Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjumpaan, Kisah dan Refleksi Kegiatan Institut Dian/Interfidei dan Teolog Muda Papua

5 Februari 2016   11:19 Diperbarui: 5 Februari 2016   12:24 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, Selasa, 26 Januari 2016, matahari terbit, menyinari kota Jayapura dan sekitarnya. Cuaca cerah. Angin pagi mengiringi kawanan pemuda yang sedang belajar tentang keberagaman dan toleransi di masyarakat Papua

Hari ini merupakan hari kedua. Pukul 08.20 WIT, acara diawali dengan doa yang dipimpin oleh Delila Felle, peserta dari STAKPN Burere, Sentani. Selanjutnya, Wariben Wenda dari STT Baptis membawakan review singkat. Acara dilanjutkan dengan penjelasan dari Ibu Elga tentang rencana mengunjungi komunitas. Saya diberikan kesempatan untuk membagi kelompok. Hasilnya, ada tiga kelompok yang akan pergi ke komunitas Adven di Sentani, komunitas Majelis Muslim Papua (MPP) di Padang Bulan dan komunitas Lembaga Dakwa Islam Indonesia (LDII) di Entrop. Kelompok yang akan mengunjungi komunitas Adven dibatalkan karena sedang sibuk berkegiatan. Kelompok yang semula akan ke komunitas Adven berbaur dengan dua kelompok lainnya. 

Sebelum ke komunitas-komunitas, peserta membagikan pengalaman mereka saat kunjungan ke mesjid Nurul Huda, Ekspo, Waena. Tampak bahwa setelah kunjungan semalam para peserta mengalami perubahan cara berpikir. Sebelumnya, peserta yang didominasi oleh pemuda Kristen belum pernah menginjakkan kaki di mesjid, tetapi melalui kunjungan ini mereka bisa bertemu dengan para uztad. Para peserta menyadari bahwa perjumpaan, interaksi dan dialog merupakan kunci untuk meretas toleransi. Melalui perjumpaan terjadi interaksi dan dialog. Perjumpaan semacam ini akan mendatangkan berbagai keprihatinan dan aksi kemanusiaan yang dapat dilakukan secara bersama. 

Para peserta juga mengakui bahwa konflik agama seringkali terjadi karena adanya unsur politisasi terhadap agama-agama. Agama dipakai oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan diri mereka sendiri. Politisasi agama menjadi sumber konflik antara umat beragama. Oleh karena itu, semua pihak harus kembali ke hakikat ajaran agamanya, yang selalu mengajarkan kasih dan damai kepada semua makhluk.  

Selanjutnya, Bapa Hardus Desa memberikan arahan kepada para peserta yang akan berkunjung ke komunitas MMP dan LDII. Para peserta diminta untuk mendengarkan dan belajar dari apa yang didengarkan. Selain itu, saat perjumpaan nanti, peserta menyampaikan maksud dan tujuan serta pertanyaan yang sesuai dengan proses yang sedang dijalani ini. “Kalian memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan kehadiranmu dan belajar untuk mengenal secara lebih dekat dengan komunitas yang kalian kunjungi,” ungkapnya. 

Pukul 10.23 WIT, kelompok yang mengunjungi LDII berangkat ke Entrop. Ibu Elga, Bapa Hardus dan Reta ikut ke sana. Pukul 10.45 WIT, saya dan teman-teman kelompok berangkat ke MMP di kantor Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP). Kami tiba di kantor AlDP, ada abang Hamim. Beliau menerima kami dengan ramah. Kami menunggu kehadiran Bapa Thaha Al Hamid. 

Pukul 11.39 WIT kami memulai percakapan. Ketua kelompok, Wariben Wenda membuka percakapan. Ia menjelaskan bahwa maksud kehadiran kami adalah hendak bertukar pengalaman dan mengetahui keberadaan dan peran Majelis Muslim Papua (MMP) dalam upaya membangun perdamaian di Papua. Bapa Thaha Al Hamid menyambutnya dengan senang hati. 

Bapa Thaha Al Hamid menjelaskan bahwa dirinya bukanlah pengurus MMP. Ketua MMP adalah Bapa Robie A, anggota MRP Papua Barat. Sekjennya adalah Ibu Latifah Anum Siregar. Tetapi, beliau merupakan salah satu inisiator lahirnya MMP. “MMP lahir sebagai reaksi atas situasi konflik Ambon dan situasi politik serta keamanan di Papua. Semula bernama Solidaritas Muslim Papua. Pada muktamar pertama tahun 2007, diganti menjadi Majelis Muslim Papua,” ungkapnya. 

MMP menjadi rumah bersama untuk Papua. MMP menganut prinsip dialogis, toleran, rahmatan lil alamin dan moderat. “Siapa saja bisa datang dan masuk ke rumah MMP yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip dasar MMP,” ungkapnya. Ia menjelaskan bahwa setiap manusia, siapa pun wajib dan patut berperilaku baik, amal saleh dan melakukan karya kemanusiaan untuk siapa saja. “Bukan soal casing, tapi soal substansi,” jelasnya. 

Ia menjelaskan bahwa seringkali, hubungan agama-agama menjadi rusak karena orang tidak tahu dan juga minim komunikasi di antara para pemeluk agama. “Agama itu bukan identitas. Adat itulah identitas kita. Di dalam Islam diajarkan bahwa, ‘bagimu agamamu adalah agamamu, dan agamaku adalah agamaku. Setiap orang bebas memeluk agama, tanpa paksaan apa pun,” ungkapnya. 

Percakapan dengan Bapa Thaha Al Hamid mengalir bagaikan air dari pegunungan menuju dataran rendah. Ia memberikan inspirasi dan semangat kepada para calon pemimpin umat di tanah Papua. Melalui perjumpaan singkat ini, para teolog muda Papua diundang untuk memberikan diri, melayani sesama tanpa batas dan tanpa memandang latar belakang suku, adat, budaya dan agama. Semua manusia perlu diterima, dihormati dan dilayani. 

Pukul 14.15 WIT kami mengakhiri perjumpaan kami dengan Bapa Thaha. Kami foto bersama. Sesudahnya, kami kembali ke tempat kegiatan di Waena. Saat kami tiba, kelompok yang mengunjungi jemaah LDII belum tiba. Beberapa saat kemudian baru mereka tiba.

Peserta melanjutkan aktivitas dengan merangkum hasil perjumpaan tadi dalam bentuk power point. Setelah snack sore, pukul 16.15 WIT peserta kembali ke ruang pertemuan. Ibu Elga memimpin permainan sederhana untuk mengajak para peserta saling mengenal dan mengingat nama masing-masing. Pukul 16.43 WIT kelompok MMP mempresentasikan hasil rangkuman yang telah dibuat. Demikian halnya, kelompok LDII juga melakukan hal yang sama.

Ibu Elga memberikan penegasan terhadap hasil laporan tersebut. Bahwa agama-agama lahir dalam konteks tertentu. Dan bahwa perbedaan adalah sunatullah, anugerah Allah dan sekaligus rahmatan lil alamin, shalom, damai sejahtera bagi manusia dan alam semesta. 

Malam hari, pukul 19.30 WIT peserta kembali berkumpul untuk melakukan evaluasi, refleksi dan doa malam bersama. Pada kesepatan evaluasi ini peserta minta supaya setiap kegiatan dilakukan tepat waktu. Selesai evaluasi Ibu Elga kembali menegaskan bahwa seluruh proses ini adalah proses orang dewasa sehingga setiap peserta harus bertanggung jawab. “Kita tidak perlu time keeper, ketua kelas. Kita coba atur diri,” ungkapnya. 

Refleksi akhir hari ini dibawakan oleh Yusuf Roni. Ia bersyukur bisa mengikuti kegiatan ini dan mendapatkan banyak pengalaman baru terkait keberagaman dan perbedaan terutama dengan Islam. Selesai refleksi dilanjutkan denga nonton bersama film, “Invictus” yang berkisah tentang perjuangan Nelson Mandela dalam melawan politik apartheid di Afrika Selatan. Pukul 22.45 WIT, film berakhir dan peserta beristirahat. 

 

Catatan refleksi

Pada dirinya manusia berbeda dalam banyak aspek. Bentuk fisik, adat, budaya, bahasa, agama, daya refleksi dan intelektual setiap manusia berbeda. Dalam perbedaan itu, masih ada kesamaan. Manusia memiliki martabat manusia yang sama, karena sama-sama memiliki akal-budi dan hati nurani. Di dalam diri setiap manusia, secara kodrati ada kesamaan dan perbedaan. Inilah anugerah dan rahmat terbesar yang manusia peroleh secara cuma-cuma dari sang Pencipta.

Manusia pasti berjumpa dengan sesamanya yang berbeda. Perjumpaan menjadi ruang bagi umat manusia untuk saling mengenal, memahami, menerima dan menghormati. Penerimaan seseorang terhadap sesamanya akan menjadi sangat tulus kalau sudah dikenalnya dengan baik. Meskipun hakikatnya manusia harus saling menerima secara tulus, tetapi dalam praksisnya akan jauh lebih berkesan apabila sudah saing mengenal. Melalui perjumpaan dan perkenalan akrab itulah akan lahir sikap saling menerima secara tulus, tanpa ada dusta lagi. 

Saya gembira hari ini bisa mengunjungi komunitas MMP. Saya dan teman-teman berjumpa dengan Bapa Thaha Al Hamid. Beliau memiliki refleksi sederhana tentang hidup ini, bahwa amal saleh dan kemanusiaan mesti berada di atas segala perbedaan. Adat dan budaya adalah identitas manusia yang perlu dipelihara untuk memanusiakan manusia. Nilai-nilai kemanusiaan yang tertera di dalam adat menjadi inspirasi untuk membangun relasi dan perjumpaan dengan sesama yang berbeda. Perjumpaan sesungguhnya meretas jalan toleransi.

Di dalam perjumpaan setiap manusia yang berbeda saling menyapa, saling memberikan senyuman dan pengharapan. Apa lagi dalam konteks Papua, situasi penderitaan umat manusia, terutama orang Papua, mestinya menggerakan banyak pihak yang berbeda-beda ini untuk berbuat sesuatu, bukan tinggal diam dan menyaksikan penderitaan orang Papua.

Agama-agama, Kristen, Islam, Hindu, dan Budha serta berbagai aliran kepercayaan perlu memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan orang Papua. Proses pendidikan yang tidak berjalan harus menjadi perhatian kita bersama. Pelayanan kesehatan yang tidak berjalan harus menjadi perhatian kita bersama. Infrastruktur dan ekonomi orang Papua yang kian tertinggal harus menjadi perhatian kita bersama. Kita tidak boleh tinggal diam melihat orang Papua menderita. Kita tidak boleh pura-pura buta dan tuli terhadap jerit tangis orang Papua.

Sudah dua hari kita datang, berkumpul, berjumpa dan berbagi pengalaman. Kita saling memberikan informasi tentang siapa kita. Apa adat, budaya dan agama kita masing-masing. Tujuannya, kita saling mengenal, saling menerima dan saling menghormati. Perjumpaan ini menjadi bekal bagi kita untuk bisa bekerja sama dalam melayani umat manusia di tanah Papua ini. Kita saling memberikan dukungan dan motivasi agar umat manusia, khususnya orang Papua yang sedang menderita di tanah ini terlayani dengan baik dan mereka bertumbuh dalam cinta yang besar.

Kita telah meretas rahmat perjumpaan ini. Kita tidak boleh berhenti. Kita harus tetap berjalan di jalan ini, jalan perjumpaan dengan sesama yang berbeda dan beranekaragam ini. Kita tidak boleh takut terhadap perbedaan. Kita tidak boleh alergi terdahap pluralisme budaya dan agama. Justru pluralisme budaya dan agama harus menjadi ruang perjumpaan yang memberikan inspirasi bagi kita untuk memulai gerakan transformasi dan perubahan ke arah yang lebih baik.

Rumah retret Savelberg, Maranata, Waena, Rabu, 27 Januari 2016, pukul 07.41 WIT

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun