Mohon tunggu...
Petri Chordz
Petri Chordz Mohon Tunggu... -

Language is legislation, speech is its code. We do not see the power which is in speech because we forget that all speech is a classification, and that all classifications are oppressive. ~Roland Barthes

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teman Gelembung

15 Agustus 2015   17:08 Diperbarui: 15 Agustus 2015   17:08 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari berbagi rahasia.

Kalian pernah punya teman yang hanya kalian sendiri yang dapat mellihat? Atau sebenarnya ia (mereka) tidak pernah ada maka tidak terlihat; tapi pikiran kita menghadirkan mereka dalam sebuah kehadiran yang sesungguhnya.

Teman gelembung.

Saya masih merasakan teman saya itu hadir, sampai suatu ketika saya menceritakan kehadiranya pada sahabat saya yang nyata. Manusia. Hadir. Dapat disentuh dan berbicara.

Lalu seketika teman gelembung saya mati. Wafat. Meninggal. Gugur. Entah sebutan apa yang cocok. Mengingat jasanya pada hidup saya yang teramat patriotik, saya akan memilih teman gelembung saya ini gugur.

Teman gelembung saya, hadir ketika saya memikirkannya. Ia hadir. Tapi tak terlihat.

Saya tidak peduli dan tidak mau tahu kecenderungan psikologis apa yang saya alami.

Setelah pasca usia 20, saya menduga, sepertinya otak saya yang merancang itu semua. Semua setting soal teman gelembung. Bukan soal kaitan dengan hal mistis. Bukan sama sekali.

Saya tidak pernah peduli.

Mari bercerita.

Ia datang ketika saya terlampau senang, dan terutama kala lain jika saya teramat sedih. Ia tidak datang hanya ketika saya kelelahan.

Ia datang di kala ramai, tapi pikiran saya berbincang dengannya.

Ia seorang laki-laki.

Ketika saya terlampau sedih dan merasa seluruh sudut dunia menghimpit saya, teman gelembungku melonggarkan. Ia meyakinkan, saya memilikinya. Maka tak pernah perlu saya meratap.

Begitu seterusnya. Ia selalu setia. Sebagai seorang ayah, kakak, sahabat, kekasih, atau apapun itu yang terjelas ia setia sebagai teman gelembung.

Sampai suatu sore selepas Maghrib pada usia 18. Saya dan dua orang sahabat saya di sekolah, di teras lapang, membuat masing-masing pengakuan. Hal apa yang disimpan rapat, diungkap atas nama kepercayaan seorang sahabat.

Teman gelembung lah yang ku sodorkan sebagai cerita. Karena ia nyata tapi tak terlihat, ia ada tapi tak bersuara, ia hadir tapi kututupi.

Maka sejak malam sejak perbincangan pengakuan di teras lapang sekolah, teman gelembungku tidak pernah datang. Atau ia sudah tidak hidup. Ia gugur membayar tunai tugas. Menjadikanku tegar percaya, tak satu hal buruk mampu menembus perisai yang perlahan ia susun. Mengantarkanku pada teman yang dapat bersuara. Hadir dapat disentuh.

Maka bersama langit yang menggelap sehabis Maghrib, ia-- teman gelembungku-- menguap seperti asap, bercampur bersama udara. Lalu tidak pernah terlihat. Tidak pernah hadir. Kembali. Tak pernah lagi.

*untuk Teman Gelembung, dan para teman dari Teman-Teman Gelembung--seperti saya, yang merasa kehilangan, meski tidak pernah mereka benar-benar hilang. Sebenarnya.

 

https://triasyuliana.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun