Namun ... aku telah berhasil bertahan sejauh ini. Dua puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Pun bukan pula perjalanan yang mudah. Dan aku tetap bertahan hidup.
Jemariku menggenggam pasir yang berjatuhan keluar dari jubahku. Menggenggam pasir yang rapuh ini aku tersadar, sama besarnya seperti keinginan kita untuk kembali kepada sang pencipta, demikian pula besarnya kemampuan bertahan hidup yang sudah dibekalkan padaku. Kemampuan bertahan itu bak bola mataku. Tertanam dalam dagingku, dan aku selalu melihat dunia melaluinya.
Susah payah kucoba menutup lubang besar di jubahku. Namun jemariku terlalu kecil, pasir menderas keluar melalui celah di sela-selanya. Aku bisa merasakan tubuhku semakin ringan. Akhir hidupku tampak semakin dekat walau kini aku berjuang melawannya. Kematian ini bukan keinginanku. Aku ingin hidup.
Namun tubuhku berkata lain. Bak singa yang lepas dari kandang, pasir-pasir itu terus merangsek keluar.Â
Liar.Â
Mengabaikan teriakanku.
Dan dunia perlahan menjadi gelap.Â
Dingin.
Tiba-tiba sebuah tangan menggenggam lenganku. Aku terkesiap, menoleh. Kulihat sosok itu melepaskan jubahnya dan membalutkannya kepadaku. Sempurna menutupi lubang di tengah tubuhku, menghentikan pasir yang tadi menderas keluar. Jubahnya putih. Halus. Seperti dicuci setiap hari dan dirawat dengan baik. Sangat berkebalikan dengan jubah usangku.
Ia mengisyaratkanku untuk duduk.
Ketika akhirnya aku berhasil mengatur napas, aku bertanya, "Siapa kamu?"