Lebih lanjut lagi, pemikiran Driyarkara kemudian mengarah pada pendidikan sebagai "pemanusiaan manusia muda". Driyarkara memandang manusia muda sebagai manusia yang belum memiliki integrasi, dalam artian manusia yang belum mencapai taraf keutuhannya. Baginya, pendidikan haruslah membentuk manusia muda dan mengintegrasikannya menjadi keseluruhan yang utuh. Manusia bukanlah sebatas makhluk biologis, melainkan seorang pribadi, seorang person, seorang subjek yang mengerti dirinya, menempatkan dirinya dalam situasi, mengambil sikap, dan menentukan arah hidupnya. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai pemanusiaan manusia muda selalu menjadi medium yang menemani pertumbuhan manusia dari bayi, bahkan semenjak dalam kandungan. Inilah proses yang dijalani individu untuk menjadi manusia yang mencapai integritasnya (F. Danuwinata, 2006: 369).
Secara eksplisit, Driyarkara ingin mengatakan bahwa nasib manusia ada di tangannya sendiri. Pendidikan yang memanusiakan manusia akan memberikan kemampuan manusia untuk mengubah setiap keadaan yang dihadapinya.
Industrialisasi Pendidikan dan Degradasi Moral Para Ilmuwan
Driyarkara tidak dikarunia umur panjang, pada usia 53 tahun beliau dipanggil oleh Tuhan YME di Girisonta Ungaran. Namun demikian, pemikirannya yang visioner mampu memprediksi dinamika pendidikan yang akan dialami oleh bangsa Indonesia. Sebagai contoh ketika pidato ilmiahnya di peresmian penerimaan jabatan guru besar luar biasa ilmu filsafat Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 30 Juni 1962. Beliau mengatakan bahwa, "Pintar tanpa kesusilaan, hanya akan menjadi minteri (menyalahgunakan kepandaian)". Driyarkara juga menyatakan bahwa pendidikan pada nantinya akan mengalami perubahan fungsi seiring dengan perkembangan zaman. Manusia sebagai subjek pendidikan yang kompleks, memiliki karakteristik yang bermacam-macam dan minat yang berbeda. Hal ini pada nantinya akan diatur sedemikian rupa oleh sebuah sistem yang menyebabkan manusia kehilangan unsur eksistensialisnya.
Pemikiran Driyarkara yang diungkapkan lewat pidatonya ini pun ternyata benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Pendidikan di Indonesia pada masa kini telah diperhadapkan oleh sebuah sistem yang menempatkan hukum penawaran dan permintaan sebagai acuan untuk digunakan layaknya di dalam sebuah pasar. Pendidikan diarahkan kepada industrialisasi sehingga pendidikan formal pun tidak dibangun atas tujuan mencerdaskan anak bangsa. Akan tetapi, dibangun atas dasar kepentingan politik dan usaha untuk menguasai perekonomian.
Sebagai contoh adalah dalam dimensi perkuliahan di perguruan tinggi. Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa fakultas atau jurusan yang laris akan "dianak-emaskan". Misalnya fakultas ekonomi, hukum, bisnis, dan kedokteran, sedangkan fakultas atau jurusan yang dianggap tidak memiliki nilai jual seperti humaniora memiliki potensi untuk gulung tikar karena kurang peminat. Fakultas dan jurusan yang kurang peminatnya ini pada umumnya dipandang oleh masyarakat tidak memiliki prospek yang jelas di masa depan. Hal ini tentunya adalah akibat dari maraknya logika pasar yang menuntut institusi pendidikan untuk berfokus pada kuantitas bukan kualitas (Sindhunata, 2000).
Pendidikan formal pun kemudian juga telah bergeser pemaknaan menjadi gengsi tersendiri. Hal ini terjadi karena seolah-olah gelar yang dimiliki dapat meningkatkan kelas sosial dan digunakan untuk merealisasikan arogansi diri. Fenomena ini rupanya juga menjangkiti para ilmuwan sehingga banyak dosen menjadi sebuah agen yang mewakili institusi pendidikan. Para ilmuwan ini turut menyuburkan logika pasar dalam mata kuliahnya seperti menawarkan mata kuliah yang mudah, memberikan iming-iming nilai yang bagus, berlomba membuat pelajaran dan tugas seringan mungkin, serta ujian semudah mungkin. Semua ini bertujuan agar mahasiwa tertarik dan senang mengikuti proses perkuliahan. Jika perlu, perkuliahan pun dikondisikan berjalan sesantai mungkin. Bila perlu dilaksanakan dengan aneka bumbu lelucon. Konsep analisis kritis lambat laun semakin kian memudar karena pada umumnya dosen sendiri dituntut bekerja layaknya seperti marketing. Mereka akan dihargai dan hanya bisa bertahan hidup apabila berhasil mendatangkan sejumlah mahasiswa dengan target tertentu. Peminat inilah yang pada nantinya mampu memenuhi pembayaran uang kuliah serta menghidupi kelangsungan sebuah universitas.
Akibatnya, rata-rata dosen yang bekerja akan "dihargai" menurut kemampuannya menjual "perkuliahan" yang dihitung menurut jumlah mahasiswa. Sistem pendidikan yang telah menerima dampak dari industrialisasi pendidikan ini, sedikit banyak telah mengebiri mahasiswa dan dosen untuk memilih medium yang berguna bagi perkembangan dirinya. Minat dan bakat telah didikte oleh sistem sehingga komersialisme yang mengacu pada kuantitas ini telah menjadi dewa yang tidak bisa digantikan. Rupanya, Driyarkara mampu meramalkannya jauh sebelum kondisi ini terjadi. Sehingga kenyataan yang dilematis tersebut pada akhirnya tercermin dalam kualitas serta karakter generasi muda saat ini yang jauh dari kesantunan dan cinta kasih terhadap sesamanya.
Esensi Nasionalisme dan Pembangunan Karakter Bangsa Menurut Pemikiran Driyarkara
Corak berpikir dalam alam manusia adalah salah satu aspek dari keseluruhan kompleks kehidupan. Adapun, corak berpikir ini tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran Driyarkara tentang nasionalisme dan karakter bangsa berdasarkan Pancasila sudah dimulai sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara. Terlebih pascaperang dunia ke 2, Uni Soviet dan Amerika berlomba-lomba untuk menanamkan ideologi komunis dan liberal di setiap penjuru dunia. Hal tersebut menimbulkan keresahan tersendiri di dalam diri Driyarkara, sehingga pada 17 Februari 1959 di seminar Pancasila yang diselenggarakan di Yogyakarta, beliau menyampaikan gagasan dan mengingatkan kembali kepada hakikat Pancasila.
Driyarkara menyajikan gagasan tentang Pancasila dengan menggunakan metode fenomenalogi dan bertolak dari pemikiran dasar tentang manusia. Dengan cara ini, Driyarkara ingin menampilkan dua topik yang seolah-olah ingin dipertentangkan, yakni Pancasila dan Religi. Namun dengan ulasan yang jeli, Driyarkara justru memperlihatkan titik-titik temu di antara keduanya (Mudji Sutrisno, 2006: 26).