Mohon tunggu...
Petrus Dian Agus Nugroho
Petrus Dian Agus Nugroho Mohon Tunggu... Editor - SIM (Sebaris Informasi Massa)

Nama: Petrus Dian Agus Nugroho Tempat & tgl lahir: Magelang, 19 Desember 2020 Alamat: Kragan, Krogowanan, Sawangan, Magelang, 56481

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pertentangan UU Omnibus Law Cipta Kerja dengan Sistem Hukum di Indonesia

11 November 2020   07:23 Diperbarui: 11 November 2020   07:34 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tahun 2020 ini, terjadi banyak persoalan yang ada di Indonesia terkhusus pembentukan UU Omnibuslaw Cipta Kerja. UU Obnibuslaaw Cipta Kerja menjadi perbincangan yang sangat ramai di sosial media maupun berita. UU Omnibuslaw Cipta Kerja menjadi sebuah persoalan yang dipertentangkan antara komunitas buruh dan pemerintah terkhusus DPR. 

Hal itu karena, proses pengesahan oleh DPR pada rapat kerja terbuka tanggal 3 Oktober 2020 yang tidak dilaksanakan secara terbuka dengan para buruh dan masyarakat terkait. 

Adanya rapat tersebut, menjadikan komunitas buruh menentang UU Omnibuslaw Cipta Kerja yang sudah disahkan. Setelah adanya rapat tersebut komunitas buruh memberikan sebuah pernyataan bahwa UU Omnibuslaw Cipta Kerja belum mewakili aspirasi para buruh dan rakyat. Dari berbagai poin dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja yang sudah disahkan dalam rapat itu, belum sesuai dengan kebutuhan para buruh dan terdapat poin yang dipandang menyimpang dari UUD 1945.

Menurut Audrey O'Brien 2009 Omnibus Law adalah suatu rancangan undang-undang atau bill dengan mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Barbara Sinclaire (2012) menambahkan Omnibus bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait. 

Dari penjelasan tersebut bisa dikatakan bahwa, Omnibus Law adalah metode atau konsep cara membuat peraturan dengan menggabungkan peraturan-peraturan yang memiliki substansi yang berbeda-beda dan disatukan menjadi sebuah peraturan kompilasi sebagai acuan hukum. Maka dari itu, peraturan-peraturan yang mengacu substansi lainnya dan sudah disahkan sebelumnya secara langsung akan dan dinyatakan tidak berlaku.

Oleh sebab itu, dengan adanya UU Omnibuslaw Cipta Kerja, maka undang-undang ketenagakerjaan tidak berlaku lagi. Tidak berlakuknya dan perubahan UU Ketenagakerjaan menjadi masalah bagi komunitas buruh karena poin-poin yang sebelumnya berada di UU Ketenagakerjaan dirubah dan ada juga yang dihilangkan. 

Pertentangan antara buruh dan pemerintah terutama DPR juga dipicu oleh hoaks  tentang poin-poin UU Omnibuslaw Cipta Kerja yang tersebar dalam media sosial. Setelah membaca penjelasan di atas tulisan ini membahas mengenai kesesuaian UU Omnibuslaw Cipta Kerja di Indonesia dan kebermanfaatan UU Omnibuslaw Cipta Kerja di kehidupan para buruh.

Kesesuaian Omnibus Law Cipta Kerja di Indonesia 

Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hukum (2014) menyatakan bahwa di dunia ini kita tidak dijumpai satu sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Menurut Marc Ancel (1965: 1) ia membedakan sistem hukum di dunia menjadi 5 sistem hukum yaitu Civil Law  System (Eropa Continental), Common Law System (Anglo-Saxon), Middle East System (Timur Tengah Sistem),  Far East System (Timur Jauh Sistem), dan Socialist Law (Sosialis). dari kelima sistem hukum tersebut terdapat dua sistem hukum yang tidak asing dan paling dikenal oleh kita yaitu Civil Law dan Common Law.

Setelah kita tahu berbagai  5 sistem hukum di dunia menurut Marc Ancel ada dua sistem yang paling dikenal yaitu Civil Law dan Common Law. Adapun karakteristik kedua sistem tersebut. Yang pertama adalah karakteristik Civil Law. Karakteristik sistem hukum Civil Law  yang pertama terletak pada hakim. 

Hakim hanya sebagai corong hukum dan tidak dapat menciptakan hukum yang mengikat umum. Kemudian, hukum pada sistem Civil Law disusun secara sistematis menggunakan kodifikasi. Hal ini melihat substansi-substansi dalam hukumnya  yang banyak dan bervariasi. 

Menurut John Henry Merryman dalam bukunya yang berjudul The Civil Law Tradisional: Introduction to the legal system of Western Europe Europe and Latin America 2nd Ed., tahun 1985 dalam negara yang ber sistem hukum Civil law, terdapat tiga sumber hukum yaitu, undang-undang (statute), peraturan turunan (regulation), dan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum (custom). 

Selanjutnya, hakim tidak terikat oleh presiden, sehingga hakim dapat menentukan sendiri sesuai dengan hukum yang berlaku dan fakta-fakta yang ada, artinya hakim hanya sebagai penentu dalam memutuskan suatu perkara.

Yang kedua adalah karakteristik dari sistem hukum Common Law. Sistem hukum ini, sumber hukummya tidak disusun secara sistematis seperti sistem hukum Civil Law. 

Dalam sistem ini hanya memberikan sebuah penjelasan mengenai tugas dari seorang hakim dalam menafsirkan hukum nya. Pada sistem ini juga berpegang pada putusan pengadilan dan putusan hakim sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh sistem ini yang tidak mengutamakan undang-undang sebagai hukum utama karena menganggap bahwa undang-undang adalah sebuah peraturan yang dibuat oleh ahli teoretis dan tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Dari kedua sistem hukum tersebut, Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem hukum Civil Law. Hal itu disebabkan oleh Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda. Sistem hukum Belanda menganut sistem hukum Civil Law. Jika melihat sejarah masa lalu Indonesia penjajahan Belanda membuat berbagai hukum dan kebijakan yang di terapkan di Indonesia. Hal itu lah yang membuat sampai saat ini Indonesia memiliki sistem hukum seperti Belanda yaitu Civil Law.

Dikatakan oleh Paulus Aluk Fajar Dwi Santo dalam laman Binus University berjudul Memahami Gagasan Omnibus Law, Omnibus Law merupakan undang-undang yang berasal dari sistem hukum Common Law. Berbanding terbalik dengan sistem hukum Indonesia yaitu Civil Law, Walapun, Indonesia memiliki sistem hukum Civil Law, tetapi pemerintah justru bersikukuh membuat kebijakan UU Omnibuslaw Cipta Kerja di Indonesia.

Di Asia tenggara, tidak hanya Indonesia yang menerapkan UU Omnibuslaw Cipta Kerja, tetapi ada juga berbagai negara yang pernah menerapkan aturan tersebut misalnya Filipina, dan Vietnam. Filipina membahas mengenai undang-undang Omnibus Law pada 16 Juli 1987 oleh presiden Corazon Aquino yang menandatangani Executive Order No.26 yang bernama Omnibus Investment Code of 1987. Demikian juga Vietnam pernah membahas mengenai UU Omnibus Law yang membahas mengenai implementasi perjanjian WTO.

Dari penjelasan tersebut tidak ada salahnya Indonesia dengan sistem Civil Law menerapkan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, tetapi adapun pertimbangan yang membuat UU Omnibuslaw Cipta Kerja tidak bisa diterapkan di Indonesia. Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja kemungkinan tidak dapat diterapkan di Indonesia karena dari penerapan undang-undang dengan model Omnibus Law, yang sudah berkembang dan sebagian besar menjadi sebuah praktek yang tidak demokratis. 

Hal ini karena, undang-undang yang memiliki model perumusan  Omnibus Law, memiliki sifat multisektor dan pembahasan dalam parlemen yang lebih cepat dibanding pembahasan undang-undang pada umumnya. Oleh sebab itu, undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak tepat diterapkan di Indonesia dengan sistem hukum Civil Law yang mengedepankan demokrasi. 

Hal ini lah yang membuat penerapan Omnibus Law Cipta Kerja  berbahaya bagi keberlangsungan perumusan undang-undang selanjutnya. Sama halnya, pemerintah merumuskan sebuah aturan perundang-undangan dengan kepentingan sendiri dan tidak melihat kepentingan umum atau mendengarkan aspirasi dari rakyat. Sedangan, rakyat sebagai fokus utama dalam pembentukan undang-undang.

Kebermanfaatan Omnibus Law Cipta Kerja di kehidupan para buruh

Indonesia adalah negara dengan syarat hukum bersifat demokrasi. Hal inilah yang menjadi pertentangan saat ini antara masyarakat Indonesia terutama komunitas buruh dengan DPR. Saat ini UU Omnibuslaw Cipta Kerja sudah disahkan dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. 

Undang-undang yang sudah jadi tersebut belum ada partisipasi publik di dalamnya. Hal itu disebabkan oleh pengesahan undang-undang dilakukan terlalu singkat. Maka dari itu, kesempatan untuk mengajukan usulan tidak dapat diterima atau bahkan tidak ada. Seolah-olah sebagian besar ide dan gagasan dari lembaga parlemen menjadi pembentuk dari isi UU Omnibuslaw Cipta Kerja tersebut.

Hal ini lah yang membuat berapa poin yang ada dalam isi UU Omnibus Law Cipta Kerja berubah bahkan hilang dari undang-undang ketenagakerjaan. Selain itu juga beberapa poin di dalamnya, tidak sesuai dengan undang-undang dasar 1945. Adapun poin-poin yang dibahas kemudian berubah dari undang-undang ketenagakerjaan ke dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja yaitu jam kerja, status pekerja, upah,  pesangon, jaminan sosial, dan PHK. 

Enam poin tersebutlah yang menjadikan membuat perselisihan antara komunitas buruh bahkan masyarakat Indonesia bertentangan dengan DPR. Tidak hanya poin-poin tersebut tetapi masih banyak poin lagi yang perlu dipertimbangkan oleh DPR. Poin-poin tersebut menjadi hal yang memberatkan bagi para buruh karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, serta aspirasi para buruh yang belum diterapkan dalam undang-undang tersebut.

Tidak hanya pemerintah yang perlu mengevaluasi poin-poin UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah disahkan, tetapi masyarakat juga perlu menyampaikan aspirasi dengan baik dan benar serta damai. 

Penyampain aspirasi dengan damai dimaksud, agar aspirasi dapat diterima oleh pemerintah dan usulan-usulan dapat diterapkan dalam isi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang akan disahkan karena penyampaian aspirasi yang tidak baik. Dengan melakukan penyampaian aspirasi menggunakan kekerasan justru, akan menimbulkan persoalan yang menyimpang. 

Maka dari itu, yang dibutuhkan adalah kedekatan interaksi antara pemerintah dengan masyarakat terutama komunitas buruh untuk mengevaluasi  kekurangan yang ada dalam isi dari UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebagai contoh penyampaian aspirasi dengan baik yaitu itu proses gugatan UU Omnibus Law Cipta Kerja ke mahkamah konstitusi oleh DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS). Dengan adanya gugatan ini, maka proses evaluasi terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja akan diselesaikan. 

Tidak hanya pihak buruh saja, tetapi pemerintah juga harus netral dan jeli dalam melihat kesalahan-kesalahan tersebut, agar terbentuk suatu aturan yang baik bagi buruh maupun pekerja yang lain. Komunikasi antara FSPS dari pihak buruh dengan pemerintah yang baik dan terbuka, juga akan meningkatkan kepercayaan buruh terutama masyarakat Indonesia terhadap gagasan-gagasan yang diusulkan oleh DPR untuk merumuskan undang-undang. 

Kekuatan memang berasal dari rakyat, tetapi rakyat tanpa pemerintah juga tidak akan seimbang. Maka dari itu harus adanya kerjasama yang saling berdampingan agar persoalan diselesaikan dengan baik.

Demikianlah beberapa gagasan dari penulis. Selalu berpegang teguh pada hubungan komunikasi yang terbuka. Ingat oleh pesan Reinhold Niebuhr bahwa kemampuan manusia untuk mewujudkan keadilan membuat demokrasi mungkin, tetapi kecenderungan manusia untuk bertindak tidak adil membuat demokrasi mutlak dibutuhkan. Sekian dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun