Hari ini, Selasa, 08 Desember 2015 segenap rakyat Papua memperingati satu tahun tragedi kemanusiaan di Paniai. Setahun silam, empat pemuda yang masih berstatur pelajar ditembak mati di lapangan Karel Gobay, Paniai. Puluhan lainnya mengalami luka tembak. Setahun sudah berlalu, tetapi tragedi tersebut belum terselesaikan.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, para aktivis dan mahasiswa menggelar ibadah, diskusi, drma dan pembacaan puisi yang berlangsung di aula St. Yoseph, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura. Acara dimulai dengan ibadah bersama yang dipimpin oleh Fr. Fredy Pawika OFM, dari Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP). Dalam renungannya, ia mengajak segenap umat manusia, khususnya rakyat Papua untuk membangun solidaritas dan melawan praktek-praktek ketidakadilan. “Kita harus memiliki perasaan senasib karena mengalami perlakuan yang sama sebagai orang tertindas. Penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah panggilan universal manusia tanpa kecuali. Kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kedamaian bagi umat manusia. Kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, perampasan tanah adat, pembunuhan umat manusia atas nama keamanan dan pembangunan harus dilawan. Kita ditantang untuk menentukan pilihan, apakah kita mau berpihak pada kekuasaan dan kekuatan yang tidak adil atau berpihak pada kebenaran dan keadilan?” ungkapnya.
Dalam sesi diskusi, salah satu aktivis Beny Mabel mengatakan bahwa saat ini ada pola pembunuhan terhadap anak-anak muda Papua. Misalnya, kasus Abepura tahun 2000, kasus Paniai, kasus Timika. Hal senada diungkapkan oleh Natan Tebay, bahwa sebelum Paniai berdarah ada peristiwa Wagete, pembunuhan terhadap Donatus Mote. “Waktu itu kami wawancara yang sekarang jadi Kapolres Jayawijaya. Dia bilang ini suatu tanda peringatan supaya ke depan anak-anak muda tidak melakukan aksi-aksi yang mengganggu Kantibmas.” Ia juga menjelaskan bahwa pola lain adalah anak-anak diajar untuk membakar hutan, mencuri, membunuh sesama dan lain-lain.
Teko Kogoya, koordinator Forum Mahasiswa Independen (FIM) yang selama ini bersama SKP HAM melaksanakan advokasi kasus Paniai berdarah mengatakan bahwa alasan Komnas HAM bahwa tidak ada dana dan harus otopsi itu alasan yang mengada-ada. Ia berharap perjuangan selama ini tidak melemah. Dirinya juga menyampaikan terima kasih kepada para pastor, frater, SKP HAM, para mahasiswa, SKPKC Fransiskan, Kontras, BUK, PMKRI yang sudah terlibat aktif dalam advokasi selama ini. Sementara itu, koordinator SKP HAM Papua, Peneas Lokbere mengajak segenap komponen masyarakat untuk bersatu memperjuangkan kebenaran dan keadilan di atas tanah Papua. “Untuk tanggal 10 Desember 2015, kita akan melaksanakan aksi diam. Titik kumpul di lingkaran Abepura dan menuju ke taman Imbi, Jayapura. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperingati berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini terjadi di tanah Papua,” ungkapnya.
Acara pun dilanjutkan dengan pembacaan puisi diiringi musik instrumen. Puisi berjudul, “Haruskah Paniai Tetap Kelabu dan Abu-Abu?” diciptakan dan dibacakan Fr. Alexandro Rangga OFM. Puisi ini berkisah tentang belum jelasnya pengungkapan kasus Paniai berdarah. Padahal, peristiwa itu merenggut nyawa para pelajar Papua dan juga melukai puluhan orang.
Pada sesi terakhir acara ini digelar konferensi pers, yang dipimpin oleh Pastor Paul Tumayang OFM, dari SKPKC Fransiskan Papua, Peneas Lokbere dari SKP HAM Papua dan Teko Kogoya dari Forum Mahasiswa Independen. Adapun isi konferensi pers itu adalah:
- Bapak presiden Republik Indonesia memenuhi janjinya terhadap rakyat Papua, yang disampaikan pada perayaan Natal nasional, 27 Desember 2014, di lapangan Mandala terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM di Paniai, 8 Desember 2014.
- Bapak presiden Republik Indonesia memerintahkan Komnas HAM segera mendorong KPP HAM yang sudah dibentuk untuk melaksanakan proses hukum terhadap para pelaku penembakan di Paniai pada 8 Desember 2014.
- Komnas HAM RI jangan menjadikan otopsi dan kekurangan dana sebagai alasan untuk tidak memproses pelaku penembakan di Paniai pada 8 Desember 2014.
Catatan refleksi
Tidak terasa, kasus Paniai berdarah sudah satu tahun. Selama satu tahun ini, Gereja, para aktivis dan lembaga swadaya masyarakat berjuang untuk mengungkap kasus penembakan yang menewaskan empat pelajar dan melukai puluhan orang lainnya itu. Di tengah ketidakpastian hukum di negeri ini, suara mencari kebenaran dan keadilan bagi para korban penembakan di Paniai tetap bergema. Solidaritas untuk penembakan di Paniai dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya di Papua tetap berjalan.
Presiden Jokowi sudah meminta maaf dan berjanji menutaskan kasus Paniai. Jokowi mengungkapkannya saat berpidato pada perayaan Natal nasional di lapangan Mandala, Jayapura, pada 27 Desember 2014 silam. Janji itu sudah satu tahun, tetapi kasus Paniai belum ada titik terang. Kini, rakyat Papua masih menunggu janji Jokowi.