Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tolikara dan Musala

22 Juli 2015   06:38 Diperbarui: 22 Juli 2015   06:38 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam Tolikara, 17 Juli 2015 menjadi saksi bisu peristiwa memilukan. Ada perhelatan pemuda GIDI. Ada pula sholat Idul Fitri. Lokasinya berdekatan. Insiden saling cecok tidak terelakan, berujung pada hilangnya nyawa manusia dan terbakarnya pasar dan musala. Manusia juga yang menderita. 

Peristiwa ini semakin riuh tatkala berita simpang-siur ditampilkan di media massa dan jejaring sosial. Apa lagi adanya surat edaran dari pengurus GIDI bernomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015. Surat ini cepat sekali beredar di media sosial. Apakah benar surat ini asli? Belakangan, pihak GIDI klarifikasi bahwa mereka tidak mengeluarkan surat tersebut. Lalu, siapa sebenarnya yang bikin surat ini? Belum diketahui. Semoga polisi bisa usut sampai tuntas dan menangkap dalangnya.

Kerusuhan di Tolikara itu bencana kemanusiaan. Manusia menderita karena ulah provokator yang ingin menciptakan kerusuhan di antara sesama umat manusia. Kerusuhan di Tolikara tidak ada kaitannya dengan masalah suku, ras dan agama. Peristiwa itu dipicu oleh salah paham, yang berujung pada penembakan terhadap orang Papua yang saat itu protes. Mereka protes karena sebelumnya mereka sudah ingatkan supaya sholat Idul Fitri dilakukan di ruangan tertutup dan tanpa pengeras suara. Artinya, sholat Idul Fitri tetap dilaksanakan, tetapi cukup di dalam ruangan. Hal ini karena pemuda GIDI sedang melaksanakan seminar KKR. 

Terlepas dari peristiwanya, saya punya refleksi berbeda. Saya yakin ada pihak yang menyulut api permusuhan itu. Selama ini antara orang Tolikara nasrani dan kaum pendatang Islam hidup rukun dan damai. Tetapi mengapa tiba-tiba ada kejadian semacam ini? Apa dan siapa yang bermasalah sehingga memicu peristiwa ini? 

Tolikara bikin heboh. Saya lihat reaksi spontan dari seluruh rakyat Indonesia yang berlebihan. Ada yang mau angkat senjata untuk perangi umat nasrani dan bakar gereja. Apa untungnya? Kalangan aktivis dan LSM mengecam peristiwa itu. Gereja-gereja bikin pertemuan dan keluarkan sikap dan pernyataan. Hal ini berbanding terbalik dengan ratusan gereja yang dibakar dan ditutup di negara Indonesia ini. Semua diam membisu. Ke manakah aktivis dan LSM? Di manakah NU dan Muhammadiyah? Seakan-akan kalau gereja dibakar itu wajar. Inikah toleransi kita? Toleransi pamrih dan bersyarat. Toleransi dalam bingkai tirani mayoritas!

Saya orang Katolik, tetapi mengagumi Islam. Saya selalu bilang pada kawan-kawan saya yang muslim, ingat Islam itu: ‘rahmatan lil alamin’. Islam itu rahmat untuk semua. Islam itu indah untuk semua. Reaksi spontan yang diberikan oleh sebagian umat muslim terhadap kasus Tolikara menurut saya berlebihan, bikin saya prihatin dan sedih. Sebab, Islam itu agama damai, bukan agama balas dendam. Jangan sampai nilai-nilai kebaikan universal dalam Islam dirusak oleh sikap fanatisme sempit.

Semua orang harus buka mata. Sehari setelah kejadian itu, 18 Juli 2015, pimpinan Gereja di Papua menyatakan sikapnya untuk meminta maaf atas kejadian di Tolikara, termasuk ikut terbakarnya musala. Tanggal 21 Juli 2015, atau hanya lima hari setelah kejadian itu, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo aKumolo datang ke Tolikara. Di sana beliau didampingi bupati meletakkan batu pertama pembangunan musala itu. Apakah peristiwa ini pernah terjadi di wilayah lain di Republik Indonesia ini? Apakah pernah ada konferensi pers dari kalangan Islam untuk minta maaf tatkala gereja dibakar? Apakah ada pejabat negara ini yang langsung turun ke lokasi dan meletakkan batu pertama pembangunan gereja usai dibakar? Sejauh yang saya tahu, belum ada. 

Bagaimana dengan korban yang mati ditembak? Apakah dia bisa hidup kembali? Tidak! Apakah korban luka tembak akan pulih total? Tidak! Musala bisa dibangun. Kios-kios bisa dibangun, tetapi manusia tidak bisa ditukar dengan apa pun. 

Saya tidak tahu, apakah korban penembakan yang mati dan luka-luka dapat santunan yang wajar? Ataukah mereka akan dibiarkan karena dicap sebagai pengacau? Di manakah keadilan untuk mereka? 

Saya hendak mengajak segenap umat manusia, apa pun budaya, adat, suku dan agamanya, supaya melihat permasalahan Tolikara secara berimbang. Jangan hanya menyudutkan orang Papua. Jangan hanya menyudutkan orang nasrani. Sekali lagi, ini bukan persoalan budaya, adat dan agama. Ini persoalan kesombongan manusia, yang menganggap dirinya dan komunitasnya lebih hebat dari yang lain. 

Peristiwa Tolikara mengajarkan bahwa tirani mayoritas bikin sengsara manusia. Ketidakadilan struktural bikin manusia menderita. Provokator bikin manusia menderita. 

Pengampunan dan minta maaf adalah jalan menuju hidup yang sesungguhnya, hidup dalam damai dan sukacita bersama, tanpa memandang asal-usulnya [kamp cina, 22 Juli 2015; pk 08.30 WIT].

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun