Kabare begitulah kota kecil itu dinamakan. Tak semua orang mengenalnya, apalagi bagi mereka yang berada di luar Papua. Kabare merupakan ibu kota distrik (istilah kecamatan di Papua) Waigeo Utara yang berada di sebelah utara Kabupaten Raja Ampat dan menjadi distrik perbatasan antara negara, yakni Indonesia dan Republik Federal Palau. Hanya saja garis batas keduanya dibatasi oleh Samudera Pasifik.
Kamis 08 Februari 2018 saya memiliki kesempatan istimewa untuk kembali menginjakkan kaki di bumi Kabare dan bersua dengan wajah-wajah ramah masyarakat Kabare.
****
Ombak Samudera Pasifik memukul deras dibibir pantai Kampung Kabare saat KM. Marina Express bersandarr. Posisi Kabare yang agak ke dalam (dibalik teluk) membuat amukan Samudera Pasifik tak separah dengan kampung-kampung lain yang ada di tepi utara Pulau Waigeo.
Perjalanan ke Kabare sebenarnya tidak saja melalui jalur laut tetapi juga bisa ditempuh melalui pesawat berbadan kecil dengan berkapasitas 12-14 seat. Â Saat ini pesawat Susi Air secara rutin melayani rute Sorong-Waisai-Kabare.
"Sudah dua bulan ini kapal perintis belum masuk ke Kabare lagi. Sebelumnya ada. Itupun satu kali dua minggu atau dua kali sebulan," keluh salah satu warga yang dijumpai di Kabare kemarin.
Masalah transportasi memang masalah klasik yang dihadapi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir, kepulauan dan daerah terluar di Indonesia. Keberpihakan soal transportasi di wilayah perbatasan seperti Kabare dan sekitarnya, mungkin juga  dialami di daerah lain masih dipandang sebelah mata. Padahal daerah terdepan dan terluar memiliki posisi strategis jika dipandang dari sisi pertahanan dan geopolitik kehidupan berbangsa dan bernegara.