Driyarkara dikenal sebagai filsuf sekaligus tokoh pendidikan yang memiliki semangat yang tinggi untuk menyebarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Driyarkara banyak berbicara tentang manusia, pendidikan, moral, sosial, seni dan budaya, serta negara dan bangsa dalam dimensi ke-Indonesiaan. Produktivitas Driyarkara dalam kegiatan pendidikan memunculkan gagasan tentang "Homonisasi" dan "Humanisasi". Gagasan ini menempatkan manusia dalam kehidupannya yang harus memanusiakan manusia lainnya dan menjadi manusia yang membudaya dalam konteks "homo homini socius" (manusia sebagai kawan bagi sesamanya) dan bukan sebagai "homo homini lupus" (manusia sebagai serigala bagi sesamanya).
Bagi Driyarkara pendidikan merupakan fenomena yang paling fundamental pada kehidupan manusia. Bagaimana pun itu, manusia tidak dapat dilepaskan dari aspek pendidikan. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan pernah lepas dari perbuatan-perbuatan dan hal-hal yang dengan sengaja atau tidak disangaja, disadari atau tidak disadari, memasukkan manusia ke dalam alam atau dunia manusia, dan memasukkannya ke dalam alam atau dunia nilai-nilai. Baginya, pendidikan merupakan persoalan komunikasi dan integrasi dalam proses dinamis hominisasi dan humanisasi. Dari sinilah kemudian Driyarkara memaparkan perihal beratnya tantangan pendidikan pada masyarakat dewasa ini yang sedang diperhadapkan kepada arus globalisasi sehingga mengalami peralihan sosio-budaya. Nilai-nilai lama semakin disangsikan, akan tetapi konsep tentang nilai-nilai baru belumlah benar-benar ditemukan.
Mengenal Sosok Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara S.J.
Driyarkara lahir pada 13 Juni 1913 di desa Kedunggubah, Kedu, Jawa Tengah. Perjalanan pendidikan Driyakara dimulai dari sekolah Volkschool dan Vevolgschool di Cangkrep, lalu dilanjutkan dengan HIS (Hollandsch Inladsche School) di Purworejo dan Malang. Pada 1929, Driyakara masuk ke Seminari Menengah yakni Sekolah Menengah khusus bagi calon imam Katolik setingkat dengan SMP dan SMA dengan Program Studi Humaniora Gymnasium di Negeri Belanda. Driyarkara kemudian masuk ke Girisonta dan bergabung dengan Serikat Jesus yang anggotanya biasa disebut dengan Jesuit. Hingga 1941, Driyarkara fokus mempelajari filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Yogyakarta yang pada saat itu dikenal dengan Ignatius College.
Pada 1942-1943, Driyakara melanjutkan studinya dengan mendalami ilmu teologi Katolik di Kolose Muntilan. Namun, setelah pendudukan Jepang sekolah teologi ini kemudian ditutup dan dilarang untuk beroperasi. Pascapendudukan Jepang, Driyakara kemudian dipanggil ke Yogyakarta untuk bergabung dengan misionaris Belanda, termasuk di dalamnya ialah dosen-dosen filsafat. Driyarkara dipercaya untuk mengajar filsafat di Seminari Tinggi Yogyakarta. Disamping menjalankan tugasnya sebagai dosen, Driyakara juga terus mengasah pemahamannya tentang ilmu teologi secara otodidak sebagai persiapan untuk penahbisannya menjadi imam Katolik. Penahbisan tersebut akhirnya dapat terlaksana pada 6 Januari tahun 1947. Driyarkara ditahbiskan oleh Mgr. Soegijapranata S.J. yang berkedudukan di Semarang dan membawahi umat Katolik di sebagian Jawa Tengah dan seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta.
Driyakara kemudian ditugaskan oleh Mgr. Soegijapranata dan pimpinan Serikat Jesus di Indonesia untuk menyelesaikan studi teologinya di Maastricht, Belanda pada 24 Juli 1947 dan pada tahun 1949 studi teologinya mampu diselesaikan dengan baik. Pada kurun waktu 1950-1952, Driyakara kembali mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral filsafatnya di Roma. Di Universitas Gregoriana, Driyarkara mampu menyelesaikan disertasi doktoralnya dengan judul Participationis Cognitio In Existential Dei Percipienda Secundum Malebranche Utrum Partem Hebeat (Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian tentang Tuhan Menurut Malebranche). Driyakara pun kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi pengajar filsafat di Ignatius College serta didaulat menjadi pimpinan PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Universitas Sanata Dharma. Setelah ditunjuk sebagai Rektor di Universitas Sanata Dharma, Driyarkara juga diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa di Univertisas Indonesia dan Hassanudin pada 1960.
Pemikiran Driyarkara Tentang Pendidikan
Konsep "Aku" dalam pemikiran Driyarkara sangatlah penting. Baginya, "Aku" mampu menjernihkan hubungan antara jiwa dan badan. Ketika manusia berbicara tentang dirinya sendiri, dia tidak bicara tentang badan ataupun jiwa, tetapi sedang berbicara tentang "Aku". Idealnya, ketika manusia berbicara tentang dirinya sendiri ia dapat menyatakan aku adalah rohani dan jasmani (Driyarkara, 1978: 12). Dengan kata lain, aku adalah badan, selama aku menjadi makhluk jasmani yang kongkret. Pemikiran tersebut kemudian menjadi dasar rumusan filsafat pendidikan Driyarkara yang mengarahkan pada proses kesadaran untuk memanusiakan manusia.
Istilah hominisasi dan humanisasi dalam upaya memanusiakan manusia kemudian muncul dari intuisi di dalam pikiran Driyarkara. Hal inilah yang kemudian menjadi tonggak perjuangannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hominisasi adalah proses pemanusiaan pada umumnya yang dalam kodratnya manusia merupakan makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya seperti binatang atau pun tumbuhan. Oleh sebab itulah, manusia tidak akan sampai pada fase "ke-manusiawi-an-nya" tanpa adanya pendidikan. Sedangkan humanisasi merupakan proses lanjutan setelah hominisasi. Dalam proses ini manusia mampu mencapai perkembangan lebih lanjut, realisasi diri dalam laju budaya dan ilmu pengetahuan (F. Danuwinata, 2006: 265). Bagi seorang Driyarkara, pembentukan manusia-manusia yang memiliki keahlian saja tidaklah cukup, keahlian manusia haruslah harus diiringi dengan pendidikan dalam jiwa dan kepribadiannya.
Driyarkara menggali lebih dalam tentang gambaran dasar pendidikan atau jiwa pendidikan. Secara eksplisit, beliau menggunakan pendekatan fenomenologi dalam menenentukan gambaran dasar pendidikan. Bukan hanya mengamati segala sesuatu dalam konteks pendidikan yang tersurat maupun yang tersirat. Menurutnya, fenomena pendidikan adalah perbuatan yang diberi arti dan pada dasarnya perbuatan ini memiliki sifat netral serta bisa dipastikan tidak ada perbuatan an sich yang sudah memiliki muatan pendidikan (F. Danuwinata, 2006: 357). Konsep pendidikan ini selaras dengan pandangan diungkapkan oleh Gerald L. Gutek yang memposisikan individu sebagai penanggungjawab penuh dari pengetahuan yang dimilikinya.
Untuk sampai pada gagasan jiwa pendidikan, Driyarkara menggunakan medium pergaulan antara pendidik dengan peserta didik. Driyarkara mengandaikan pergaulan sebagai ladang yang di dalamnya tumbuh perbuatan mendidik. Mendidik merupakan aktivitas fundamental, sehingga perbuatan yang mendidik haruslah menyentuh akar kehidupan manusia, sehingga lewat pendidikan yang dilakukan, manusia yang dididik dapat merubah dan menentukan arah hidupnya (Asep Rifqi, 2016: 13). Dengan demikian, pendidikan adalah nilai-nilai yang lahir dari budaya yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri sebagai sebagai dasar pijakan. Nilai budaya yang dihasilkan oleh manusia menjadi faktor utama untuk menjalankan pendidikan secara kongkret dalam kehidupannya.