Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kembali ke Nama Kita, Orang Hina Dina

6 Januari 2016   02:34 Diperbarui: 6 Januari 2016   08:49 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ironisnya, kita yang menamakan diri pengikut St. Fransiskus Asisi banyak kali meninggalkan identitas kita. Kita mengatakan bahwa kita adalah Saudara, tetapi kita tidak menghayati dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari. Kita menamakan diri orang-orang kecil, orang hina dina, saudara bagi yang dina, tetapi kita tidak hidup sebagai orang hina dina. 

Kita suka berlaku sebagai pejabat, bukan pelayan. Kita suka cerita dan bicara hal-hal yang tidak bernilai. Kita suka cemburu dan iri hati terhadap sesama saudara. Gosip ini dan itu. Padahal, kita adalah saudara. Kita adalah orang hina dina? Apakah pantas kita melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan identitas kita sebagai saudara yang hina dina?

Sebagai pengikut St. Fransiskus Asisi, kita mestinya mengembangkan nilai-nilai yang sudah dilakukan oleh Fransiskus Asisi, hidup sederhana, tanpa cemburu dan iri hati. Saya selalu pikir kenapa orang harus cemburu dan iri hati? Sikap cemburu dan iri hati itu bikin manusia menderita. Gosip itu hanya bikin sesama sakit hati. Tetapi, mengapa harus dilakukan? Mengapa tidak menginvestasikan waktu dengan melakukan perbuatan baik?

Seringkali komunitas dan keluarga-keluarga hancur berantakan dan orang tidak baku senang hanya karena cemburu, iri hati dan gosip. Komunitas dan keluarga-keluarga hancur karena orang tidak saling mendengarkan. Masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri. Bahkan orang-orang yang mestinya menjadi panutan, pelayan, pemimpin kepala keluarga justru menjadi sumber kerusakan ini. Kebijaksanaan semu dalam komunitas dan keluarga merusak hidup bersama. 

Saya berefleksi bahwa akar dari semua itu adalah kesombongan. Orang sombong karena merasa diri pemimpin, pelayan, kepala keluarga, sehingga seenaknya saja bikin kebijakan ini dan itu. Bahkan kebijakan yang tidak menyelamatkan jiwa sesama saudaranya pun harus dipatuhi karena jabatannya sebagai pemimpin dan kepala keluarga. Kalau keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas modelnya seperti ini, apa yang kita mau wartakan tentang semangat St. Fransiskus Asisi? Kalau cemburu, iri hati dan gosip menguasai hati dan pikiran kita, apa yang kita mau berikan sebagai kesaksian hidup kita yang menamakan diri pengikut St. Fransiskus Asisi?

Perjumpaan para saudara hari ini di rumah Sdr. Kornelis Logo memberikan harapan baru bahwa kita mesti bersatu, saling mengasihi, saling menolong tanpa memandang latar belakang suku, adat dan budaya. Kita adalah saudara. Kita adalah orang hina-dina. Apa yang kita mau cari dari dunia ini? Kita hanya boleh mencari kebenaran Allah. Itu kita temukan dalam diri Yesus dan Fransiskus Asisi. Kita harus meneladan cara hidup St. Fransiskus Asisi, yang bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan pun disapanya sebagai Saudara. Kalau hewan dan tumbuhan saja Saudara, apa lagi sesama manusia?

Untuk menjadi Saudara yang hina dina, kita harus berani meninggalkan sikap cemburu, iri hati, suka gosip dan sombong. Kita harus membangun semangat solidaritas di antara kita. Jangan sampai sesama yang tidak pernah mengenal St. Fransiskus Asisi, justru lebih menghayati dan melaksanakan semangat hidup St. Fransiskus Asisi ketimbang kita yang puluhan tahun hidup di biara para saudara dina. Karena itu, mulai saat ini, bersama St. Fransiskus Asisi kita berjuang menjadi saudara yang baik untuk semua makhluk. Semoga identitas kita sebagai orang hina-dina membantu kita untuk mengasihi sesama tanpa pamrih. Semoga identitas kita sebagai orang hina-dina membantu kita untuk melepaskan sikap cemburu, iri hati, suka gosip dan sombong. Semua itu, kita lakukan demi hidup kita sendiri, demi sesama saudara, demi alam semesta dan demi kemuliaan-Nya.

Bersama St. Fransiskus Asisi, mari kita mulai lagi, sebab sampai saat ini, kita belum berbuat apa-apa. [Abepura, 4 Januari 2015, pukul 07.51 WIT]. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun