Jangan Ambil Dia
Episode 8.
Mentari kembali menyapa dengan cerah penuh ceria menyambut kedua kelopak mata resahku, yang masih ada tersisa dari malam tadi. Telapak tangan yang dingin menggenggam erat dalam pelukan kecilku. Buah hatiku selalu memberi senyuman mungil menatapku saat rapuh.
Seperti biasanya sekian detakan jantung membuka rasa bersama langkah tegas jarum jam, dan dalam diamku mengambil telepon genggam bertepatan disampingku setia menemani sepanjang malam.
Nada dering panjangpun mendekap erat ditelingaku bertanda bahwa Erick aktif, dan berharap ia menghargai panggilan gelisah sejak kemarin hingga pagi ini kembali aku mencari tahu keberadaannya. " hallo selamat pagi sayang, " nada erick pun membalas lemas dan desah manja bersama tidurnya semalam. Setengah sadar dari tidurnya membuat aku bertanya-tanya dalam diamku. Namun aku tidak tegah suami sahku di belai apalagi merasa dimiliki oleh wanita itu.
Nada tangis bercampur sakit luka yang telah lama aku rasakan membentur keras di tubuhku. Aku tidak tidak tinggal diam jika memang ini benar-benar terjadi.
"JANGAN AMBIL DIA..." Teriakan kasarku membuat buah hatiku takut, dan menangis memeluk aku. Tangisan aku bersama buah hatiku membanjiri selimut duka yang telah berbulan-bulan kami lindungi bersama saat duka.
" Erick sayang ayo bangun kenapa kamu lemas begitu...? Apa yang terjadi semalam akan dirimu suamiku...?."
Tiba-tiba suara manja menutupi bincang kami dari belakang sembari meminta pamit" aku sudah pulang nanti majikanku marah, dan sudah telat aku." Suara iti adalah Mirna si pelakor itu. " Erick sejak kemarin sampai pagi ini aku kabarkan ternyata kamu bersama wanita itu. Kenapa kami setegahnya menelantarkan aku dan anakmu demi kesenanganmu bersama Mirna si wantia yang sudah berstatus punya anak, dan memiliki suami sah itu erick...?". Tangisanku semakin kelam di pagi yang semestinya kami miliki ketika menyapa senyum, dan cinta kami ketika mengawali hari baru kami untuk mensyukuri apa yang semesta berikan kepada keluarga kecil kami.
Jarum jam menunjukan pukul 08 : 00 pagi jam waktu untuk Erick berangkat ke tempat kerja.
Tanpa seribu bahasa keluar dari bibir Erick untuk kejadian ini. Aku pun membendung rasa ini penuh air mata berlinang deras.
"Erick sayang jawab aku dulu, kenapa diam begini...? nada lemas berpadu sedih bertambah melekat kasar didada ini.
Diam-diam Erick meninggalkan teleponku dan bergegas pergi ke tempat kerjanya karena ia tidak mau gajinya dipotong oleh majikan.
"Hallo... hallo...hallo...;
pagi ini sungguh parah dalam luka yang tidak pernah hilang sekejap".
Erick pergi begitu saja dengan merasa bersalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H