Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aceh Singkil, Gereja Dibakar Semua Membisu

17 Oktober 2015   06:52 Diperbarui: 4 April 2017   18:22 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, 16 Oktober 2015, pk 14.30 WIT, saya pulang dari kampung Meukisi, dikstrik Yokari, kabupaten Jayapura. Saat sampai di dermaga Depapre, ada sinyal sehingga saya coba hidupkan hand phone. Setelah beberapa saat, saya bisa baca berita media online. 

Saya terkejut ketika melihat berita tentang kekerasan, penyerangan dan pembakaran gereja di kabupaten Aceh Singkil. Ternyata peristiwa itu sudah terjadi sejak tanggal 13 Oktober 2015. Ada dua gereja dibakar massa, yang berasal dari pemuda peduli Islam (PPI). Selain dua gereja, kerusuhan ini menyebabkan tewasnya satu warga dan empat lainnya mengalami luka-luka. 

Sebelum pembakaran gereja dilakukan, pada Senin, 12 Oktober 2015 sudah ada pembicaraan di kalangan pemerintah daerah kabupaten Aceh Singkil terkait penutupan dua puluh satu gereja, yang selama ini dipermasalahkan lantaran tidak memiliki ijin. Hanya sehari setelah pertemuan itu, tanggal 13 Oktober 20115, pukul 11.00 WIT massa melakukan pembakaran terhadap gereja. Penutupan gereja dianggap sah karena pada tahun 1979 sudah ada kesepakatan antara pemerintah kabupaten Aceh Singkil, para pemuka agama Islam dan kristiani terkait pendirian gereja. Waktu itu, umat kristiani hanya boleh memiliki  satu gereja dan empat undung-undung. Bukan itu saja, pemerintah provinsi Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang pedoman pendirian rumah ibadah, yang isinya sangat diskriminatif. Pergub inilah yang menjadi pemicu aksi penutupan dan pembakaran gereja di wilayah provinsi Aceh.

Kembali ke pembakaran gereja di kabupaten Aceh Singkil. Sebenarnya, pihak pemerintah daerah dan aparat keamanan sudah tahu bahwa tanggal 13 Oktober 2015 akan ada aksi pembakaran gereja di Singkil. Ironisnya, tidak ada upaya pencegahan. Pemerintah kabupaten Aceh Singkil diam. Pemerintah provinsi Aceh diam. Bahkan pemerintah pusat juga anggap biasa saja. Negara membiarkan gereja di Singkil dibakar massa.

 

Jika pemerintah serius mau mencegah kerusuhan dan pembakaran gereja, maka seharusnya aparat keamanan siap-siaga di titik-titik yang terdeteksi bakal terjadi kerusuhan, sehingga bisa mencegah massa yang akan melakukan pembakaran gereja. Kenyataannya, aparat keamanan tidak ada di sana. Kalaupun ada tidak sebanding dengan massa. Kapolri mengatakan bahwa setiap gereja hanya dijaga oleh 20 orang polisi. Jumlah ini tidak sebanding dengan massa yang mencapai lebih dari 500 orang di setiap gereja.

Gereja dibongkar dan dibakar karena tidak memiliki ijin. Pertanyaannya, “Bagaimana ada ijin, kalau pihak pengurus gereja mengajukan ijin mendirikan bangunan untuk gereja, tetapi tidak diberikan ijin?” Bupati kabupaten Singkil, Safriadi mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan 1979 dan 2001 tentang membangun gereja di Singkili. Waktu itu disepakati satu gereja dan empat undung-undung. Kini sudah ada 23 undung-undung. Keadaan inilah yang menimbulkan gejolak.

Refleksi

Indonesia dibangun di atas dasar Pancasila dan UUD 1945. Bukan itu saja, semboyan Bhineka Tunggal Ika merekatkan keragaman agama, budaya, suku dan adat-istiadat. Setiap manusia (warga negara) yang tinggal di wilayah NKRI berhak mendapatkan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Salah satunya adalah berhak menjalankan kewajiban agamanya (beribadah)  di mana pun dia tinggal (menetap) di wilayah NKRI. 

Kini, Pancasila dan UUD 1945 serta Bhineka Tunggal Ika mulai pudar. Negara Indonesia kalah terhadap tirani mayoritas. Indonesia kalah terhadap dominasi Islam. Padahal, negara ini didirikan bukan di atas dasar mayoritas Islam, apa lagi minoritas. Negara Indonesia didirikan di atas dasar Pancasila. Negara wajib menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya, tanpa rasa takut. 

Peristiwa pembakaran gereja di kabupaten Aceh Singkil memperlihatkan dengan jelas dan terang-benderang bahwa negara tidak hadir bagi umat Kristen yang adalah minoritas di Indonesia. Negara justru berlindung di belakang tirani mayoritas Islam dan berkolaborasi menindas kaum minoritas. Kalau negara adil, maka peraturan-peraturan agama yang mengabaikan sesama yang berbeda agama dan budaya harus ditolak, bukan sebaliknya dilindungi oleh negara. Misalnya, kesepakatan 1979, 2001 dan juga Pergub 25/2007 jelas-jelas menyudutkan umat Kristen, mengapa negara diam dan membiarkannya? Mengapa negara tidak ambil sikap untuk membatalkan aturan diskriminatif itu?

Indonesia bukan negara Islam. Indonesia milik segenap warga Indonesia yang beranekaragam agama, budaya, suku dan adat-istiadat. Setiap pribadi memiliki hak untuk beribadah secara bebas, tanpa tekanan. Negara perlu memberikan jaminan. Peristiwa Singkil menunjukkan bahwa negara tidak adil. Bahkan umat Islam di kabupaten Aceh Singkil sangat diskriminatif. Apakah Allah hanya menciptakan umat Islam dan memberikan bumi ini hanya untuk orang Islam? Kalau kita percaya hanya ada satu Allah Pencipta, yang menciptakan alam semesta, langit dan bumi serta manusia, mengapa harus saling membenci? Bukankah Islam itu rahmat untuk semua makhluk? 

Saya teringat peristiwa Tolikara 17 Juli 2015, waktu musala di Tolikara terbakar, semua pejabat negara angkat bicara. Bahkan para menteri dan pejabat negara lainnya pergi ke Tolikara. Musala yang terbakar, dalam waktu sekejap berubah jadi mesjid besar. Kini, peristiwa Singkili, semua diam membisu. Pemerintah pusat diam-diam saja. Pemerintah pusat tidak bereaksi seperti waktu di Tolikara. Di sini, kita dapat lihat bahwa negara Indonesia benar-benar tidak adil. Seakan-akan kalau gereja dibakar itu biasa saja, bahkan seakan-akan gereja boleh dibakar. Sebaliknya, kalau musala terbakar itu akan menjadi bencana nasional. Di sinilah letak paradoksal antara Pancasila dan tirani mayoritas Islam di Indonesia. 

Saya berharap pemerintah Indonesia perlu tegas melindungi kebebasan beragama di Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 harus ditegakkan. Bhineka Tunggal Ika harus dihidupkan. Semangat pluralisme harus ditanamkan sejak dini. Setiap pihak yang berupaya menghalangi kebebasan beragama harus diberikan sanksi sosial dan hukuman formal. Negara harus hadir untuk semua warga negara tanpa kecuali. [Abepura, 17 Oktober 2015; pk 08.26 WIT]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun