Minuman yang mengandung alkohol selalu diidentikkan dengan hal-hal yang bersifat mudharat dan dapat menyebabkan dampak negatif bagi orang-orang yang mengkonsumsinya.
Namun, bagaimana jika minuman itu sudah menjadi sebuah trendmark yang melekat pada suatu daerah? Bahkan produksinya sudah berlangsung dari masa ke masa.
Yaaap...., Orang Semarang mana yang tidak mengenal Congyang. Minuman legendaris yang keberadaannya bisa ditemui hingga kini, menjadi cinderamata dan oleh-oleh yang khas selain lumpia.
Awal Kemunculan Congyang
Congyang adalah mahakarya yang lahir dari tangan dingin seorang warga Tionghoa Semarang bernama Koh Tiong dimana dia mencurahkan segenap daya dan pemikirannya untuk meramu minuman yang bisa diterima oleh semua kalangan, baik dari mulai tukang becak, kuli panggul, pengusaha, guru, dosen, seniman, artis, pegawai negeri hingga mahasiswa.
Congyang sebenarnya hanya istilah yang disematkan oleh orang-orang Semarang kepada minuman ini. Ada yang mengatakan bahwa kata Congyang adalah serapan dari bahasa Hokkian yang berarti Mawar Merah, padahal jika kita cermati dalam bahasa Hokkian kata "Chong" sendiri berarti Maju dan "Yang" sendiri tidak memiliki pemaknaan Mawar ataupun Merah (Hngs).
Namun lepas dari hal itu, keunikan rasa Congyang telah menjadi bentuk asimilasi dua budaya, yakni etnis Jawa dan Tionghoa, yang bermukim bersama di Semarang.
Dari daerah Wotgandul ramuan minuman merk A Djong yang menjadi cikal bakal Congyang ditemukan. Penggunaan kata A Djong adalah bentuk penghormatan tersendiri bagi engkong (kakek) A Djong.
Merupakan seorang ahli kungfu dan master tenaga dalam yang pernah memenangi kejuaraan kungfu gaya bebas di daratan Baligay, Tiongkok selama tujuh kali berturut-turut.
Seiring berjalannya waktu, minuman A Djong kian lama ditinggalkan karena rasanya yang terlalu panas mirip seperti arak Cina. Rasa A Djong bagi para konsumen dirasa kurang bersahabat di lidah, tenggorokan dan perut mereka, hal inilah yang kemudian menyebabkan A Djong berangsur-angsur kian lama kian meredup.
Untuk mengatasi kendala sepinya pembeli tersebut, Koh Tiong kemudian melakukan riset dengan mengolah ramuan baru yang merupakan hasil dari fermentasi beras putih, gula pasir, spirit, aroma, pewarna makanan Karmoisin CI No. 14720, Tartrazin CI No. 19140 serta Brilliant Blue CI No. 42090.