Indonesia adalah negara dengan syarat hukum bersifat demokrasi. Hal inilah yang menjadi pertentangan saat ini antara masyarakat Indonesia terutama komunitas buruh dengan DPR. Saat ini UU Omnibuslaw Cipta Kerja sudah disahkan dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja.Â
Undang-undang yang sudah jadi tersebut belum ada partisipasi publik di dalamnya. Hal itu disebabkan oleh pengesahan undang-undang dilakukan terlalu singkat. Maka dari itu, kesempatan untuk mengajukan usulan tidak dapat diterima atau bahkan tidak ada. Seolah-olah sebagian besar ide dan gagasan dari lembaga parlemen menjadi pembentuk dari isi UU Omnibuslaw Cipta Kerja tersebut.
Hal ini lah yang membuat berapa poin yang ada dalam isi UU Omnibus Law Cipta Kerja berubah bahkan hilang dari undang-undang ketenagakerjaan. Selain itu juga beberapa poin di dalamnya, tidak sesuai dengan undang-undang dasar 1945. Adapun poin-poin yang dibahas kemudian berubah dari undang-undang ketenagakerjaan ke dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja yaitu jam kerja, status pekerja, upah, Â pesangon, jaminan sosial, dan PHK.Â
Enam poin tersebutlah yang menjadikan membuat perselisihan antara komunitas buruh bahkan masyarakat Indonesia bertentangan dengan DPR. Tidak hanya poin-poin tersebut tetapi masih banyak poin lagi yang perlu dipertimbangkan oleh DPR. Poin-poin tersebut menjadi hal yang memberatkan bagi para buruh karena tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, serta aspirasi para buruh yang belum diterapkan dalam undang-undang tersebut.
Tidak hanya pemerintah yang perlu mengevaluasi poin-poin UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah disahkan, tetapi masyarakat juga perlu menyampaikan aspirasi dengan baik dan benar serta damai.Â
Penyampain aspirasi dengan damai dimaksud, agar aspirasi dapat diterima oleh pemerintah dan usulan-usulan dapat diterapkan dalam isi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang akan disahkan karena penyampaian aspirasi yang tidak baik. Dengan melakukan penyampaian aspirasi menggunakan kekerasan justru, akan menimbulkan persoalan yang menyimpang.Â
Maka dari itu, yang dibutuhkan adalah kedekatan interaksi antara pemerintah dengan masyarakat terutama komunitas buruh untuk mengevaluasi  kekurangan yang ada dalam isi dari UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebagai contoh penyampaian aspirasi dengan baik yaitu itu proses gugatan UU Omnibus Law Cipta Kerja ke mahkamah konstitusi oleh DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS). Dengan adanya gugatan ini, maka proses evaluasi terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja akan diselesaikan.Â
Tidak hanya pihak buruh saja, tetapi pemerintah juga harus netral dan jeli dalam melihat kesalahan-kesalahan tersebut, agar terbentuk suatu aturan yang baik bagi buruh maupun pekerja yang lain. Komunikasi antara FSPS dari pihak buruh dengan pemerintah yang baik dan terbuka, juga akan meningkatkan kepercayaan buruh terutama masyarakat Indonesia terhadap gagasan-gagasan yang diusulkan oleh DPR untuk merumuskan undang-undang.Â
Kekuatan memang berasal dari rakyat, tetapi rakyat tanpa pemerintah juga tidak akan seimbang. Maka dari itu harus adanya kerjasama yang saling berdampingan agar persoalan diselesaikan dengan baik.
Demikianlah beberapa gagasan dari penulis. Selalu berpegang teguh pada hubungan komunikasi yang terbuka. Ingat oleh pesan Reinhold Niebuhr bahwa kemampuan manusia untuk mewujudkan keadilan membuat demokrasi mungkin, tetapi kecenderungan manusia untuk bertindak tidak adil membuat demokrasi mutlak dibutuhkan. Sekian dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H