WFH dan PJJ (sebuah catatan ringan)
Sebagian besar dari kita tentu tidak menduga bahwa terdorong atau BERKAT pandemi yang saat ini melanda seluruh dunia tak terkecuali Indonesia, digitalisasi di segala bidang telah menjadi bukan saja gaya hidup tapi bahkan cara hidup baru bagi sebagian besar dari kita. Mulai dari kehidupan rumah tangga, pendidikan, ibadah hingga ke perniagaan yang bukan saja dalam lingkup lokal/ domestik, namun juga antar negara.
Di dunia pendidikan khususnya jenjang SD hingga SLTA hingga saat ini menggunakan metode pembelajaran yang disampaikan secara daring (dalam jaringan). Hanya berbekal paket data aktif dan gawai yang compatible, maka siswa sudah bisa mengikuti pelajaran yang disampaikan secara remote. Orang tua juga akan dimudahkan karena tak harus membekali anak dengan uang jajan atau bekal makanan yang belum tentu dimakan.
Tentu kita semua maklum dan pahami bahwa metode pembelajaran ini hanya bersifat darurat. Pandemi harus segera diakhiri agar pembelajaran bisa segera dilaksanakan dengan cara lebih sempurna, yakni perpindahan atau perubahan dari SD ke STM, maksudnya dari Sekolah Daring menjadi Sekolah Tatap Muka. Ada kekhawatiran besar dari saya pribadi maupun beberapa orang yang sempat berbicara dengan saya.
Kekhawatiran itu di antaranya adalah sempurnakah pembelajaran dengan cara daring, dan yang kedua adalah rendahnya sosialisasi dengan teman. Saya ingin menambahkan kekhawatiran ketiga, ada kemungkinan orang tua dan anak menjadi terlalu nyaman dengan system ini. Mari kita ulas secara sederhana satu per satu.
Pembelajaran normal dilakukan di dalam kelas yang membuatnya memungkinkan terjadi interaksi langsung yang hidup antara pengajar dan pembelajar. Jam pelajaran normal dilakukan selama 45 menit tiap pelajaran, jika satu mata pelajaran dilakukan 2 jam berturut-turut maka akan terjadi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) selama sembilan puluh menit non stop. Masa dulu ketika saya masih bersekolah, saya ingat betul di SMP dan SMA tahun 1985 hingga 1991, tiga jam pertama dimulai pukul tujuh tepat dan kami beristirahat mulai pukul 09.15. Pukul 09.30 kami masuk kelas lagi untuk dua jam pelajaran berikutnya hingga pukul 11.00 saat kami istirahat kedua. Kami masuk kelas kembali pada pukul 11.15 dan menyelesaikan dua pelajaran terakhir pada pukul 12.45. Sehingga dalam sehari kami menyelesaikan tujuh jam pelajaran kecuali hari Jumat yang hanya sampai pukul 11.00. Saya mesti katakan dari sudut pandang saya, itu efektif.
Tentu saja mudah dipahami bahwa interaksi ini menjadi kunci pentingnya penyampaian materi dan pengajar kepada pembelajar. Memang metode mengajar masing-masing pengajar tidaklah sama, namun ada pakem yang sama. Setidaknya ada Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP) yang menjadi pegangan yang akan membantunya dalam mengajar agar sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada hari tersebut, juga sebagai pedoman yang disepakati antara pengajar dan kurikulum yang tentu saja dibahas baik secara formal dalam rapat dewan guru maupun secara personal antar pengajar dalam obrolan ringan yang ditemani masing-masing segelas kopi.
Sekali lagi, metode mengajar atau lebih tepatnya gaya mengajar tentu saja beda. Ini yang seringkali menjadi penyelamat kami dulu sebagai siswa saat dihantam jenuh hingga titik yang sangat rendah. Ada Pak itu atau Ibu itu yang mengajarnya menyenangkan hingga kami mudah mencerna materi pelajaran yang mudah masuk ke otak kami berbarengan dengan cemilan masuk perut yang biasa kami sembunyikan di laci sejak istirahat. Ada juga pak itu dan Ibu itu yang cara ulangannya memudahkan hingga seringkali ulangan dari Beliau-beliau ini justru kami tunggu dengan sangat percaya diri.
Kegiatan Belajar Mengajar secara tatap muka memungkinkan setiap masalah yang timbul dalam proses transfer ilmu bisa diselesaikan hari itu juga, bahkan saat itu juga. Setiap pertanyaan atau ketidakmengertian atau bahkan belajar adu argument akan jadi laga final saat itu juga. Tentu saja ini ada syaratnya, syarat utamanya adalah kenyamanan pembelajar terhadap pengajar. Tak jarang pertemanan yang akrab terjalin antara pengajar dan pembelajar. Ketika itu terjadi dan jarak benar-benar terpangkas maka mudah dipahami bahwa transfer ilmu akan berlangsung dengan sangat nyaman, tanpa harus melupakan bahwa bagaimanapun ada batas.
Pun tak kalah penting dalam masa istirahat yang hanya dua kali lima belas menit. Interaksi antar siswa terbiasa berjalan sangat harmonis. Sosialisasi yang sangat diperlukan untuk bekal pergaulan kelak di kemudian hari. Meski tak bisa ditampik bahwa ada juga siswa yang segan membaur, lebih suka buka buku di dalam kelas ataupun menyendiri di sudut lain yang lebih sepi. Mungkin juga yang dibuka bukan melulu buku pelajaran, bisa jadi novel, partiture lagu untuk dinyanyikan Bersama... atau bisa jadi novel Nick Carter atau stensilan Anny Arrow. So what, itu dunia aqil baliq kan?
Biasanya kantin atau apapun itu berupa warung yang menyediakan makanan dan tentu saja minuman menjadi pusat pertemuan para siswa. Riuh dalam arti kata meriah menjadi pemandangan yang umum terutama pada saat istirahat pertama. Saya yakin penjaga kantin bingung menandai siapa makan apa, berapa yang dimakan dan siapa yang belum atau sudah bayar, atau jangan-jangan lupa atau sengaja ga bayar? Sampai ada istilah waktu itu, setiap hari ada yang ulang tahun. Entah bagaimana nanti Bu Kantin ketika menghitung laba.
Interaksi antar teman sekolah tak berhenti di pukul 12.45. Saat yang lain langsung menuju ke shelter kendaraan umum atau menuju parkiran sekolah atau lagi langsung menuju kendaraan yang menjemput, sebagian lainnya masih enggan beranjak dari tempatnya. Ada yang kumpul di lobby  dan ada yang pilih ke teras kelas. Ada saja hal yang dilakukan. Mulai dari buka-buka buku pelajaran lagi hingga hanya sekedar ngobrol becanda ringan. Barulah setelah perut merasa lapar, mereka akan menuju pulang.
Kegiatan Extra kurikuler adalah salah satu momen yang juga ditunggu oleh para siswa. Mengapa? Karena kegiatan extra kurikuler adalah saat bagi para siswa menjadi dirinya sendiri di sekolah. Biasanya sekolah menyediakan beberapa kegiatan extra kurikuler, mulai dari marching band, paduan suara, teater, tari, olah raga prestasi, komputer yang waktu itu masih sangat sederhana dibanding sekarang, bahkan baris berbaris dan siswa diberikan kebebasan memilih kegiatan yang disukai. Para siswa diberi kebebasan menentukan berdasarkan minatnya. Beda dengan pelajaran wajib di dalam kelas saat suka atau tidak suka harus "dimakan". Peminat sejarah harus mau belajar Kimia, peminat matematika harus tekun belajar sastra dan lain-lain.
Kegiatan OSIS juga tak kalah penting turut membentuk karakter dan kemampuan siswa di bidang non akademik, terutama belajar kepemimpinan. Saya sendiri cukup aktif di OSIS SMA dengan jabatan sebagai Sekretaris Bidang Perikehidupan Berbangsa dan Bernegara. Banyak kawan-kawan aktifis OSIS di sekolah saya dulu sangat menonjol kepemimpinannya, baik di lingkungan kerja maupun dalam pergaulan. Kami masih sering kumpul demi menjaga silaturahmi.
Yang mau saya sampaikan adalah interaksi positif antara guru dengan guru, guru dengan siswa, dan yang lebih penting interaksi siswa dan siswa. Tak jarang ada chemistry terjalin antar siswa beda gender dan akhirnya memutuskan untuk pacaran dan sejauh yang saya tau, itu baik-baik saja, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan saya cenderung berpendapat, chemistry yang seperti ini energinya luar biasa besar. Siswa akan lebih sering belajar, mengerjakan PR, ulangan harus bagus, datang ke sekolah harus lebih pagi dan lain-lainnya. Malu dong kalau punya pacar di sekolah yang sama atau bahkan di kelas yang sama tapi prestasi akademiknya biasa-biasa saja atau bahkan jeblog?
Sekarang mari kita lihat keadaan sekarang? Dengan sekolah daring atau Pembelajaran Jarak Jauh, apakah yang didapatkan? Seratus persen atau tujuh puluh lima persen dari pengalaman menakjubkan yang saya urai di atas? Lima Puluh Persen? Kurang? Dua puluh lima persen? Entahlah, sulit mengukurnya.
Sewaktu keponakan saya mulai masuk sekolah beberapa waktu lalu saya sempat ledekin, saya bilang begini, "Sebelum berangkat buka dulu HPnya, buka aplikasi CARA BERKENALAN DENGAN TEMAN SEKOLAH". Tapi dia tidak bereaksi karena sibuk dengan persiapannya.
Jelas bahwa ada perjuangan berat yang harus dilalui anak-anak kita untuk mengejar ketertinggalan akademik mereka. Bukan hanya anak-anak sebenarnya, tapi juga para pengajar, dan inipun akan semakin berat jika tidak didukung oleh orang tua dan lingkungan serta tak lupa regulator di dunia Pendidikan. Banyak ketidaksempurnaan yang harus diperbaiki selama metode pembelajaran jarak jauh diterapkan.
Diakui atau tidak, itulah yang terjadi. Ada banyak hilang yang harus disambung ulang. Dari obrolan saya dengan beberapa teman guru ada beragam pendapat tentang kedalaman serapan dari metode PJJ ini. Saya obrolkan ini dengan beberapa teman pengajar, yang masing-masing aktif mengajar di strata yang berbeda dan di kota yang masing-masing berbeda. Rata-rata info yang saya dapat daya serap terhadap materi hanya mencapai di bawah 50% dengan dua orang di antara teman saya hanya mangamini tanpa menyebut angkanya. Dari 50% itu akan menjadi berada di kisaran 75% hingga 90% jika mengambil kelas privat atau les. Bahkan bisa mencapai 99% jika siswanya memang cerdas.
Dari obrolan itu pula saya mendapatkan banyak informasi tentang kendala-kendala pelaksanaan PJJ ini:
- Handphone atau gadget atau gawai yang tidak support untuk melakukan pembelajaran jarak jauh ini. Memang dibutuhkan alat yang memadai untuk bisa mengikuti PJJ ini dan kita paham, belum semua orang tusa siswa memiliki kemampuan untuk menyediakan sarana ini, sehingga PJJ yang biasa menggunakan Google Meet, Zoom ataupun Google Class Room sudah harus terkendala di awal.
- Tidak adanya paket data, ini alasan yang sering sekali muncul. Kita maklum, di masa susah seperti ini mungkin beras lebih diperlukan untuk dibeli dibanding paket data.
- Berikutnya adalah susahnya signal/ sinyal. Di beberapa daerah memang masih diketemukan kendala signal ini. Di perkotaan tentu kendala signal terhitung minim, meski bukan berarti tidak ada kendala.
- Dukungan orang tua. Saya sedikit terkejut bahwa kendala ini ada. Ada semacam masa bodoh, apakah anaknya mau belajar atau tidak. Ini pun saya tidak berani menyalahkan seratus persen kepada orang tua karena orang tua pasti punyA alasannya sendiri.
- Fokus belajar si anak. Belajar dengan mengandalkan gawai di rumah tentu tidak semudah menghadapi guru dan buku di dalam kelas. Tentu kita bisa pahami itu semua.
- Tugas dikerjakan oleh orang tua. Ini banyak terjadi. Beberapa cerita, tugas yang (tentu saja) diselesaikan di rumah dikerjakan dengan baik, semuanya rapi dan lengkap, tapi saat dilakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Si Siswa ternyata belum menguasai materi. Bahkan di jenjang SD ada siswa yang ternyata belum lancar menulis kendati nilai tugasnya bagus-bagus, jadi siapa yang mengerjakan tugas. Ini pun saya tidak mau menyalahkan orang tua 100%. Bisa jadi orang tua sudah lelah setelah seharian bekerja dan alih-alih mengajari anak mengerjakan tugas, biar cepat maka orang tua lah yang mengerjakan.
Tidak semua orang tua mampu untuk menitipkan anak-anak les, maka beruntunglah siswa  yang orang tuanya mampu dan mau memberikan tambahan waktu belajar di tempat les. Sementara bagi yang tidak bisa harus pasrah dengan kemampuan yang seadanya. Semoga saja mereka terus memelihara semangat juang mengejar apa yang mereka inginkan di masa depan.
Kembali ke angka prosentase serapan di atas, apakah angka prosentase ini valid sebagai hasil survey secara statistik sebelumnya saya juga tidak menjamin. Namun dengan sedemikian banyak permasalahn yang diungkapkan teman-teman pengajar, bisa jadi angka-angka itu benar adanya. Tapi bukan itu intinya, karena sebenarnya yang kita bahas di sini adalah pentingnya pendemi ini segera diakhiri agar anak-anak kita bisa segera kembali ke sekolah. Belajar sebagaimana seharusnya. Berteman sebagaimana mestinya.
Di luar masalah tetek bengek sekolah yang pastinya akan sangat komplek masalahnya mulai dari yang bersifat administrative hingga akademik, kita juga harus segera kembalikan anak-anak kita ke luar rumah. Sudah terlalu lama anak-anak dikurung di dalam rumah. Beruntung bagi anak-anak yang orang tuanya sedikit cuek dan anak-anaknya dibebaskan untuk bermain. Banyak anak-anak yang karena alasan yang juga baik harus betah berada di dalam rumah tanpa keluar rumah seharian penuh dan setiap hari. Interaksi hanya dilakukan dengan orang tua, saudara dan anggota keluarga lainnya, serta yang pasti bergaul dengan gadgetnya. Alangkah terbatasnya dunia mereka.
Di sisi ini kita harus akui sisi gelap atau negative gadget bagi perkembangan mental anak-anak. Bagaimana tidak? Sekolah dengan metode daring masih ditambah keengganan untuk mengulang pelajaran yang sudah didapatkan. Gadget dipegang cenderung hanya untuk bermain game dan sarana hiburan lainnya. Tidak ada antusiasme untuk belajar. Tidak ada obrolan tentang pelajaran, PR, ulangan, dan lain-lain kenikmatan sebagai anak sekolah seperti seharusnya.
Hal yang mengejutkan bagi saya adalah ketika suatu kali saya sedang berada di rumah seorang kerabat, anaknya sedang bermain gadget dan tiba-tiba anak itu mengucapkan istilah yang tidak saya duga akan bisa keluar dari mulutnya. Dia menyebutkan istilah bersetubuh dalam Bahasa Jakarta. Anak sekecil itu, umur delapan tahun. Dia pasti tidak tau apa yang dia ucapkan itu, tapi istilah itu begitu fasih keluar sefasih dia mengucapkan istilah kotoran dan aneka binatang. Di kunjungan saya berikutnya kerabat saya ini sedang bermain bola di halaman belakang rumahnya bersama 3 anaknya. Lagi, sembari bermain bola yang penuh teriakan beberapa kali kata-kata itu plus umpatan-umpatan lainnya meluncur deras dari anak-anak ini. Mengherankan buat saya karena saat itu sama sekali tidak ada teguran dari orang tuanya, bahkan umpatan yang kurang lebih sama keluar juga dari mulut sang ayah.
Jika ada yang berpendapat bahwa ucapan-ucapan kotor itu hal biasa dan bukan karena pengaruh penguasaan gadget maka itu mungkin benar tapi tidak sepenuhnya benar, karena di lain ketika dan di lain tempat, saya bertemu lagi dengan anak-anak yang lain yang juga sedang bermain gadget. Mereka sedang menonton tayangan gamer yang sedang memainkan suatu permainan, dan dari mulut gamer itu keluar umpatan-umpatan seperti yang pernah saya dengar itu.
Itu aktifitas anak-anak yang saya tau namun saya paham juga bahwa belum tentu itu yang dialami semua anak. Saya yakin masih banyak anak-anak yang mau berprihatin dan disiplin dengan dunia belajar mereka. Ini tidak bisa digebyah uyah. Namun keprihatinan tentang anak-anak yang punya kecenderungan negative itu juga ada yang di tengah kesulitan belajar normal di kelas masih juga minim kehendak untuk mengimbanginya dengan belajar di rumah.
Jika kita merujuk pada norma maka kita akan membuka sedikit Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada pasal 4 dikatakan:
- --
- --
- --
- Pendidikan diberikan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran;
- Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, Â menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat;
- Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pada tiga ayat terakhir di atas jelas dikatakan tentang prinsip penyelenggaraan Pendidikan. Apa yang dilakukan dalam suatu system pembelajaran jelas tertulis di sana, terutama pada ayat (4) tentang keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreatifitas peserta didik. Lalu pada ayat (5) tentang mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung. Manakala Proses pembelajaran normal tidak memungkinkan maka diperlukan cara istimewa agar siswa tetap bisa dan mau belajar. Saya ingin memberikan pada MEMBANGUN KEMAUAN. Sungguh, membangun kemauan belajar benar-benar sulit.
Tidak perlu tafsir berlebih untuk menyimpulkan siapa saja yang berperan dalam proses pembelajaran bagi peserta didik. Jelas bahwa ini menjadi tanggung jawab bersama antara regulator sebagai penyelenggara Pendidikan, sekolah sebagai pelaksana di lapangan dan tentu saja orang tua peserta didik serta masyarakat luas.
Dari survey kecil-kecilan yang saya lakukan setelah melihat penyelenggaraan PJJ di sekitar tempat tinggal saya, saya masih berharap saya salah menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pendidikan di masa pandemic ini bukan saja berjalan pincang tapi juga ngesot. Yang menjadi pokok keprihatinan adalah dengan pembelajaran normal yang tidak berjalan, tidak cukup ada upaya untuk menutup kekurangan itu. Saya kunjungi beberapa rumah kerabat dan teman (jangan khawatir, saya tetap menjalankan prokes) tidak pernah melihat atau mendengar percakapan tentang pelajaran. Jangankan tentang pelajaran dan kemudian belajar, tentang sekolah saja tidak pernah dibahas.
Suatu pagi saya sempat berbincang dengan seorang anak SMP. Saya tanyakan apakah pelajaran sudah full tatap muka dan dia menjawab belum, masih bergantian masing-masing seminggu, katanya. Lalu saya bertanya kembali berapa mata pelajaran satu hari. Dia menjawab hanya dua. Saya masih bertanya lagi berapa jam pelajaran masing-masing mata pelajaran? Dia menjawab dengan ragu, kayanya tidak sampai satu jam tiap pelajaran. Karena dia menjawab dengan ragu saya bertanya lagi, jam berapa masuknya? Dia jawab jam setengah tujuh (06.30). Ketika saya tanyakan jam pulangnya dia menjawab jam setengah sepuluh (09.30). Saya tanyakan pula apakah ada jam istirahat dan dijawab tidak ada. Itu kan hal mudah, berarti total jamnya adalah tiga jam dan dibagi dua mata pelajaran berarti masing-masing satu setengah jam (1 jam dan 30 menit). Berarti masing-masing mata pelajaran ditempuh selama dua jam pelajaran yang masing-masing empat puluh lima menit. Hal semudah itu, bahkan sesuatu yang dia jalani, apa yang dia lakukan sendiri dia tidak mengerti.
Sejujurnya saya justru melihat kenyamanan orang tua murid dan murid itu sendiri saat diberlakukan PPKM pada minimal level 3. Nyaman di rumah, tak perlu ke mana-mana. Saya tidak bermaksud tendensius, tapi kecenderungan itu ada. Ada sambutan gembira saat diberlakukan Work From Home (WFH) bagi pekerja dan Pembejalaran jarak jauh bagi siswa, seolah WFH dan PJJ sama dengan libur. Saya banyak mendengar cerita tentang berebut jadwal WFH sekaligus teriakan YYYEEEAAAYYY oleh anak-anak saat diberi tahu tentang pemberlakuan PJJ. Sebaliknya ada nada tidak puas seperti, YAAAHHH... udah ga ada WFH dan HHHMMMHHH besok udah masuk sekolah, lagi... Ini terjadi...
Status level PPKM DKI Jakarta baru saja turun dari level 3 menjadi leval 2. Demikianpun daerah-daerah sekitar Jakarta yang sudah mulai menunjukkan perbaikan penanganan Covid-19. Temuan kasus baru per 15 Maret 2022 ada di angka empat belas ribuan. Jauh menurun dibanding beberapa waktu lalu yang mencapai lima puluh ribuan per hari. Semoga di April sudah jauh menurun dan tidak naik lagi seiring rencana pemerintah untuk tidak melakukan pengetatan pada perayaan Idul Fitri 2022 yang bagi masyarakat luas akan menjadi kesempatan menumpahkan kerinduan pada kampung halaman yang sudah 2 tahun tertahan.
Pandemi ini harus segera diakhiri, dipungkasi, agar masa depan anak-anak kita tidak menjadi buram. Karenanya mari bantu pemerintah mengejar target vaksinasi agar segera tercipta herd immunity. Terus terapkan protocol Kesehatan dan bersiaplah untuk hidup berdampingan secara normal dengan Covid.
Cepatlah sehat, bangsaku, agar anak-anak bisa segera kembali ke bangku sekolah, belajar normal, bergaul normal dan ingat, bagi anak-anak SMA (mungkin juga SMP), mereka juga sudah butuh pacaran.
JAKARTA - Petrus Bharoto Kesowo, 16 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H