keragaman Butuh Ruang Dialog". Dialog lintas budaya, iman dan agama akan memberikan kesempatan kepada manusia untuk saling mendengarkan, saling memahami dan menerima, tanpa prasangka. Secara khusus, tulisan ini dimuat kembali di media ini sebagai pembelajaran bagi kita semua tentang pentingnya menerima dan menghormati keragaman umat manusia dan segenap alam semesta, tanpa saling curiga.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun