Perjalanan jurnalisme dimulai dari masa penjajahan, pasca kemerdekaan, era liberal, Orde Baru, hingga masuknya internet semuanya memberikan dampak masing-masing bagi dunia jurnalistik Indonesia sekarang.Â
Penjajahan Belanda dan Jepang
Jurnalistik di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda. Ditandai dengan penerbitan surat kabar Memories Nouvelles oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1615.Â
Surat kabar ini merupakan surat kabar yang masih ditulis tangan, hingga pada tahun 1688 datang mesin cetak dari Belanda. Surat kabar cetak pertama berisi perjanjian antara Belanda dan Sultan Makassar pada masa itu.
Hingga pada tahun 1855 berbagai kalangan masyarakat mulai menerbitkan surat kabar versi mereka. Tidak hanya berbahasa Belanda, namun juga yang berbahasa Cina, Jawa, dan bahasa daerah lainnya bermunculan.Â
Contohnya Bromartani, yaitu surat kabar mingguan yang dibiayai oleh orang-orang Belanda dan Cina untuk pribumi Jawa. Kemudian ada juga Bentang Soerabaja yang didirikan pada 1861 yang merupakan surat kabar berbahasa Melayu di Surabaya.Â
Berlanjut pada masa pendudukan Jepang, keberadaan surat kabar dikontrol secara ketat dan harus sesuai dengan keinginan Jepang. Hal ini menyebabkan perkembangan jurnalistik Indonesia pada era ini mengalami kemunduran.Â
Pasca Kemerdekaan
Surat kabar pada masa perjuangan digunakan sebagai sarana mengobarkan api semangat melawan penjajah. Namun setelah kemerdekaan Indonesia diakui, surat kabar malah menjadi sarana para politisi dalam memperebutkan kekuasaan di pemerintahan Indonesia yang baru.Â
Periode LiberalÂ
Kebebasan pers dan jurnalistik di Indonesia sehingga disebut sebagai masa demokrasi liberal. Setiap orang berhak menerbitkan surat kabar dan menyampaikan gagasannya secara bebas. Namun kebebasan ini malah membawa masalah.
Media berita tidak lagi mementingkan mutu isi berita dan hanya tentang siapa yang paling banyak memproduksi tulisan. Maraknya konten pornografi yang tersebar luas menambah masalah dunia jurnalisme era ini.Â