Orang Papua sudah diambang kepunahannya. Perlu keseriusan setiap pihak untuk menyelamatkannya. Namun, upaya apa pun yang dilakukan untuk menyelamatkan orang Papua, perlu melibatkan orang Papua. Mereka harus sadar akan situasi yang sedang dialaminya. Mereka harus memulai perubahan itu dari dalam diri mereka sendiri.
Orang Papua perlu dilindungi. Gubernur Lukas Enembe memberikan seratus juta kepada setiap perempuan Papua yang melahirkan lebih dari sepuluh anak. Ini salah satu upaya untuk melindungi orang Papua supaya tidak punah. Kebijakan Enembe ini menuai kritik, karena memperlakukan perempuan seperti ‘mesin’ produksi.
Tahun 1960-an orang asli Papua berjumlah 800.000 jiwa. Sampai tahun 2015 ini, jumlahnya tidak lebih dari 2,5 juta jiwa. Jumlah pertumbuhan penduduk yang lamban ini disebabkan oleh adanya program keluarga berencana yang diterapkan di Papua. Selain itu, tingkat kematian orang Papua terbilang tinggi.
Orang Papua mati karena penyakit, malaria, TBC, HIV/AIDS. Selain itu, minuman keras (miras) menjadi salah satu pembunuh orang Papua. Orang Papua juga mati karena memperjuangkan pengembalian kedaulatan Papua. Mereka dibunuh oleh tentara dan polisi. Orang Papua juga mati karena kecelakaan saat mengendarai motor dalam kondisi kurang aman (sedang mabuk, tanpa helm, dll).
Kematian menjadikan orang Papua kian minoritas. Pada saat yang sama, tingkat kesejahteraan memprihatinkan. Ibu hamil kurang mendapatkan gizi yang cukup. Angka kematian ibu melahirkan cukup tinggi. Kondisi kesehatan, termasuk minim asupan gizi menjadi salah satu sebab kematian orang Papua.
Para pejabat di Papua sudah tahu kondisi ini. Ada berbagai kebijakan yang dilakukan untuk melindungi orang Papua. Gubernur Enembe, misalnya, mencanangkan kartu Papua sehat, Papua pintar, dan berbagai kebijakan perlindungan lainnya. Tujuannya supaya orang Papua bertumbuh dan berkembang, memenuhi tanah Papua.
Ironinya, kebijakan ini belum berjalan maksimal. Peristiwa kematian di tanah Papua belum sepenuhnya teratasi. Dunia menyaksikan, tragedi Paniai berdarah pada 8 Desember 2014, saat polisi dan tentara menembak mati empat pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan puluhan warga luka-luka. Perisitiwa tragis kembali terjadi, saat truk yang membawa peserta piknik terbalik di jalan baru, belakang kantor walikota Jayapura pada Minggu, 11 Januari 2015 silam. Dalam kejadian ini sembilan orang tewas tertindis truk dan puluhan lainnya luka-luka.
Gaung kematian orang Papua masih terdengar. Telinga mendengar. Mata melihat. Semua dianggap biasa. Belum ada upaya serius untuk memutus mata rantai kematian orang Papua. Di mulut, para pejabat bilang melindungi orang Papua, tetapi belum ada tindakan konkret. Ada kebijakan, tetapi kebijakan hanya di atas kertas, tanpa realisasi.
Orang Papua mau berharap pada siapa? Pejabatnya orang Papua. Tetapi, mereka punya telinga tuli. Mata buta. Hati sudah jadi batu. Ada banyak uang, mereka bangun jalan dan gedung-gedung pemerintah, dengan kualitas rendah. Jalan dan bangunan cepat rusak, sehingga banyak anggaran hanya dipakai untuk perbaikan jalan dan rehab kantor pemerintah. Orang Papua, tetap menderita gizi buruk, tidak bisa sekolah dan tinggal di gubuk-gubuk kumuh.
Orang Papua menderita dan mati. Para pejabat Papua, yang sebagian besar orang Papua tenang-tenang saja. Bahkan korupsi merajalela di kalangan pejabat. Menyaksikan penderitaan seperti ini, kepada siapa lagi orang Papua harus mengadu? Kepada siapa lagi orang Papua menaruh harapan dan masa depan mereka? Kepada siapa lagi orang Papua meminta pertolongan di kala mereka mengalami krisis dan penderitaan?
Kembali ke akar budaya
Orang Papua memiliki budaya, adat-istiadat dan leluhur. Mereka juga memiliki ‘sang Pencipta’. Sejak kontak dengan para misionaris dan penjelajah dunia dari eropa, orang Papua mengalami sentuhan budaya dan situasi baru. Misionaris sending menganggap barang-barang budaya milik orang Papua sebagai berhala sehingga dimusnahkan. Kepercayaan orang Papua diganti dengan kekristenan. Semangat Injil, Kabar Baik, memberangus benda-benda sakral milik orang Papua. Orang Papua dicabut dari akarnya dan ditanam pada wadah baru bernama kekristenan supaya memproleh keselamatan. Misionaris selalu indoktrinasi bahwa mereka datang dengan Injil untuk mengadabkan orang Papua. Selama beribu-ribu tahun, orang Papua belum beradab. Indoktrinasi seperti ini membuat orang Papua kurang berkembang. Mereka selalu merasa ‘bersalah-berdosa’ tatkala hidup dalam tataran budayanya.
Orang Papua sudah tercabut dari akar budayanya. Hasilnya, saat ini mereka bikin apa saja sesuka hatinya. Saat jadi pejabat, curi uang rakyat, main perempuan dan jual orang Papua. Sebagian lagi minum mabuk, main perempuan, judi, curi dan saling bunuh. Tidak jarang dijumpai sebagian jadi lelaki dan wanita penghibur. Mereka jual diri ke sana ke mari. Perilaku hidup seperti ini sangat jauh dari budaya, adat-istiadat dan kebiasaan orang Papua.
“Waktu saya di Wamena tahun 2004-2005, saya lihat mereka bikin kebun. Pelihara babi. Ada yang jualan di pasar Jibama dan Wouma. Sebagian lagi jual kayu bakar.” Orang Papua punya jiwa kerja. Mereka makan dari hasil kebunnya. Bukan minta, apa lagi pencuri. Saat ini, situasi sudah berubah. Orang Papua lebih suka turun ke pusat-pusat kota. Mereka duduk-duduk di terminal pasar. Ada yang palang jalan dan minta uang. Banyak ulah dilakukan.
Situasi seperti ini buat orang Papua tidak maju dan berkembang. Mereka makin terpinggirkan. Mereka sendiri yang turut menciptakan situasi seperti ini. Andai mereka tinggal di kampung, kerja kebun, piara babi, hidup rukun dengan keluarga, gotong-royong, tentu mereka berkembang dan maju. Mereka mampu bersaing dengan siapa saja, tanpa takut, canggung dan minder.
Orang Papua harus kembali ke akar budayanya. Membangun harmoni dengan sesama, alam, leluhur dan sang Pencipta. Hidup baik, saling menolong harus dibangun. Sikap saling benci, iri hati, fitnah, harus ditinggalkan. Orang Papua harus bersatu membangun tanahnya. Tetapi, terutama membangun manusia Papua, yang hampir punah.
Upaya perlindungan terhadap orang Papua memang menjadi tanggung jawab setiap elemen masyarakat dan pemerintah. Tetapi, penting disadari bahwa orang Papua adalah penentu masa depannya. Merekalah yang menentukan masa depannya mau jadi seperti apa? Kini saatnya, orang Papua kembali ke budayanya. Kembali kepada budaya yang memberikan hidup. Budaya harus menjadi garda terdepan memelihara orang Papua. Semua ini dapat terwujud sejauh dikehendaki oleh orang Papua sebagai pemiliknya.
Kalau orang Papua masih mengabaikan budayanya, maka ratapan kematian tidak akan pernah berhenti. Sebaliknya, kalau budaya menjadi dasar hidup orang Papua, maka beberapa tahun ke depan orang Papua akan bertumbuh dan berkembang biak memenuhi tanah Papua.
Mengakhiri catatan ini, saya mengajak segenap orang Papua untuk sadar akan situasi penderitaannya dan berjuang mengatasinya. Papua yang baik tidak ditentukan oleh pihak luar, melainkan oleh orang Papua sendiri. Nyanyian penderitaan dan kematian orang Papua akan berakhir tatkala orang Papua ‘hidup baik’ menurut budaya dan adat-istiadatnya.
Abepura, 24 Januari 2015; 11.35 WIT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H