Mohon tunggu...
Petrik Mahisa Akhtabi
Petrik Mahisa Akhtabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa pascasarjana Universitas Airlangga, Fakultas Ilmu Budaya

Tertarik dengan kebudayaan tradisional, subkultur serta falsafahnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik "Sandingan": Melestarikan Tradisi, Menyelaraskan Harmoni

24 Mei 2022   21:45 Diperbarui: 24 Mei 2022   23:07 3946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandingan yang terdiri atas makanan, kopi, rokok, inang dan dupa. Sumber: Penulis

M

Sandingan atau mungkin yang lebih terkenal dengan istilah sesajen di kalangan masyarakat Indonesia luas adalah salah satu bentuk kebudayaan tak benda yang hingga sekarang ini masih banyak kita temukan keberadaannya dalam ritual maupun upacara-upacara dalam konteks tradisi. Istilah Sandingan, secara khusus penulis temui pada satu daerah di Jawa Timur, khususnya Kabupaten Malang, Kecamatan Ampelgading, Desa Wirotaman. 

Sebagai informasi, desa Wirotaman adalah satu contoh desa yang masyarakatnya memiliki sikap toleransi agama yang tinggi karena penduduk desa ini terdiri atas berbagai pemeluk agama, baik Islam, Kristen dan Hindu. Tak mengagetkan jika desa ini disebut sebagai 'desa keberagaman'. 

Unik sekaligus menarik, masyarakat penghuni desa 'keberagaman' ini memiliki konsep yang berbeda antara sandingan dan sesajen. Mengutip pernyataan dari seorang yang dituakan di desa tersebut, keduanya memiliki makna serta maksud yang berbeda dalam urusan 'penyajian'. 

Sesajen, secara khusus disajikan untuk mengutamakan tujuan menjaga keselarasan alam dan hubungan antara manusia yang masih hidup dengan alam supranatural atau gaib yang dihuni makhluk-makhluk yang beraneka rupa. Sedangkan untuk sandingan, ini adalah sajian yang secara khusus dihidangkan untuk menyambut kepulangan ruh saudara ataupun para orang tua yang sudah pergi mendahului kita sebagai yang masih hidup. 

Sandingan di desa ini wajarnya bisa kita temukan ketika hari-hari raya keagamaan maupun hari-hari tertentu yang dipercayai bahwa ruh saudara atau orang tua yang sudah meninggal akan berkunjung atau 'pulang' kepada kita yang masih hidup. 

Maka dari itu, tak mengherankan jika biasanya sesajen memiliki isian bunga, dalam sandingan kita tidak akan menemukan hal itu. Isi dari sandingan biasanya merupakan hal-hal yang senang dikonsumsi oleh sanak saudara yang telah meninggal, seperti makanan, kue, kopi, rokok dan bahkan inang yang kerapkali digunakan masyarakat dahulu, sedang dupa dimaksudkan sebagai 'penunjuk arah' tentang dimana sajian ini ditempatkan.

Memang dalam tradisi keagamaan modern, hal semacam ini sering dikatakan sebagai yang menyimpang, yang menjauh dari kaidah keagamaan tersebut. Akan tetapi, sandingan masih tetap mendapatkan tempat sebagai tradisi yang harus dilestarikan dan dijaga keberlangsungannya dengan tujuan tertentu. 

Dalam interview yang penulis lakukan, narasumber berkata "yo tujuane yo gawe njamu sesepuh, mosok yo wong tuwone moleh gak diwenehi i opo-opo le" yang bisa diartikan sebagai "ya tujuannya adalah untuk menjamu sesepuh, masak orang tua pulang tidak dikasih apa-apa". Maknanya, bahwa sandingan ini semerta-merta merupakan wujud rasa hormat kita sebagai manusia kepada orang tua. 

Dalam masyarakat kebudayaan Jawa yang masih memegang teguh tradisi, mereka percaya bahwa yang manusia telah meninggal tidak serta-merta meninggalkan dunia ini, yang ada mereka tetap 'hidup' namun dalam dimensi yang berbeda dengan kita yang masih berada di dunia. 

Sandingan yang ditujukan untuk menyambut kedatangan mereka ini, baiknya dimaknai sebagai usaha untuk tidak serta-merta kita melupakan para pendahulu yang sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. 

Melestarikan keberlangsungan sandingan hendaknya juga dimaknai sebagai usaha menjaga keselarasan hidup antara alam dan tiap makhluk yang terpisah dimensi. Sebagaimana dikatakan Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa, falsafah kehidupan masyarakat Jawa, kuncinya adalah menjunjung tinggi keselarasan hubungan antara alam dunia dan alam-alam lain dimanapun manusia berada. 

Tujuannya adalah menjaga harmoni serta mengingatkan manusia untuk tidak melakukan hal-hal yang sifatnya merusak, karena sejatinya masyarakat Jawa, memahami bahwa dimensi dunia ini terhubung dengan dimensi 'lain', sehingga ketika alam manusia ini rusak, kerusakan itu pun terasa pada dunia dalam dimensi lain tersebut.

Begitupun dengan sandingan, maknanya adalah untuk menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan para pendahulunya yang sudah tiada. Manusia sebagai makhluk sosial harus senantia menjaga hubungan yang harmonis baik dengan saudaranya, maupun dengan orang lain yang tidak terhubung secara darah. Dengan hubungan yang harmonis, kehidupan akan terasa lebih tenteram dan menenangkan karena kerukunan senantiasa ditegakkan dalam kehidupan sehari-harinya. 

Dengan begitu, menjaga keberlangsungan sandingan tidak hanya dilihat sebagai usaha pelestarian tradisi, akan tetapi juga sebagai usaha dalam menjaga harmoni kehidupan agar senantiasa selaras dan tenteram. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun