Sementara itu, pada tahun 2014 Â Dinas Kesehatan Provinsi NTT menemukan ada 3.351 orang anak menderita gizi buruk dan enam di antaranya meninggal dunia. Data ini diperoleh setalah Dinas Kesehatan NTT menimbang berat badan sekitar 361.696 orang anak. Dari jumlah iitu, yang gizi normal sebanyak 27.327 orang anak, gizi bermasalah dan gizi kurang sebanyak 23.963 orang anak. (lengkapnya disini).
Kasus malnutrisi atau busung lapar  di bumi  flobamora masih terus berlangsung antara 2015 hingga 2017, bahkan bisa jadi saat ini (2018) disaat para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bertarung memperebutkan tampuk pimpinan baik di tingkat provinsi maupun di 10 kabupaten yang akan melaksanakan pesta demokrasi serentak 2018.Â
Pada tahun 2015, Dinas Kesehatan Provinsi NTT melaporkan  kurang lebih 1.918 anak di Nusa Tenggara Timur menderita gizi buruk selama Januari-Mei 2015. Tercatat 11 anak berusia di bawah lima tahun meninggal akibat gizi buruk. Selain itu, masih ada 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.  (lengkapnya disini)
Memasuki tahun 2017, tepatnya tanggal 24 Januari 2017, mengutip Elshinta.com, selama periode Januari-Agustus 2016 tercatat kurang lebih 2.360 anak NTT menderita gizi buruk tanpa kelainan klinis.
Bahkan kasus ini menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait kasus malnutrisi di tanah air.
"Dari jumlah tersebut terdapat satu balita di bawah umur lima tahun yang meninggal dunia dan masih ada kurang lebih 10.662 balita yang mengalami kekurangan gizi," kata Kepala Dinas kesehatan NTT Kornelis Kodi Mete saat ditemui di Kupang, sebagaimana dikutip elshita.com, 24 Januari 2017. (lengkap disini)
Hubungannya dengan Kepimpinan
Kasus busung lapar atau kekurangan gizi merupakan kasus yang merata disemua kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ketika membaca berbagai sumber, Â kasus ini dipengaruhi oleh berbagai faktor menjadi pemicu antara lain masalah ekonomi rumah tangga, rendahanya pendidikan dan pengetahuan, pola prilaku hidup tak sehat, minimnya sarana dan prasarana kesehatan serta sulitnya akses menuju pusat-pusat pelayanan kesehatan dan berbagai faktor yang lainnya.
Sayangnya saya belum menemukan relasi kasus malnutrisi dengan pola kepemimpinan. Bagi saya, pola kepemimpinan sangat menentukan bagaimana semua persoalan yang ada di daerah bisa diselesaikan. Bukankah pemimpin itu hadir untuk mencermati, menganalisi dan merumuskan persoalan-persoalan  itu dalam rumusan kebijakan dan program sebagai bentuk solusi.