Mohon tunggu...
Petrus Rabu
Petrus Rabu Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Harapan adalah mimpi dari seorang terjaga _Aristoteles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Sabar dari Petani Kopi

6 Januari 2019   20:25 Diperbarui: 7 Januari 2019   19:21 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabupaten Manggarai di Flores Barat merupakan daerah penghasil kopi terbesar di daratan Pulau Flores, khususnya dan NTT umumnya. Pada tahun 1990 saat saya masih remaja hampir separuh masyarakat Kabupaten Manggarai bercocok tanam sebagai petani kopi, kendatipun kala itu harga kopi murah dan fluktuatif.

Alam Kabupaten Manggarai yang berada kurang lebih 1500 meter di atas permukaan laut (Dpl) menjadikan kabupaten yang dikenal juga dengan sebutan negeri congkasae ini sebagai kawasan yang subur untuk tumbuhnya berbagai jenis kopi. Ada kopi robusta. Ada kopi arabika, kopi unggul dan beberapa jenis kopi lainnya.

Zaman berganti. Waktu terus berputar. Teknologi pertanian terus meningkat dengan menawarkan berbagai pilihan dalam bercocok tanam tetapi sebagian masyarakat Manggarai tidak bergeming.

Mereka tetap setia dan sabar pada jalurnya, yakni menjadi petani kopi. Kopi seakan menjadi belahan jiwa yang tak terpisahkan. Sehingga jangan heran hampir seluruh wilayah Kabupaten Manggarai termasuk di Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai Barat dipenuhi dengan tanaman kopi. Di mana-mana terlihat perkebunan kopi. Tanaman kopi tidak hanya dijumpai di kebun-kebun yang jauh tetapi juga berfungsi sebagai tanaman penghias di pekarangan rumah.

Sebagian besar hasilnya mendukung kebutuhan ekonomi rumah tangga, sosial budaya tetapi juga menopang kebutuhan pendidikan anak-anak. Banyak orang-orang Manggarai yang sukses lahir dari orangtuanya sebagai petani kopi. 

Bapak Rofinus, Petani Kopi di Wae Rebo, Flores NTT. (Sumber Foto: http://www.ranselkosong.com)
Bapak Rofinus, Petani Kopi di Wae Rebo, Flores NTT. (Sumber Foto: http://www.ranselkosong.com)
Tidak saja itu, jika Anda berkesempatan bertandang ke keluarga orang Manggarai atau jika berkunjung ke Manggarai, Anda pasti disuguhkan minuman kopi hangat. Sebagai besar orang Manggarai tidak saja sebagai penyuka kopi, tetapi lebih tepatnya adalah peminum kopi.  

Menjadi petani kopi sebenarnya tidaklah mudah. Petani kopi adalah orang-orang yang ulet dan tentu memiliki kesabaran tingkat tinggi, atau boleh saya katakan "kesabaran tingkat dewa."

Kenapa demikian? Proses menghasilkan secangkir kopi yang dihidangkan di atas meja tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Ada keringatan kesabaran di baliknya. Sebagaimana menanam tanam lainnya, kopi juga melewati tahapan-tahapan yang panjang dan membutuhkan waktu, tenaga, materi dan kesabaran.

Teringat saat masih remaja, pada musim hujan di bulan November 1980, saya sering diajak sang ayah ke kebun untuk menanam kopi.  Bulan November memang bulan di mana mulainya musim hujan di wilayah NTT, sebagai daerah yang memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Biasanya musim hujan berakhir pada bulan April atau paling lama di Bulan Mei dalam tahun berjalan. Pada musim penghujan seperti ini banyak petani menanam berbagai jenis tanaman termasuk kopi.

Demikan pun ayah, ia giat menanamkan bibit kopi di areal perkebunan yang kami miliki. Begitulah aktivitasnya setiap kali musim penghujan datang hingga akhirnya beberapa areal perkebunanan kami penuh dengan tanaman kopi.

Prosesnya tentunya tidak sampai dis itu, selanjutnya perlu perawatan dan pembersihan rutin sehingga kopi tersebut bertumbuh subur, bila tidak maka berbagai jenis hama akan mengancam. Merawat kopi memang ibarat merawat bayi. Kopi jenis arabika biasanya berbunga dan berbuah pada usia tiga tahun. Sebuah waktu yang tak singkat.

Pekerjaan belum selesai. Kopi membutuhkan waktu setahun untuk menjadi matang dan siap panen sejak berbunga. Saat panen tiba, biasanya kita beramai-ramai ke kebun. Untuk areal perkebunan yang rata-rata tentunya tidak sesulit diareal pengunungan dan perbukitan.

Sejumlah daerah di Manggarai, perkebunan kopi biasanya didaerah perbukitan, lereng berbatu bahkan daerah pengunungan sehingga diperlukan kewaspadaan. Kesalahan sedikit bisa-bisa nyawa melayang. 

Belum lagi semut hitam suka bersarang di biji kopi yang matang, jika kena dimata pedisnya minta ampun.

Setelah panen (kala itu belum ada teknologi secanggih sekrang), maka proses selanjutnya tumbuk dan jemur hingga kering, lalu tumbuk lagi baru lagi menghasil biji-biji kopi yang siap diperdagangkan.

Saat dijual harganya tak sepadan dengan perjuangan dalam proses pengerjaannya. Kala itu kopi bahkan hingga sekarang tidak mahal-mahal amat, bahhkan cendrung menurun dan fluktuatif.

Walaupun demikian satu hal perlu dijempoli para petani kopi tak pernah mengeluh. Kala itu ayah pun demikian. Musim berikut ia kembali ke rutinitasnya. Menanam, membersihkan, merawat dan menjualnya. Berapapun hasilnya ia tetap bersyukur.

Bagaimana dengan kita saat ini? Masihkah kita sabar dengan setiap pekerjaan yang kita hadapi? Masihkah kita sabar menghadapi semua ujian yang kita hadapi dalam kehidupan ini, ataukah kita lari dari cobaan itu?

Mungkin kita perlu belajar pada petani kopi. Nikmatnya secangkir kopi yang dihidangkan dimeja kerja kita berawal dari poses panjang yang membutuhkan kesabaran.

Dan kesabaran itu sangat dibutuhkan dalam mengarungi dinamika kehidupan yang penuh problematika ini. Hanya orang berjiwa besar yang mampu menerapkan sikap sabar dalam kehidupannya. Hidup ini tak pernah lepas dari namanya cobaan atau apapun bentuknya. Karena pada hakikatnya kehidupan dunia ini hanyalah tempat ujian, termasuk didalamnya ujian kesabaran.

Ketika cobaan yang tidak menyenangkan itu datang, maka salah satu kunci utama untuk menghadapinya adalah dengan kesabaran. Seberat apapun cobaan yang kita hadapi akan terasa ringan jika kita selalu mengingat bahwa Tuhan tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun