Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelayan Perlu Hadir di Tengah Realitas Sosial

5 Februari 2016   14:07 Diperbarui: 5 Februari 2016   14:47 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamis, 28 Januari 2016, pagi hari cuaca sedikit mendung. Turun hujan rintik-rintik. Tetapi, itu tidak berlangsung lama. Matahari pun terbit menyinari kota Jayapura. Sejumlah anak muda masih penuh antusias mengikuti kegiatan, “Menghargai dan Mengelola Perbedaan dalam Kemajemukan Agama di Masyarakat di Papua,” yang dilaksanakan di Maranata, Waena. 

Kegiatan hari ini dilaksanakan tepat pukul 08.30 WIT, diawali dengan doa yang dipimpin oleh Gris B. Wenda. Selanjutnya review oleh Barnabas Hisage. Doa malam akan dipimpin oleh Temor Andrio dan refleksi oleh Ahmad Syarif Makatita. Ibu Elga J. Sarapung kembali memimpin teman-teman untuk latihan lagu, “alangkah bahagianya hidup rukun dan damai versi keberagaman.”

Pukul 08.50 WIT Pater Neles Tebay, Pr hadir di ruang pertemuan. Acara langsung dipandu oleh moderator Pares Wenda. Pada kesempatan ini, para peserta membagikan pengalaman, mulai dari kelompok 2, yang disampaikan oleh Andrio. Kelompok satu disampaikan oleh Syarif dan Christ. Kelompok tiga disampaikan oleh Keizer Oliver Ibo dan Deprilia Amini.

Setelah memaparkan hasil diskusi kelompok dan mendapat tanggapan dari sesama peserta, Pater Neles Tebay, Pr memberikan beberapa penegasan yang perlu mendapat perhatian bersama yaitu setiap orang perlu melihat dan mengenal situasi di Papua. Bahwa kita hidup di tengah masyarakat dan realitasnya, bukan di ruang kosong. Selain itu, Papua Tanah Damai merupakan suatu visi, impian bersama, tatanan ideal. Untuk mencapai Papua Tanah Damai orang mesti memperjuangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang harus memberikan contoh dalam kehidupannya. Setiap orang mesti menggunakan segala potensi yang ada untuk kepentingan bersama, terutama untuk melawan musuh bersama, ketidakadilan, kemiskinan dan lain sebagainya.

Pukul 10.50 WIT, peserta istirahat dan snack. Pukul 11.30 WIT dilanjutkan dengan analisis sosial (Ansos) yang dipandu oleh Ibu Ester Mariani Rihi Ga. Pada kesempatan ini Ibu Ester mengajak peserta untuk memahami Ansos. Apa yang peserta pahami tentang Ansos? Peserta menuliskan di kertas dan membacakannya. 

Peserta memahami bahwa Ansos merupakan sebuah metode atau cara untuk mengetahui realitas sosial di suatu wilayah tertentu. Ansos itu membaca, melihat, menganalisis, mengkaji dan meneliti. Di sana ada peristiwa, fenomena sosial, komunitas masyarakat, nilai-nilai dan lain sebagainya. Selanjutnya, Ibu Ester memberikan pendalaman tentang hakikat dan makna analisis sosial. 

Pukul 13.18 WIT peserta makan siang. Sesudah makan siang, Ibu Ester melanjutkan materinya tentang analisis sosial. Ia mengkolaborasi materinya dengan situasi konkret Papua. Ia menjelaskan-dimensi analisis sosial, unsur historis, struktural, pembagian masyarakat, tingkatan dan derajat permasalahan. Dalam analisis sosial harus dilihat dalam dimensi historisnya. Apa yang terjadi saat ini selalu ada kaitannya dengan apa yang terjadi pada masa lampau. 

Pukul 14.44 WIT peserta menonton film, “Di Timur Matahari”. Film berdurasi satu jam, empat puluh sembilan menit dan empat puluh empat detik ini, berkisah tentang kehidupan orang Papua di pedalaman. “Itu mereka bikin film di saya punya kampung,” ungkap Weriben Wenda dari STT Baptis Papua. Setelah nonton, peserta istirahan snack. 

Pukul 17.07 peserta masuk kembali ke ruang pertemuan. Mereka membagikan refleksi dan pengalaman atas film tersebut. Ada peserta yang menyambut positif karena mengangkat kemiskinan dan penderitaan orang Papua. Ada pula yang mempersoalkannya, karena dalam film tersebut mengangkat budaya perang. Selain itu, ada peserta yang melihat film tersebut bernuansa politis, di mana orang Papua dipaksa mengakui dirinya sebagai bagian dari Indonesia. Ibu Ester menambahkan bahwa dalam film ini anak-anak ditampilkan sebagai agen pembawa damai. “Kita lihat anak-anak menjadi perdamaian. Mereka hadir di tengah konflik dan mendamaikan peperangan yang terjadi,” ungkapnya. 

Setelah sharing, peserta istirahat untuk mandi dan makan malam. Kawan-kawan muslim melaksanakan ibadah sholat. Suasana akrab tampak di setiap raut wajah para teolog muda ini. Setelah mandi dan makan malam, pada pukul 20.00 WIT peserta kembali berkumpul di ruang pertemuan. Ibu Ester melanjutkan materinya tentang langkah-langkah melakukan analisis sosial. Peserta mengikutinya denga penuh antusias. Materi analisis sosial dari Ibu Ester untuk hari ini berakhir pada pukul 21.00 WIT. 

Mengakhiri rangkaian perjumpaan pada hari keempat ini, peserta melakukan evalusi, refleksi dan doa. Dalam evaluasi peserta mengharapkan agar peserta tidak terlambat hadir di ruang pertemuan. Selain itu, fasilitator perlu memperhatikan waktu bagi pemateri supaya tidak lewat dari jadwal yang ditentukan. Para peserta juga saling mengingatkan untuk menjaga kebersihan dan perlu istirahat yang cukup.

Catatan Refleksi

Di lorong depan ruang makan rumah retret Savelberg, Maranata, Waena, saya duduk minum teh. Daniel, ketua STFT Fajar Timur lewat. Saya minta dia berhenti. Kami duduk diskusi sekitar sepuluh menit. Saya minta dia untuk berinisiatif mengundang teman-teman mahasiswa lintas kampus teologi untuk membentuk komunitas lintas kampus teologi. “Kita harus memulainya. Seringkali kita membiarkan banyak waktu terbuang-buang. Kita tidak menggunakan waktu untuk melakukan perubahan-perubahan sosial.” 

Saat bercerita dengan Daniel, saya ingat pesan Yesus kepada para murid-Nya, “Kamulah yang harus memberi mereka makan.” Saat ini para pemimpin agama-agama cenderung membangun gedung-gedung mewah dan melupakan penderitaan umatnya. Bangunan gedung menjadi prioritas, ketimbang manusia yang menderita. Pemimpin agama-agama belum peka terhadap penderitaan manusia. 

Saya selalu berpikir sederhana saja. Kalau kita bisa bangun gedung-gedung mewah, mengapa kita tidak bisa menolong sesama umat manusia yang menderita. Mengapa banyak derma kita gunakan untuk membangun gedung ketimbang membantu mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki uang semester? Banyak orang harus rela menjual tubuhnya untuk bisa makan dan minum dan untuk bisa sekolah. Kita tidak menolong mereka. Kita justru memberikan stigma buruk dan menghakimi mereka. 

Sudah empat hari ini, kita belajar tentang mengelola keberagaman dan perbedaan. Intinya, kita saling mengenal, saling memahami dan saling membantu satu sama lain. Kita berjuang memulai suatu cara pikir dan cara hidup yang baru. Kita mau hidup dalam konteks dan realitas hidup kita. Bahwa masyarakat di sekitar kita adalah ruang bagi kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, sekecil apa pun itu. 

Realitas sosial, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dan pemerkosaan terhadap harkat dan martabat manusia harus sudah semestinya menggugah hati kita untuk melakukan perubahan. Kita tidak bisa tinggal diam dan mengatakan bahwa itu bukan urusan kita. Kemiskinan dan ketidakadilan harus dilawan. 

Sebagai calon pemimpin umat, kita sedang disiapkan untuk menjadi pemimpin yang memiliki jiwa melayani. Kita dipanggil dan diutus untuk melayani. Apa pun agama dan budaya kita, pelayanan mutlak dilakukan, tanpa kecuali. Kalau kita menjadi pemimpin saja tidak cukup. Kita harus melayani umat manusia, tanpa memandang siapa dia.

Acapkali, kita tinggal di tempat-tempat mewah dan melupakan umat. Kita mengatakan bahwa mereka adalah umat kita, tetapi saat mereka mengalami penderitaan, kita menutup diri terhadap penderitaan mereka. Saat umat mengalami penderitaan dan datang, kita justru menolak mereka. Kalau kita sudah menolak mereka, ke manakah mereka mengadukan penderitaan mereka? Mereka mau berharap kepada siapa?

Perjumpaan kita ini merupakan rahmat, anugerah sang Pencipta. Kita belajar  melatih kepekaan hati nurani kita. Kita belajar mengasah kemampuan untuk peka terhadap penderitaan sesama. Dalam hidup kita, bukan soal kita tidak memiliki sesuatu untuk menolong sesama, tetapi kita tidak menyediakan ruang dan waktu dalam hati kita untuk menolong sesama. Kita punya hati membeku dan tidak peka terhadap penderitaan sesama. Kita tidak mau sibuk menolong sesama. Kita mau cari aman untuk diri kita sendiri. 

Kita harus berubah. Perjumpaan ini mengingatkan kita pertama-tama tentang martabat kita sebagai manusia yang berakal budi dan berhati nurani. Saya suka pada refleksi Emanuel Levinas. Dia bilang, “Saya merupakan sesama yang lain.” Sesama itu bukan orang lain, tetapi merupakan representasi dari hidup saya sendiri. Kalau kita menerima sesama sebagai bagian dari hidup kita, maka sudah semestinya kita berlaku adil terhadap sesama. Kita tidak bisa membiarkan mereka menderita. Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa kita makhluk sosial, tetapi kita membiarkan sesama menderita. Kita harus menolong sesama.

Kita berbeda. Kita memiliki perbedaan adat, budaya, agama, refleksi, pemikiran dan lain sebagainya. Apa pun perbedaan, kita tetap manusia. Kita adalah makhluk individu, tetapi juga makhluk sosial. Kita tidak bisa terlepas dari sesama. Coba kita bayangkan, kita hidup sendiri di satu ruang kosong. Apa arti hidup kita? Kita seperti ruang itu, hampa. Kita kosong di ruang kosong, tanpa makna. 

Melalui perjumpaan ini, kita diundang untuk menjadi pemimpin yang siap melayani, bukan dilayani. Kita dipanggil dan diutus untuk menjadi pelayan. Melayani menjadi bagian integral hidup kita, yang menamakan diri sebagai manusia. Kalau kita hanya memikirkan diri sendiri, apa bedanya kita dengan makhluk lain? Bahkan makhluk lain yang tidak berakal budi dan berhati nurani saja, mereka saling menolong, bekerja sama satu terhadap yang lain. Kisa bisa belajar dari semut atau rayap. Kita bisa belajar dari madu. 

Kita hidup di tengah realitas sosial. Kita perlu masuk ke dalam realitas itu. Kita tidak boleh menutup diri. Saat ini, kita menyaksikan gap sosial yang sangat tinggi. Orang-orang kaya membentengi diri mereka dengan rumah mewah bertembok tinggi. Mereka melupakan sesamanya yang miskin dan menderita. Kita juga sering berlaku seperti itu. Kita menutup ruang-ruang dalam diri kita terhadap sesama yang menderita. Kita tidak berani membuka diri. Kita tidak mau dianggu. Kita mau mencari aman untuk diri kita sendiri. 

Melalui perjumpaan ini, kita diingatkan untuk berbela rasa dengan sesama, terutama mereka yang menderita. Kita perlu membangun semangat solidaritas dan  kesetiakawanan sosial. Penderitaan sesama harus menjadi bagian dari penderitaan kita. Kita harus peka. Kita harus berubah. Perubahan itu dimulai dari dalam diri kita. Kita adalah agen perubahan. Kita harus memulai perubahan ke arah yang lebih baik. [Rumah Retret Savelberg, 28 Januari 2016, pukul 22.30 WIT]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun