Gerimis menyiram perlahan di Waigama-Ibukota Distrik Misool Utara, Minggu akhir September 2017. Pagi itu, di sudut kampung, seorang laki-laki paruh-baya duduk di teras rumahnya sambil menikmat segelas kopi. Ditemanin sejumlah awak media dia begitu asyik mengisahkan kisahnya sebagai nelayan bagan di Kampung Waigama. Â Lelaki itu adalah Mura Malewa.
Usaha bagan yang kini ditekuni lelaki yang memiliki 5 orang anak ini berawal dari adanya nelayan-nelayan bagan dari Bima-NTB yang mengambil hasil laut disekitar perairan Waigama. Ketika itu, Mura menjadi salah satu pekerja pada nelayan bagan tersebut. Namun pada tahun 2014, atas kebijakan pemerintahan kampung, nelayan-nelayan bagan ini diusir karena tak ada kontribusi positif bagi perkembangan kampung.
Perairan Waigama juga demikian. Perairan yang terletak disebelah utara Pulau Misool ini memiliki potensi sumber daya alam laut yang luar biasa. Selain ikan, perairan Waigama juga menyimpan sejuta kekayaan lain seperti cumi-cumi, lobster, teripang, dan lain-lain.
Inilah yang menjadi motivasi bagi Mura Malewa untuk menekuni usaha bagan cumi-cumi. Motivasi untuk berdiri diatas kekayaan sumber daya alamnya sendiri. Motivasi untuk tidak saja menjadi pekerja saja. Motivasi untuk tidak menjadi penonton ditengah kelimangan harta sumber daya alam lautnya sendiri.Â
"Saya memulai usaha bagan ini sejak tahun 2014. Saya belajar dari bagan-bagan dari Bima. Dulu disini ratusan bagan dari Bima menangkap cumi-cumi," -- Mura Malewa.
Biaya Operasional Yang Tinggi
Memulai usaha bagan tidaklah semuda seperti membalikkan telapan tangan. Biaya pengadaan atau pembuatan bagan itu membutuhkan biaya yang tak maen-maen.
Untuk memulai usaha bagan, kata Mura Malewa dibutuhkan biaya kurang lebih Rp. 100 juta.
"Harga bodinya (perahu, red) sekitar Rp. 20 Juta. Jadi kalau bodi gandeng kita butuh Rp. 40 juta. Sedankan mesinnya kita butuh mesin 40 Pk. Dengan harga kurang lebih Rp. 30-40 juta tergantung merek mesin yang kita butuhkan. Tambah dengan kebutuhan lain-lain seperti jaring, tali, kayu penyeimbang, lampu, mensin genset. Yah kurang lebih modal awal sekitar Rp. 100 juta lebih," kisah Mura Malewa.
Untuk melaut, Mura membutuhkan 5 orang pekerja. Karena itu hasilnya pun dibagi dua setelah dikurangi biaya operasional. Hasil tangkapannya pun bervariasi. Jika beruntung kata Mura, bisa mencapai 4 ton perbulan.
"Hasil tangkapan kami bervariasi. Jika beruntung bisa mencapai 4 ton per bulan (12-15 hari kerja, red). Jika tidak yang cuman 1 ton. Pokoknya antara 1-4 ton setiap kali melaut," ujar Mura Malewa.
Umumnya hasil tangkapan Mura dan beberapa nelayan bagan di Waigama dijual dengan harga Rp. 10 rb/Kg. Biasanya pengumpul mendatangi mereka di perairan Misool.
"Sebenarnya harga jual keringnya Rp. 40-50 ribu/kg di Sorong, tapi pengelolaannya juga butuh waktu dan biaya lagi. Jadi kami jual mentah saja karena pengumpulnya datang dari Sorong," kata Mura.
Usaha bagan cumi terus mengeliat di Kampung Waigama. Saat ini kurang lebih ada 13 usaha bagan cumi di Kampung Waigama. Dari 13 pengusaha bagan cumi ini, dua bagan gandeng, sisanya bagan tunggal.
Ada lima lokasi pengakapan cumi di Perairan Waigama. Diantaranya adalah Perairan Matlol, Pulau Kepala, Pulau Papan, Pulau Panjang dan Pulau Senyum. "Yang paling banyak cuminya adalah di lokasi matlol," tambah Mura.
Butuh Dukungan
Ia menjelaskan usaha bagan di Waigama tersebut merupakan salah satu lapangan pekerjaan yang cukup mengeliat di Waigama. "Bayangkan dari 13 bagan yang ada, jika setiap bagan membutuhkan 5 orang pekerja. Berapa tenaga kerja yang dibutuhkan?" ujar Malewa dengan nada tanya.
"Rencana terus mengembangkan usaha tapi butuh modal juga. Semoga Dinas Perikanan Raja Ampat mendukung kami untuk terus meningkatkan usaha bagan di Kampung Waigama, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat disini," harap Mura Malewa mengakhiri perbincangannya di pagi itu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H