Para penikmat hiburan malam di Night Club ini kemudian mendapat sebutan sebagai Clubbers (kata kerja). Istilah ini muncul dari kata Club sebagai tempat yang sering mereka kunjungi.
Aktivitas yang mereka lakukan kemudian disebut dengan Clubbing, yang pada akhirnya menjadi sebuah fenomena sosial tersendiri sebagai sebuah bentuk dari gaya hidup yang sengat digemari oleh orang-orang muda yang sangat mencintai pesta.
Diskotek Pertama di Semarang
Kemunculan Diskotek Tanamur di Jakarta ternyata kemudian diikuti oleh kota-kota besar lain di Indonesia. Di Kota Semarang PT. DSI Sarinah Semarang yang dalam jajaran tertingginya banyak diduduki oleh perwira ABRI, kemudian membuka tempat hiburan yang bernama Shinta. Awalnya, tempat yang terletak di kawasan Shopping Centre Djohar (SCD) ini diresmikan sebagai sebuah discobar pada 10 Januari 1970 dengan nama "Shinta Room".
Namun dalam perjalanannya, tempat ini terus mengalami perluasan dan renovasi dari tahun ke tahun. Pada pertengahan 1970-an, tempat ini telah benar-benar telah mencapai luasan dan fasilitas yang layak disebut sebagai Gedung Diskotek. Selain sebagai tempat ajojing, Shinta juga dilengkapi dengan tempat biliar, kasino, dan steambath.
Di tempat ini, para pengunjung sangat dimanjakan dengan alunan musik disko dari Disc Jockey (DJ), pertunjukan dari band-band penghibur, dan penampilan tarian striptis.
Selain itu, para pramuria juga disediakan untuk menemani para pengunjung pada saat bersenang-senang. Shinta memulai jam operasionalnya antara pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB dengan tiket masuk yang dikenakan antara Rp. 500-1000,00 bergantung dengan tema acara yang diadakan.
Band-band dan penyanyi ternama dari ibu kota pun turut didatangkan untuk menghibur para pengunjung antara lain "Lanny Sisters" yang digawangi oleh Lanny Sukowati, penyanyi Emilia Contesa, Wiwiek Abidin, dan Dessy Arisandy menjadi deretan artis ibu kota yang pernah tampil di tempat ini.
Shinta mampu menjadi tempat yang bisa menyajikan segala bentuk kesenangan, sehingga untuk lebih memuaskan hasrat para pelanggannya, pihak pengelola Shinta kemudian terus menambah jumlah pramuria. Dari tahun ke tahun Shinta terus membuka iklan-iklan lowongan kerja di surat kabar dengan besaran gaji yang cukup menggiurkan pada masa itu.
Tindakan korupsi ini menyebabkan kerugian sebesar Rp. 257.393.730,24,00, bahkan jajaran Shinta yang diduga terlibat dalam korupsi kemudian langsung mendapatkan perhatian serius dari Ketua Operasi Tertib (Opstib) Pusat yakni Laksamana TNI Sudomo dan Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kas Kopkamtib) Yoga Sugama.
Agar operasional Shinta Diskotek terus berjalan, maka pengelolaannya kemudian dialihkan kepada pihak swasta yakni PT. Sara Shinta. Selang dua tahun kemudian tepatnya pada 1981, Shinta kembali terganjal permasalahan yakni dalam hal perizinan. Perizinan ini terkait dengan alih perusahaan yang terjadi di dalam manajemen Shinta.