[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Anak-anak Papua menyebrang Jembatan. Ilustrasi/Admin (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)"][/caption]
Wajah pendidikan dasar di tanah Papua tampak surut. Aneka permasalahan, mulai dari minimnya fasilitas, guru malas mengajar, anak-anak ikut orang tua ke dusun masih terus berlanjut. Dalam situasi seperti ini, tahun politik 2014 ternyata menambah deret panjang penderitaan anak-anak usia sekolah dasar. Anak-anak SMP, yang seyogianya datang ke sekolah untuk menerima pendidikan, justru harus melipat kertas suara Pemilu legislatif, yang tinggal beberapa hari lagi. Pemandangan ini nyata terjadi di Wamena-Papua.
Peristiwa para siswa SMP di Wamena melakukan aktivitas melipat surat suara Pemilu legislatif terjadi pada Selasa, 11 Maret 2014 – Rabu, 12 Maret 2014. Ada tiga SMP yang teribat yakni SMP Negeri 1 Wamena, SMP Negeri 2 Wamena dan SMP YPK Betlehem. Harian Cenderawasih Pos memuat pernyataan salah satu anggota KPUD Kabupaten Jawawijaya, Efendi Pakpahan menyatakan bahwa pihaknya telah mengirim surat kepada ketiga sekolah tersebut, dan akan berkoordinasi agar para guru mengawasi proses pelipatan surat suara tersebut. Proses pelipatan surat suara ini dikawal oleh aparat kepolisian dari Polres Jayawijaya (Cepos, Selasa, 11/3, hal 12: “di wamena pelipatan surat suara mulai dilakukan).
Pada hari Rabu, 12 Maret 2014, informasi disertai foto aktivitas pelipatas surat suara yang melibatkan para siswa muncul di akun FB milik Asrida Elisabet. Ia mendapatkan foto tersebut dari seorang guru yang sengaja mengambil gambar dan mengirim kepadanya.
Bagi sebagian masyarakat, pemandangan ini merupakan hal biasa, karena hanya menyita beberapa jam pelajaran. Selain itu, para siswayang terlibat dalam kegiatan pelipatan surat suara, menerima uang sesuai jumlah surat suara yang dilipat. Apa lagi proses ini diawasi oleh para guru dan polisi.
Situasi ini memperlihatkan pihak KUPD Kabupaten Jayawijaya dan para guru pada ketiga sekolah kurang menghormati proses pendidikan yang sedang dijalani para siswa. Sekolah sebagai tempat mendidik anak-anak, baik dari aspek spiritual maupun intelektual dicemari oleh kepentingan politik tertentu, yang mengatasnamakan demi kelancaran pesta demokrasi. Kejadian ini sesungguhnya merupakan masalah serius bagi dunia pendidikan di Wamena dan tanah Papua. Institusi pendidikan dasar menjadi tempat praktek pelanggaran negara terhadap hak asasi para siswa untuk menerima pendidikan.
Demikian halnya, profesi guru yang mulai, yang bertugas mendidik dan mencerdaskan anak-anak justru diredusir sedemikian rendah: ‘mengawasi proses pelipatan surat suara Pemilu.’ Dan lebih menyedihka, aparat kepolisian sebagai pihak penegak hukum, justru melegalkan dan mengawal proses pelipatan surat suara yang dilakukan oleh anak-anak SMP. Ini adalah penghinaan terhadap institusi pendidikan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Sesungguhnya, KPUD Kabupaten Jayawijaya telah melanggar hak asasi manusia karena dengan sadar mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Institusi negara penyelenggara Pemilu ini tidak patut dicontoh. Bahkan perlu diberi peringatan serius, karena telah mengabaikan hak dasar anak-anak untuk mengeyam pendidikan. KPUD Kabupaten Jayawijaya telah menghalangi tugas dan profesi guru untuk mendidik anak-anak.
Kejadian seperti ini perlu ditangani pihak-pihak berwenang agar ke depan tidak terulang lagi. Jangan lagi ada institusi negara, yang bernama KPU merampas kesempatan belajar anak-anak dan mempekerjakan mereka layaknya buru pabrik. Demikian halnya, aparat kepolisian harus membuka mata dan bisa mencegahnya, agar praktek-praktek pelanggaran hak dasar anak untuk mengenyam pendidikan tidak terulang lagi.
Bukan itu saja, PGRI Kabupaten Jayawijaya sebagai wadah profesi guru perlu melayangkan surat teguran kepada KPUD Kabupaten Jayawijaya dan memanggil para kepala sekolah yang terlibat dalam proses pelipatan surat suara Pemilu ini.
Sesungguhnya, peristiwa ini telah mencoreng wajah pendidikan dasar di tanah Papua, secara khusus di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Anak-anak dirugikan. Profesi guru dihina.
Anehnya, masyarakat menerima kejadian ini sebagai sesuatu yang biasa. Rupanya, nurani dan kepekaan sosial sedang berada di ambang kehancuran, bahkan sedang bergerak menuju titik nol
[abepura, 14 maret 2014; pk20.45 wit].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H