Mohon tunggu...
petronelasasube
petronelasasube Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa matematika sering dianggap momok di sekolah

20 Desember 2024   20:37 Diperbarui: 20 Desember 2024   20:37 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang sering menjadi momok bagi pelajar. Banyak pelajar yang merasa stres, frustasi, bahkan takut ketika berhadapan dengan angka, rumus dan soal-soal logika. Hal ini bukan fenomena baru, terus berulang dari generasi ke generasi. Ada berbagai alasan yang membuat pelajaran ini menakutkan dan membingungkan bagi banyak orang, mulai dari sifat materi yang abstrak sehingga tekanan akademik yang besar. Salah satu alasan utama yaitu sifat matematika yang cenderung abstrak dan sistematis. Berbeda dengan mata pelajaran yang lainnya yang lebih terhubung dengan kehidupan sehari-hari, sedangkan matematika seringkali berfokus pada konsep-konsep yang tidak langsung tampak relevansinya. Konsep seperti bilangan, rumus dan aljabar sangat jauh dari pengalaman langsung siswa sehingga membuat mereka kesulitan untuk memahaminya.

Pada tahap awal pembelajaran matematika, siswa diharapkan untuk memahami konsep dasar strategi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Namun, banyak siswa yang masih kurang memahami konsep dasar ini, dan kesulitan mereka untuk memahami konsep dasar ini akan semakin memperburuk kemampuan mereka dalam mempelajari topik-topik yang lebih kompleks di masa depan. Hal ini menciptakan semacam "lingkaran setan" dimana kegagalan dalam memahami materi dasar membuat siswa merasa semakin tertekan dan tidak percaya diri dalam mengikuti pelajaran matematika selanjutnya.

Selain itu, tekanan akademik yang datang dari harapan memperoleh nilai tinggi juga memperburuk persepsi terhadap matematika. Banyak siswa yang merasa bahwa Matematika adalah mata pelajaran yang sangat menentukan dalam ujian akhir atau seleksi masuk universitas. Ada juga beberapa sekolah yang menganggap bahwa nilai Matematika sebagai indikator utama kecerdasan atau kemampuan akademik siswa. Akibatnya, siswa merasa tertekan untuk dapat menguasai pelajaran ini dengan baik, bahkan jika mereka merasa kesulitan. Dalam beberapa kasus, siswa yang tidak berhasil memahami mata pelajaran ini merasa minder atau bahkan frustasi, merasa bahwa mereka tidak cukup pintar untuk mempelajari matematika.

Faktor lain yang turut berperan adalah cara pengajaran matematika yang seringkali monoton dan terfokus pada teori serta rumus yang sulit dipahami. Banyak guru yang mengajarkan matematika dengan metode yang tradisional, yakni menekankan hafalan rumus-rumus dan prosedur tanpa menghubungkannya dengan aplikasi nyata. Hal ini dapat membuat siswa merasa bahwa matematika hanyalah serangkaian angka dan simbol yang tidak memiliki kaitan dengan dunia nyata. Pembelajaran yang hanya berfokus pada latihan soal-soal yang rutin tanpa konteks yang relevan membuat siswa merasa bosan dan tidak tertarik. Mereka seringkali tidak melihat bagaimana matematika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam perencanaan keuangan, teknologi atau bahkan dalam bidang-bidang seni.

Satu lagi masalah yang sering muncul dalam stereotip bahwa matematika hanya dikuasai oleh orang-orang dengan "kecerdasan khusus" atau bakat alami. Banyak siswa yang mungkin merasa tidak memiliki kemampuan matematis dan tidak dapat menguasai pelajaran ini meskipun telah berusaha keras. Hal ini dapat menyebabkan rasa putus asa dan merusak rasa percaya diri mereka, karena jika mereka menganggap bahwa hanya orang-orang tertentu yang bisa berhasil dengan matematika, mereka cenderung akan lebih cepat menyerah ketika menghadapi kesulitan dalam belajar.

Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting untuk mengubah cara pandang siswa terhadap matematika dan menciptakan pendekatan yang lebih ramah dan inklusif dalam pembelajaran. Guru bisa memanfaatkan metode pembelajaran yang lebih interaktif, seperti menggunakan alat bantu visual, permainan edukatif, atau aplikasi yang mengaitkan matematika dengan situasi kehidupan nyata. Misalnya, memperkenalkan konsep matematika melalui proyek yang berkaitan dengan perencanaan anggaran, desain grafis, atau analisis data dapat membuat pembelajaran ini lebih relevan dan menarik bagi siswa. Selain itu, penting untuk mengurangi tekanan berlebihan terkait nilai dan memberi ruang bagi siswa untuk belajar dari kesalahan tanpa merasa takut atau malu.

Pendidikan matematika yang efektif juga harus mengedepankan pembelajaran yang berbasis pemahaman konsep, bukan hanya sekedar hafalan rumus. Dengan memberikan waktu bagi siswa untuk memahami dasar-dasar teori menerapkan konsep-konsep tersebut dalam berbagai konteks, serta memperkenalkan matematika sebagai alat untuk memecahkan masalah nyata, diharapkan mereka dapat melihat bahwa matematika bukanlah momok, melainkan alat yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan yang tepat, matematika bisa berubah dari pelajaran yang menakutkan menjadi mata pelajaran yang menyenangkan dan penuh tantangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun