Mohon tunggu...
Petra Sembilan
Petra Sembilan Mohon Tunggu... -

terus menulis :\r\nhttp://seputarankotajakarta.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ulah Korban (Rakyat) Cengkeraman Mafia Politik di Bisnis

8 Desember 2015   16:43 Diperbarui: 8 Desember 2015   18:59 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari Kompas

Kejahatan terjadi karena sokongan dari dua sisi, dari sisi si pelaku kejahatan yang memang punya niat, kuasa, dan sumber daya untuk jahat. Dan sisi si korban, di mana korban berperilaku tidak hati-hati, mengundang, lalai, pengecut, tidak kompak atau tidak waspada, dan menganut nilai moral/hukum/budaya tertentu.

Sifat masyarakat yang permisif kepada pola tingkah jahat dari para mafia politik yang menguasai dan mencengeram bisnis di republik ini adalah akar dari terjadinya praktek-praktek jahat itu. Permisif disini bukan dalam arti rela dibodohin, tetapi juga ada kombinasi unsur ketakutan karena ancaman, ketidaktahuan, lalai, bahkan sikap tidak peduli dari masyarakat itu.

Uraian ini tidak melihat dari sisi para penjahat mafia politik itu, karena nggak perlu dibahas, mereka itu benar-benar adalah bad guys, orang jahat yang tersamar dengan penampilan saja. 

Uraian ini melihat kelemahan (jadi juga kemungkinan penguatan) di sisi sikap rakyat Indonesia yang menjadi penyebab mengapa keuangan rakyat (sebaiknya disebut demikian daripada 'keuangan negara') selalu dikangkangi oleh orang-orang jahat, para mafia politik. Berikut ini hasil 'penerawangan' kami.

1. Pengaruh Nilai Adat

Masyarakat Indonesia dari semua suku terkenal sebagai masyarakat yang cinta damai, yang kehidupan sosial di bangun di atas nilai-nilai kekeluargaan. Penyelesaian konflik selalu dicari penyelesaian secara kekeluargaan atau permufakatan. Sangat jarang terdengar suku-suku bangsa Indonesia menganut nilai yang keras terhadap pelaku kejahatan. Konsep hukuman mati bukan konsep asli suku-suku Indonesia, tapi konsep dari bangsa-bangsa Barat.

Pelaku kejahatan dalam konsep kekeluargaan biasanya diusir keluar dari komunitasnya. Mungkin ada pelaku kejahatan berat yang diburu lalu dibunuh secara langsung dalam tata pemerintahan sosial suku-suku Indonesia kuno, tetapi penetapan hukuman demikian bukan suatu yang sistematis, melainkan keputusan situasional seorang katakan raja atau kepala suku.

Bahkan sampai saat ini Hukum Pidana Indonesia berdasar pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatblad 1915 No 732), dan masih dilakukan upaya terus menerus untuk menggali Hukum Pidana Adat Indonesia, suatu hal yang terus dilakukan untuk menyerap.

Namun intinya, Law & Order di Indonesia adalah konsep bangsa asing, sedangkan konsep asli Indonesia yang terus diteliti itu, kuat dugaan adalah bentuk permisif dan pendekatan kekeluargaan dan nilai-nilai (adat, agama, sosial).

Jadi jangan heran mengapa orang Indonesia suku apa saja, sangat mudah memaafkan para koruptor, penjahat negara dan mafia politik, karena tata nilai hukum pidana adatnya bersifat kekeluargaan yang sangat permisif. 

Dengan sistem nilai dianut masyarakat yang permisif demikian, sangat nyaman bagi mafia politik korup untuk melakukan aksi kejahatannya.

2. Nilai Agama

Indonesia adalah masyarakat spiritual terbesar di dunia setelah India. Nilai spiritual tidak selalu praktis, namanya juga spiritual. Ada suatu tata nilai dan hukum yang lain, suatu hukum sesuai agama/rohani. Seorang yang berbuat jahat bukan dimaafkan tetapi "diserahkan untuk dihukum secara rohani/spiritual", atau di alam baka kelak.

Nilai Hukum agama ini masih banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, karena ada "hukuman lain" yang akan menghukum kejahatan para mafia politik ini, maka hukuman secara praktis yang seharusnya diterima oleh si pelaku kejahatan tidak dikejar lagi. 

Hukum Agama semacam ini bisa dijadikan pelampiasan rasa keadilan, artinya rasa keadilan yang tidak dapat dipenuhi oleh Hukum Negara, maka rasa keadilan yang tersakiti itu masih terobati dengan suatu persespsi rasa keadilan menurut hukum agama yang dapat dipenuhi entah kini atau nanti. 

3. Knowledge Tentang Sistem Negara Masih Kurang

Banyak rakyat Indonesia yang tidak peduli dengan kejahatan dilakukan oleh mafia politik berhubungan dengan ketidak atau kurang tahuan akan sistem dalam negara. Masyarakat menganggap bahwa pemerintah, anggota dewan, para penegak hukum polisi, hakim, jaksa dan mafia-mafia yang terkait dengan mereka adalah orang-orang berkuasa seperti raja di masa lalu. Padahal dalam sistem negara Indonesia mereka adalah abdi masyarakat yang makan gaji dari uang rakyat. Jadi rakyat adalah penguasa sesungguhnya.

Dengan mentalitas akibat pengetahuan yang minim seperti itu, para penjahat mafia politik dapat petantang-petenteng seolah-olah mereka adalah penguasa sejati bangsa ini, padahal mereka hanyalah pekerja, orang gajian para pengabdi yang dibayar oleh rakyat, makan uang pajak.

Para simpatisan partai bangga dibayarin calon bupati/walikota/gubernur, padahal mereka lupa uang yang dipakai itu akan ditebus dari korupsi atas uang mereka sendiri (pajak, loyalti, dll).

Masyarakat bangsa yang maju selalu mengaitkan kinerja orang pemerintahan, legislatif dan yudikatif dengan uang pajak yang mereka bayar. Mereka tidak relah pajaknya buat membayar koruptor.

Persepsi masyarakat yang benar mengenai sistem dalam negara seperti ini akan mendorong sikap yang tepat dan benar untuk bertindak bagi para mafia politik itu.

Masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang benar tidak akan memberikan kontrol yang cukup kuat bagi para pelaku kejahatan mafia politik tersebut.

4.  Kebiasaan Yang Sudah Berlangsung Lama Perlu Gerakan Masal Untuk Menghapusnya

Korupsi adalah penyakit masyarakat, yang sudah mendarah daging dalam sistem sosial. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan sistem korup yang dicengkeram mafia politik akan menyesuaikan diri. Meskipun secara nurani banyak anggota masyarakat yang menolak kejahatan mafia politik itu, tapi banyak yang tak berdaya, dan terpaksa menyesuaikan diri.

Diperlukan gerakan serentak dan dalam jumlah mayoritas masyarakat harus berontak keluar dari sistem ini. Apa yang terjadi di DKI adalah contoh bagus dari sikap berontak terhadap sistem yang korup itu. Gubernur Ahok dengan sepak terjangnya menjadi contoh efektif bagi rakyat untuk ikut menyokongnya.

Opini masyarakat kebanyakan setuju dengan tindakan dan sepak terjang Ahok dengan frontal melawan para mafia politik. Rakyat ada di belakangnya. Bahkan institusi tentara dan polisi dapat diajak untuk melindungi para pendobrak bersemangat seperti ak Ahok. 

Jadi untuk mengatasi kebiasaan buruk mafia politik yang merajalela, memerlukan jalinan tenaga pikiran, dukungan dan aksi dari mayoritas anggota masyarakat. Asalkan ada gerakan tepat untuk disokong. Gerakan massa pada awal masas Reformasi apa yang terjadi untuk menjatuhkan pemerintahan Orde Baru adalah contoh kolosal dari hal ini. Masyarakat bersatu menjalin tangan, tenaga daya upaya melawan kebiasaan korup dan tirani berkepanjangan.

5.  Penggunaan kekerasan dan kekejaman untuk Represi

Preman adalah kalangan yang terkenal menggunakan represi. Mafia politik tak terkecuali juga menggunakan pendekatan represi yang sama. Yang di tekan bukan saja soal keselamatan nyawa, tapi juga keselamatan periuk nasi atau kelangsungan karir dan usaha.

Banyak orang menyerah atas tekanan pada hal-hal menyangkut hajat hidup ini sehingga mencoba menyesuakan dengan situasi ini.

Para pengusaha ikut dalam arus tekanan mafia politik dengan memfasilitasi mafia politik dengan sebagian keuntungan mereka, asalkan masih bisa untung.  Mentalitas pengusaha seperti ini akan merugikan kualitas dari barang-barang yang dibiayai oleh uang rakyat.

Para pegawai negeri akan mengikuti alur tekanan mafia politik demi menjaga karirnya tidak turun atau sebaliknya karirnya melejit. Dalam rangka permufakatan itu, mereka bersedia menjadi kaki tangan, operator atau pelaksana bagi rencana para mafia itu.

Itulah mengapa "banyak" kepala dinas PU atau kepala bagian pengadaan di instansi-instansi yang terlibat dalam kejahatan mafia politik ini.

Lima hal di atas mungkin sudah mewakili 90% pengaruh yang membuat sepak terjang mafia politik merajalela akibat sikap dalam masyarakat sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun